Aku memutuskan mengambil flight pertama ke Jogjakarta hari ini, memilih mengambil cuti dan menyerahkan pekerjaan pada partnerku di kantor. Disinilah aku, bandara Juanda. Aku bisa saja mengambil perjalanan ini dengan kereta karena selain lebih murah, jarak stasiun dari rumah juga lebih dekat. Tetapi aku memutuskan menggunakan pesawat dengan flight paling pagi dengan 2 tujuan. Pertama, aku ingin menikmati jalanan Surabaya yang lenggang di dini hari sebagai seorang bebas bukan seorang pekerja yang otaknya dipenuhi rutinitas dan urusan duniawi lainnya. Kedua, bandara adalah hal yang paling sering aku datangi ketika masih bersama Fridlis. Jauh sebelum aku mengenalnya, aku sudah jatuh cinta pada tempat dimana perjalanan dimulai. Bandara, stasiun, pelabuhan, dan terminal. Seakan di setiap tempat itu mengandung sejuta kisah anak manusia. Pertemuan, perpisahan, kerinduan atau keikhlasan. Berawalnya sebuah kisah atau justru berakhirnya sebuah cerita. Aku dari dulu sudah jatuh cinta pada rutinitas kehidupan yang berada di tempat-tempat dimulainya sebuah perjalanan.
Aku duduk dalam sebuah bangku panjang di boarding room gate 2, memasang headset dan menyalakan iPod-ku. Aku bukanlah tipikal seperti ini kecuali aku sedang ingin sendiri. Perjalanan yang aku mulai hari ini akan menjadi perjalanan yang aku belum tahu bagaimana akhirnya. Semalam aku membulatkan tekad untuk memberanikan diri menginjakkan kaki di kota seribu pelajar itu lagi tanpa aku tahu bagaimana hatiku nanti akan merespon. Kota ini dipenuhi kenangan tentangnya, bukan hanya tentangnya tetapi tentang kami, tentang cerita yang terjalin diantara kebersamaan kami. Tak terasa airmataku mulai menetes dan buru-buru aku menyekanya. Aku tak ingin orang-orang disini berpikir aneh-aneh tentangku.
Setelah 15 menit berselang, para petugas mulai membuka gate untuk boarding. Aku merapikan rambutku, mengikatnya keatas, memasang kacamataku, menghentikan iPod-ku tanpa harus melepaskan headset-nya, memasang ransel pada punggungku dan berjalan ke arah petugas pemeriksaan. Aku menghela nafas panjang. Entah kenapa mulai terasa berat. Aku mulai ragu melangkah, 'Benarkah keputusanku ini?'
Disinilah aku, di dalam pesawat yang akan membawaku terbang dalam ketinggian 15.000 kaki diatas permukaan laut, duduk berdekatan dengan jendela pesawat. Semua instruksi pramugari telah selesai diperagakan, pilot mengumumkan pesawat akan segera tinggal landas. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang. Rasanya nafasku makin berat. Ini bukan pertama kalinya aku menaiki pesawat jenis ATR 72-500 ini, bukan juga aku takut akan ketinggian, tetapi ini pertama kalinya aku akan menginjakkan kakiku di Jogja setelah pemakamannya. Aku memilih untuk memejamkan mata, menyalakan iPod-ku dan terpejam, mencoba mengumpulkan sejuta nyali.
Sudah satu jam perjalanan aku mengudara beserta penumpang lainnya. Langit yang tadinya hanya berisi birunya atmosfir dan putihnya awan telah berubah dengan 2 gunung yang bersebelahan, gunung merapi dan gunung merbabu. Pertanda bahwa kami telah berada diatas udara Jogja. Pramugari mengumumkan bahwa dalam beberapa menit ke depan pesawat akan landing dan kami diminta mengeratkan sabuk pengaman.
Jogja memiliki atmosfir berbeda, bahkan mungkin jika kita membawa seseorang yang sudah pernah ke Jogja dengan kondisi mata tertutup, dia akan tetap tahu dimana dia dibawa. Bau tanah ini, udara ini, keramahan ini, riuh rendahnya suara, semuanya berbeda. Lebih tenang dibanding kota lain. Aku kembali lagi menghela nafas, menanti sahabatku yang sudah aku hubungi untuk menjemput. Aku berdiri di tepian hujan, mencoba menikmati rintik air yang membasahi tanah ini. Rasanya seperti kembali membuka memori di hari pertama aku bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang mencuri hatiku sepenuhnya. Lelaki yang begitu berharga. Fridlis Irmiawan.
***
Aku telah sampai di ruang pengambilan barang. Setelah agak sedikit lebih lama, aku melihat sebuah koper besar bewarna ungu dan aku mengambilnya. Aku segera berjalan menuju pintu keluar.
Bruukk
Aku menabrak seseorang di hadapanku, aku melihat ke arahnya. Seorang laki-laki berkacamata dengan badan sedikit berisi dengan tinggi yang tidak berbeda jauh denganku kini sedang menatap kemeja putih bergaris hitamnya terkena kopi tumpahan dari papercup-nya yang tumpah karena bertabrakan denganku yang daritadi memainkan iPhone-ku.
"Duh, maaf ya, Mas."
"Oh iya." Dia tersenyum. Aku merasa tak enak hati.
"Mas, bawa kemeja cadangan khan? Mas ganti kemeja aja. Kemeja yang ini aku cuci aja ya, nanti aku balikin."
"Gak usah, gak apa. No worries."
"I'm insist."
"But treat me a cup of coffee either ya."
"Deal."
Aku menemaninya menuju toilet, menunggu di depan toilet sembari membalas chat dari teman yang katanya akan menjemput hari ini. Aku berada di kota ini untuk melanjutkan studi S2-ku di Fakultas Hukum, UGM. Tiba-tiba iPhone-ku berdering.
"Halo, mbak."
"Halo, Pak. Dimana? Saya sudah di bandara nih."
"Maaf mbak, tadi saya masih nganter temennya bapak. Ini baru menuju bandara. Macet parah mbak."
"Oohh, okay pak. Jemput ya tapi."
"Pasti mbak, sabar."
Aku menutup telepon dari supir pak dheku.
"Heemm" aku terkejut dengan suara berdehem iseng itu.
"Nih, kemejaku." Katanya sembari menyerahkan kemeja itu. Aku melipat kembali kemeja yang hanya dilipat-lipat seadanya itu, lalu memasukkannya ke dalam ranselku.
"Okaay, akan aku bersihkan deh sampai kinclong. Ready for a cup of coffee?"
"Sure."
Kami berjalan ke salah satu kedai kopi yang berada di teras bandara ini. Bandara yang menurutku cukup kecil untuk ukuran bandara internasional.
***
Thanks for read it. Hope you like it. Please votes and comment. May someday i'll contact you and give a giveaway. Thanks.
KAMU SEDANG MEMBACA
God Hug You Better Than Me
RomanceSiapa yang menginginkan seorang kekasih dengan leukimia? Siapa yang tega melihat belahan jiwanya melawan seluruh rasa sakit akibat kemoterapi? Siapa yang pernah meminta untuk diberikan sentilan begitu luar biasa oleh Tuhan? Siapa yang mengetahui apa...