Great Wall Inside

57 21 4
                                    


[Catatan Christone saya beri sedikit tambahan]


Aku tidak merasa canggung ketika pagi-pagi sekali teman wanitaku datang bertamu ke rumah ibu. Aku bahkan tidak pernah bilang siapa nama wanita itu pada ibu. Bukannya aku malu mengutarakan, namun ibu orangnya tidak suka ikut campur.

"Mau teh?"

"Tidak, ini masih terlalu pagi."

"Oh, kalau camilan?" tanyaku lagi.

"Tidak perlu, Chris. Aku hanya ingin berbicara masalah Tevin."

Mendengar nama Tevin di sebut-sebut begini, aku jadi agak malas dan mulai menurunkan bahuku ke sandaran kursi malas.

"Ada apa lagi dengan pria itu?"

"Dia telah pergi, baru saja kemarin." Jawabnya padat.

Sekilas aku menggambarkan ekspresi wajah pria dua puluh tahunan itu yang sedang melambaikan tangan kirinya padaku. Kemudian aku kembali terdiam seperti tadi.

"Dia tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, asal pergi saja."

"Maksudmu dia mati?" tegasku, ingin tau betul.

"Tentu tidaklah!" Pertanyaanku rupanya membuat suara wanita keturuanan Italia ini meninggi.

"Lalu bagaimana?"

"Dia pergi ke kota yang aku tidak tau itu di mana. Maksudku dia seperti sengaja ingin menjauh se-lamanya dariku."

"Ah, masa? Mungkin hanya perasaanmu saja yang terlalu merasa bersalah," ujarku menyangkal.

Setelah kalimatku selesai. Lidah wanita ini seperti tercekat. Dia seakan memikirkan sebuah kata untuk membalas penolakanku atas pendapatnya. Tapi demikian, dia langsung saja berputar haluan.

"Sudahlah. Bagimana dengan sarapan?"

"Apa?" alisku berkerut sangat.

"Ya. Ini sudah jam delapan lebih. Apa kau tidak lapar?" dia menunjukkan jarum jam yang memang terus berputar itu padaku.

"Terserah sajalah."

Dia diam-diam ternyata dia jago membuat masakan seperti ibu. Memang masakannya kurang lebih sama, tapi ibu tetap juru masak terbaikku.

Sambil mulai menyuap satu sendok kuah sup, aku mencoba mencari bahan untuk pembicaraan.

"Apa yang telah kau perbuat setelah sebulan kita tak bertemu?"

"Oh, hanya bolak-balik dari satu teater ke teater lain. Tidak banyak uang untuk itu. Hanya dua puluh lima dollar per-satu pertunjukkan. Makanya aku kemari," terangnya jujur sekali.

"Tidak berniat menikah?" tanyaku santai.

"Tentu ada. Tapi coba siapa yang bersedia melamar dalam waktu seperti ini. Kecuali dia sudah mantap untuk menjadikanku separuh hatinya. Tapi ayolah, ini hari sibuk kerja. Mendapat kawan baik seperti Tevin dan kau saja itu sudah bonus bagiku." Dia malah makin merendah.

"Kalau ada yang melamarmu malam nanti bagaimana? Kau terima apa tidak?"

Aku lihat wajahnya makin memerah. Seakan malu mengatakan yang ada pada hatinya padaku. Tapi aku tau apa itu maknanya.

"Ya, tergantung. Bagaimana pria itu, dia tampan atau tidak, kaya atau tidak, bagaimana keluarga dan teman-temannya. Aku harus tau betul. Bagaimana kalau aku nanti tertipu oleh muslihatnya?"

"Harusnya kau langsung menerimanya dengan kepas-tian yang mantap."

"Kenapa begitu?" dia tercengang. Heran beribu heran.

"Ya, bisa jadi, kan? Orang itu nanti—Aku."

Sekejap itu juga. Dia beranjak cepat dari kursi duduknya. Aku pun ikut beranjak karena reflek. Wajahnya terlihat senang tapi ada yang masih tersembunyi di baliknya.

"Ada apa, Gabriella?"

"Tidak. Chris. Aku boleh pamit sekarang, kan?"

"Tentu, boleh. Kau sudah di sini tiga jam, masa kau tidak pulang ke rumah."

Dia lantas pergi dengan sepedanya. Yang kecil dan anggun sama seperti pengendaranya. Entah aku benar atau salah, tentang lamaran pernikahan itu. Aku sungguh tidak bermaksud yang begitu, namun dia salah arti.

Entahlah. Karena dia bilang tadi ini hari sibuk kerja, aku jadi merasa tak berguna hari ini. Mengganggur tanpa sebab. Pekerjaan yang sebenarnya ada makin menumpuk saja. Juga tidak ada pelayan yang memberiku kopi seperti dulu.

Rasanya seperti ada yang menahan ucapanku, bagai tembok besar yang runtuh—dan reruntuhannya tertumpuk di dadaku. Aku ingin sekali memanggil beberapa pelayan, sebenarnya.

September 1954 [From Banale Trilogy | 1/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang