Headlines A Week Ago

34 19 1
                                    


[Catatan harian Christone saya beri sedikit tambahan]

"Telegram, Mr. Applegate!"

Teriakan penjaga rumahku, Benji. Yang khas itu selalu saja membuatku terbangun dalam keadaan yang tidak sepenuhnya bangun.

"Sebentar, Ben. Aku datang!"

Terhuyung tak karuan aku merengek kesal pada suasana. Pintu yang tua itu aku buka dengan sigap. Berharap dalam telegram itu isinya berkualitas. Sehingga dapat dikatakan pantas menggangu tidur nyenyakku.

"Telegram, untuk Anda!" seru Benji sembari mengulurkan sepucuk amplop padaku.

Dan aku langsung saja menyambarnya, dan membolak-balik amplop kusamnya.

Sebelum aku membuka isinya, aku lupa tidak menyuruh penjagaku kembali bertugas. "Terima kasih, Benji. Aku senang kau semakin cekatan akhir-akhir ini, upahmu akan naik tiga kali lipat. Akan ku pertimbangkan dengan ibu. Silahkan kau kembali berjaga di depan. Teriakkan namaku lagi, jika ibu sudah pulang, ya?"

"Ya, Sir!" Benji pun berlalu begitu saja.

Aku melangkahkan kaki ke kursi malas. Kemudian duduk. Mengambil pipa rokok yang telah terisi tembakau. Lalu menghisapnya dalam-dalam. Bersandar di bantalan kursinya. Dan perlahan membuka amplop itu. Mengambil isinya.

"Dear, Christone.

Sepertinya aku tidak bisa berkunjung pagi nanti. Ibuku sedang sakit. Kau tidak perlau cemas. Aku baik saja di sini. Aku juga sudah melupakan Tevin. Jangan bercanda lagi, ya? Aku sangat sensitif tentang pernikahan. Bagiku itu suatu hal yang sakral dan ada andil Tuhan di sana.

Eric Gabriella."

Rupanya teman wanitaku ini sadar jika Tevin bukanlah satu-satunya pria yang ia cintai di dunia. Memang sudah harusnya begitu. Melupakan masa kelam yang telah lalu, dan menata yang akan dimulai.

Sepanjang subuh, aku bergumam tak menentu arahnya. Sesekali menghakimi Tevin. Sesekali memuji kecantikan diri Gabriella dari dalam maupun luar.

Aku juga tidak berpikir kalau aku jatuh hati pada wanita polos. Yang selama empat tahun lebih telah ku anggap sebagai adik dan teman dekat yang paling dekat denganku.

Subuh telah usai. Matahari yang tak pernah mencolok di negara ini tiba-tiba muncul. Seti-daknya kini Nottingham sedikit cerah.

Kegiatanku hari ini tidaklah lebih penting ke-timbang bercocok tanam di kebun belakang rumah. Ku lihat masih jam tujuh. Dan herannya-ibu belum juga kembali.

Tapi baiklah. Aku harus mengisi waktu luang dengan sedikit kegiatan yang banyak manfaatnya, namun mencari kegiatan yang tidak terlalu memerlukan banyak tenaga, karena aku sedang malas berat.

Aku mulai duduk manis di kursi malas. Namun dengan posisi badan tegak. Kedua kaki bersilang ke depan lalu naik ke meja. Dan mencoba membaca buku-buku dongeng, membaca koran yang telah terbit minggu lalu dan minggu lalunya lagi.

Berita utama minggu lalu, seorang wanita sedang berusaha melakukan percobaan bunuh diri. Namun gagal karena wanita tersebut berhasil dibujuk oleh seorang pemuda dua puluh tahunan. Banyak saksi yang mengira pemuda tersebut adalah sang kekasih. Namun ketika dimintai keterangan lebih lanjut, pemuda itu memilih diam dan tidak melontarkan jawaban apapun.

Kini pemuda tersebut dikabarkan menghilangkan dari rumahnya. Setelah orang tuanya melapor pada pihak berwajib, identitas pemuda ini akhirnya terkuak.

Singkatnya, bacaan berita utama yang sedang ku baca ini sangat tidak masuk akal. Aku jadi makin penasaran.

Tapi mengingat waktumakan siang telah memanggil, hatiku teringat akan keberadaan ibu. Sampai tengahhari, beliau belum juga terlihat di depan pintu.

September 1954 [From Banale Trilogy | 1/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang