DUA

38 12 2
                                    

Hari Jumat adalah hari termalasku. Ketika harus masuk kuliah di sore hari hingga malam hari. Tidak itu saja, aku tidak bisa melihat sinar dari Bintangku. Namun berbeda dengan hari Jumat ini, aku melihat sinar Bintang dari kejauhan. Dari jauh saja aku sudah bisa merasakan kehadirannya. Sederhana tapi selalu menarik perhatianku.

Tetapi tetap saja aku hanya bisa memandangnya, memandang punggungnya.

Tak apa, begitu saja sudah membuatku bahagia, sudah membuatku semangat meneruskan kegiatan. Walaupun terkesan berlebihan, tapi itulah yang aku rasakan. Melihatnya adalah dopping untuk diriku sendiri.

Aku berjalan dengan gagah melewati koridor kampus yang dipenuhi sepasang mata yang memerhatikanku. Ya, bukannya sombong, tapi aku selalu menjadi pusat perhatian di kampusku. Mungkin karena postur badanku yang lebih jangkung dibanding orang Indonesia lainnya dan paras wajahku yang campuran Arab.

Mungkin wanita-wanita selalu mencari cara agar bisa berdekatan denganku. Ya, semua wanita terkecuali Bintang. Bintang yang tidak pernah melihat bahkan melirik kepadaku.

Otakku terus saja bekerja memikirkan mengapa Bintang tak pernah sekalipun melihat kepadaku. Hingga aku tak menyadari seorang wanita memanggil namaku dengan lembut,
"Suara yang sering kudengar," gumamku.

Benar saja, Bintang, Bintang yang memanggil namaku. Aku langsung memutar badanku agar bisa melihat Bintang.

"Hai.. hai Bintang. Kenapa?" ucapku.

"Nggg, ini aku mau ngasih tau, tadi Pak Baroto bilang gak bisa masuk kelas kamu, karena anaknya Pak Baroto sakit," kata Bintang terengah.

"Hmm, oh berarti hari ini kelas gue libur ya? Makasih ya, Bintang," ucapku sambil berjalan meninggalkan Bintang, sebelum Bintang mengucapkan sesuatu.

Aku selalu tak sanggup memandang Bintang lama-lama, itu hanya membuatku nervous alias gugup. Sebelum aku salah tingkah, aku memilih meninggalkannya.

"Bodoh, itu kesempatan lo! Ajak dia pulang bareng!" pikirku. Akhirnya, aku beralih lagi ke Bintang yang masih berdiri di tempat yang sama.

"Bin.. Bintang, lo.. lo ba...lik sama siapa?" tanyaku yang seketika salah tingkah. Aku melihat muka Bintang yang langsung berubah dan heran atas ajakanku.

"Aku? Aku sih pulang sendiri, naik angkot seperti biasa," jawab Bintang yang masih heran.

"Oh.. naik angkot ya? Rumah lo di Kemang, kan? Balik bareng gue aja yuk, searah kok sama rumah gue," jawabku setelah mengumpulkan keberanian dan memutar-mutar hapeku untuk mengurangi kegugupanku.

Dengan muka kaget, Bintang menjawab,
"Loh? Kok kamu tau rumah aku di Kemang?"

Aku pun panik. Tak mungkin aku jujur padanya kalau aku mengikutinya waktu itu.

"Nggg, oh itu, anu.. si Bunga bilang sama gue waktu itu pas dia tau kalo rumah gue di daerah Kemang juga," jawabku sambil menggaruk kepalaku yang padahal tidak gatal.

"Oh.. gak usah, nanti aku malah ngerepotin kamu, aku juga masih ada kuliah sampai jam 6 nanti," jawab Bintang sambil tersenyum.

"Ya gapapa, gue juga masih di kampus kok, masih ada urusan," jawabku.

"Gak ngerepotin nih aku? Nanti kelamaan nunggu akunya," ujar Bintang sambil melihat jamnya yang masih menunjukkan pukul dua siang.

"Enggak kok, kan juga searah," ujarku.

"Hmm, yaudah deh, nanti aku kabarrin. Yaudah, aku ke kelas dulu ya, takut telat," ujarnya sambil berlalu di hadapanku.

Ya! Itu adalah komunikasi terpanjangku dengan Bintang. Dan ini adalah momen yang selalu aku harapkan, berbincang dengan Bintang. Sekarang, masalahku adalah mencari kesibukan untuk menunggu Bintang.

Karena Dia adalah BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang