SATU

107 12 2
                                    

Untuk yang jauh teramat jauh, yang tinggi teramat tinggi.

Melekat dengan langit, bergerak bersama waktu.

Selamat pagi di kehidupanmu, Bintang. Semoga harimu menyenangkan! Dari aku yang hanya selalu mampu memandang dari balik punggungmu. Meski harum rambut hitam memikat itu mampu kucium, meski tangan berwarna kecoklatan itu sangat mampu kuraih.

Sekali lagi kuucapkan, selamat pagi!

Kamis, adalah pekerjaan rumah untukku karena harus berangkat kuliah lebih awal untuk kelas pertamaku.

Pagi itu pukul 07.52, seperti biasa aku hadir lebih awal. Aku mengambil cokelat sambil sesekali menyeruput susu yang baru saja aku beli.

Cokelat pertama pagi ini, susu pertama pagi ini, dan senyum serta sapaan pertama pagi ini
"Kamu ada kelas pagi?"

Nada yang diucapkan dengan lembut, dengan senyum dan anggukan kepala. Terlalu biasa dan basa-basi sekali.

Tapi aku suka, dan itulah alasanku berada di sini.

Ya.. perkenalkan, dia adalah Bintangku atau sebut saja dia adalah Bintang yang aku aku-aku-kan.

Sebagai seorang Bintang, ia tergolong amat sederhana. Lihat saja pakaiannya, kemeja lengan panjang, rambut panjang yang diikat semua, skinny jeans, dan juga flatshoes.

Sudah sejak lama aku memperhatikannya dan aku dapat pastikan bahwa tidak pernah ada riasan di wajahnya.

Lagi pula untuk apa memakai riasan?

Toh, dengan dia seperti itu saja sudah bisa membuatku menggila.

Kelasku bersebalahan dengan kelasnya. Ia selalu datang 15 menit sebelum kelasnya dimulai. Makanya, aku rela hadir 30 menit lebih awal.

Coba bayangkan, kalau bukan karena cinta, lalu apa lagi?

Kadang, aku mencibir diriku sendiri yang hanya bisa terdiam ketika Bintang melintas di depanku. Kadang aku juga menertawakan kebodohan macam apa yang aku pelihara, ketika ia tepat di depan mataku. Sementara, aku tidak bisa menggerakkan tanganku untuk sekadar menepuk bahunya sebagai tanda, "hai, Bintang, aku di sini loh".

Sempat terpikir untuk menariknya agar duduk bersebelahan denganku, berbagi, dan bercerita tentang banyak hal.

Tapi semua terasa begitu sulit.

Ya, aku memang sering menatap wajahnya. Namun, sesering itu pula aku merasa bahwa yang aku tatap hanyalah punggungnya, mengapa? Karena ia tidak pernah menatapku seperti aku menatapnya.

Tak jarang pula aku bertegur sapa dengannya. Tetapi, tak jarang aku merasakan bahwa itu hanyalah komunikasi satu arah, yang sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa itu adalah sebuah komunikasi.

Atau, bisa dibilang sebatas basa-basi.

Pemanis yang sebenarnya tidak terlalu manis.

"Hai"

"Eh, Bintang, mau ke mana?"

"Fotokopi nih. Duluan ya."

"Oh iya."

Selesai. Selalu seperti itu. Kemudian ia hilang di tengah kerumunan bintang lain, awan, pelangi, hewan, air, tanah, dan lain-lain.

Bintang yang berarti begitu besar untukku. Bintang yang mampu memutarbalikkan dan menjungkirbalikkan hati dan pikiranku, meski aku tidak berarti apa-apa untuknya.

Aku harus apa?

Aku bukan matahari yang mampu memberinya waktu untuk setidaknya terpejam setelah lelah terjaga di malam hari.

Aku juga bukan awan yang bisa berjalan ke mana pun untuk terus mengikutinya. Aku bukan pula bulan yang selalu menemaninya dalam gelap dan dinginnya malam. Dan aku bukan pula bintang, yang bisa dengan gagah dan sombongnya bersinar dengan cahayanya sendiri.

Aku hanyalah bumi, yang akan selalu menunggu dengan sabar sang bintang yang letaknya jauh teramat jauh, tinggi teramat tinggi, dan kemudian dengan rela turun ke bumi. Untuk kemudian aku dapat memeluknya. Meski entah kapan, dan bagaimana caranya.

Sekarang aku mengerti mengapa bintang yang kukenal bernama Bintang. Karena jika aku diibaratkan sebagai bumi, itu menjelaskan betapa jauh jarak di antara kami. Berapa lama waktu yang dibutuhkun agar kami mampu untuk berdiri sama rendah dan duduk sama tinggi. Bahkan, triliun milisekon pun rasanya tidak mampu.

Ketahuilah bahwa aku tidak punya hati seluas samudera untuk mampu selalu memberikan sesuatu. Bagaimana pun, sebagai manusia, naluriku adalah untuk memberi dan menerima.

Tapi kamu, Bintang, mengajarkanku untuk perlahan membuka mataku bahwa memberi tanpa mengharapkan imbalan, adalah yang disebut ketulusan.

Mengenalmu, memperhatikanmu, membuatku semakin mengenal arti kata cukup.

Meski kadang hati berkata ingin lebih, namun logika berkata jangan.

Maka aku harus berhenti.

Untuk itu, maaf jika aku hanya bisa mencuri pandang dari jauh. Ikut tersenyum, ikut bersedih.

Baik, anggaplah aku lemah. Aku bodoh. Pecundang. Silakan menamparku dengan kata-kata itu. Aku janji akan diam. Karena setidaknya diam adalah keahlianku.

Pernahkah mendengar kata pengagum rahasia?

Itu adalah sebutan untuk orang-orang sepertiku. Orang yang selalu menahan perasaan dengan berbagai macam alasan yang sebenarnya hanya sebuah alasan untuk menutupi keragu-raguan.

Aku hanya berharap, entah dengan cara apa Tuhan bekerja, suatu saat nanti aku diberi satu kesempatan untuk memberitahu sang Bintang, yang mungkin sampai detik terakhir tidak juga mengerti.

Aku hanya ingin memberitahu bahwa aku selalu berada di depannya, di belakangnya, di sampingnya. Terkadang beriringan, memanggil namanya, merindukannya, menanti kehadirannya. Sembunyi di balik daun pintu, di kolong meja, di atas koridor, di bawah pohon rindang, dan serupa dengan semak-semak. Ya, selalu menjadi bayangannya.

Meski tidak pernah ada yang tahu, bukan?
***
Ini cerita pendek pertamaku, semoga kalian menyukai cerita ini yaa, jangan lupa di vote dan di comment😘

Karena Dia adalah BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang