Undangan dan Pemanggilan

283 5 1
                                    

Membosankan.

Duduk seharian di kelas tanpa melakukan apa-apa, mendengar ocehan orang asing didepan yang berperan sebagai pengajar. Untuk Fian, hal itu benar-benar menjengkelkan. Baginya, hal yang ia lakukan saat ini lebih ber-faedah dibanding yang dilakukan oleh para teman disekelilingnya, yakni menopang dagu dan menatap keluar jendela.

"Fiandi de Auzzac."

Suara berat itu menghentak telinga sang pemuda, hampir saja jantungnya lepas dari tempatnya begitu namanya disahutkan oleh seseorang yang entah siapa. Fian memalingkan muka dan kemudian menemukan guru berambut botaknya yang tengah memasang tampah marah dan menatapnya nyalang.

"Kau bisa keluar jika memang tidak ingin mendengarkan, aku adalah tipe orang yang tidak suka dengan murid yang suka menyepelekan."

Nadanya berusaha untuk dibuat berwibawa, reputasinya sebagai guru telaadan tak boleh hilang hanya karena membentak murid dari salah satu keluarga penyihir bangswan terkenal

Biasanya, Fian akan menurut jika diperlakukan seperti itu. Namun tidak jika sekarang. Baginya, Sejarah bukanlah sesuatu yang harus dipelajarinya, apalagi sang guru adalah orang munafik yang sok menjadi Yang Terbaik.

"Baiklah jika Bapak bilang begitu."

Fian berdiri dari tempat duduknya, rambut coklat karamelnya mengiang-ngiang diterpa angin siang. Ia kemudian melangkah keluar dari tempat duduknya dengan hati-hati, agar tak menimbulkan suara decitan yang terdengar nyeri.

Kakinya kembali melangkah, melewati setiap meja dimana ia selalu dihadiahi tatpan tidak percaya dari teman-temannya. Sebelum ia melangkah keluar, ia menyempatkan diri melirik kebelakang, menemukan sang guru yang juga menatapnya dengan pandangan yang sama namun justru membuatnya terkekeh pelan dikarenakan hal itu sangat serasi dengan wajah bodoh si pria botak.

BLAM!

Pintu tertutup kasar sebelum sang Ketua Kelas teladan itu benar-benar memutuskan keluar.

*#*

Jika beberapa orang memutuskan atap sebagai tempat paling nyaman untuk membolos saat jam pelajaran, Fian justru memilih Ruang UKS sebagai tempat singgahnya. Karena ia sendiri tau, sekolah biasa maupun sekolah sihir di Indonesia, tak memiliki atap yang luas seperti kebanyakan yang diperlihatkan oleh animasi Negeri Sakura.

Dirinya terbaring dalam diam, dengan kedua tangan sebagai penopang. Mata hitamnya menatap kosong ke langit-langit, dalam hatinya ia bertanya 'Apa sebenarnya yang ia inginkan?'

Ya, segala perasaan ataupun sensasi yang ia rasakan sama saja, dimanapun dan kapanpun. Mononton. Membosankan. Tak ada hal menarik yang bisa ia lakukan dengan sepenuh hati. Matanya seketika memberat dan kemudian mengatup rapat, mungkin didunia imajinasi ia dapt menemukan tujuan dan mimpi yang sebenarnya ia cari.

Satu jam..

Dua jam...

Tiga jam....

Selama hampir tiga jam lebih, Fian terjun dalam suatu dunia yang berada diantara Dunia Nyata dan Dunia Mimpi. Raganya terlelap namun tidak dengan jiwanya, beberapa waktu kemudian, keadaan itu berganti sebaliknya dan terus seperti itu.

Sudah ia duga, ia tak akan bisa tertidur jika bukan di atas kasur rumah. Ucapan pepatah memang benar, 'Rumahku Surgaku'. Tindakannya ini sia-sia, hanya menimbulkan pusing dikepalanya. Tangan kanannya beralih, mengusap pucuk kepalanya guna berusaha menghilangkan rasa sakit yang datang secara tiba-tiba itu meski ia tau usahanya tidak akan berbuah hasil.

Rasa gatal tak terhankan menyerang punggung tangan kanannya, membuatnya harus menyudahi tindakan itu untuk sementara. Tangan kirinya yang kini bermain beralih keatas dan menggaruk tangan kanannya, rasa itu namun tak mau hilang entah mengapa. Kedua tangannya turun, mensejajarkan diri dengan wajah dan mata sang pemuda, Fian penasaran gejala apa yang tengah ditimpanya.

Fate : Nusantara StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang