Bab 5

54 7 7
                                    

"LO kok gitu sih Tal. Masa ngasih tahu gue saat lo udah fix-fix-an sama nyokap lo. Gue tahu lo patah hati, tapi jangan ngajak-ngajak juga dong. Kalo lo pindah 'kan gue juga ikutan patah hati nih." Cerocos Nakila langsung sesaat setelah gue ngasih tahu dia bahwa gue sudah siap buat pindah. "Tal ... lo gak kasian sama gue? Lo bosan temenan sama gue? Atau gue jahat sama lo? Besok Tal, besok nyokap lo ngurus surat pindah. Gue bisa apa?"

Untunglah kelas sedang sepi berhubung yang lain sedang sibuk dengan keperluannya masing-masing jadinya gue gak segan buat terbuka-seterbukanya sama Nakila. "Hubungan persahabatan kita baik-baik aja Na. Gue cuman lagi ngambil kesempatan selagi nyokap gue mau ngajak gue tinggal sama dia. Gue harap lo paham maksud gue. Maafin gue."

Mata Nakila tampak berkaca-kaca kontans gue langsung meluk dia. Baru kali ini gue lihat Nakila nangis sampai bahunya bergetar hebat. Na maafin gue, perpisahan ini terlalu menyakitkan ya? Gue merasa sangat bersalah banget disini. Enam tahun sama-sama apa emang harus kami pisah gini? Gue sudah mikirin ini semalaman, apakah keputusan gue ini terbilang kekanak-kanakan atau enggak. Gue harap enggak. Nenek ternyata juga sedih, gue tahu itu pasti meskipun nenek bilang bahwa dia gak apa-apa. Dia seolah ngedukung banget gue pindah, tapi meskipun gitu gue tahu bahwa nenek bohong. Satu hari ya? Dengan satu hari banyak kok kejadian yang bakal terjadi. Deka? Dari kemarin gue gak ada ngelihat dia. Memang itu sih yang lagi gue pengen.

Gue mengurai pelukan kami. "Jangan nagis dong, bedak lo jadi luntur tuh." Goda gue sembari menoel-noel pipi Nakila. "Nanti jangan sendirian aja ya, cari temen baru dong, masa sama gue aja."

"Iya. Gue bakal cari teman sebanyak-banyaknya biar gue lupa sama lo. Lo jahat sih." Ucapnya dengan nada marah yang di buat-buat sesekali tampak mengelap air matanya kasar. "Gue mau ke toilet. TE-ME-NIN." Ujar Nakila dengan menekankan setiap ejaan dari kata terakhir. Kami pun berjalan beriringan, biasanya kalau ke WC kami akan lari siapa yang duluan sampai. Tapi kali ini enggak, seakan kami ingin letak WC itu sangat jauh, agar kami bisa bercanda lebih lama selama berjalan. Gue pasti kangen banget-banget-banget sama Nakila.

Saat sedang asik mengobrol bahu gue bertakbrakan dengan seseorang yang berjalan berlawanan arah dengan gue. Untuk saja pijakan kaki gue kuat jadi gak sampai jatuh atau semacamnya. "Sorry. Eh Lia, kok akhir-akhir ini gue jarang liat lo."

Lia.

Gue tahu siapa yang menabrak bahu gue. Bolehkah gue senyum seperti kemarin, atau gue harus jutek agar perasaan gue juga ikutan jutek terhadap rasa suka buat Deka. Tapi ya gitu hati sama otak gak pernah sinkron gue malah senyum semerekah mungkin. "Oh itu anu gue lagi banyak PR." Jawab gue sedikit gagu.

"Gak usah deh sapa-sapa Talia. Jangan buat di baper, karena besok dia mau pindah sekolah. Paham lo?"

Heh.

Gue terkejut mendengar ucapan Nakila barusan sebelum dia narik gue buat jalan ke WC dengan langkah yang lebih cepat. Ya ampun, Deka paham gak ya ucapan Nakila tadi? Kalo paham berarti dia sekarang tahu dong kalo gue suka sama dia? Mati nih gue. Oke, selow, besok gue juga pindah jadi rasa malu itu pasti gak kerasa bukan?

"Na lo kok ngomong gitu sih sama Deka?" Tanya gue sesaat setelah Nakila keluar dari toilet. Nakila tampak menaikkan sebelah alisnya. "Biar dia sadar Na. Buat gak bikin lo jadi klepek-klepek terus jatuh gitu."

Gitu ya?

⚫⚫⚫

Cepat sekali ternyata satu hari. Bahkan kesannya ini gak cukup. Setelah pulang sekolah gue dan Nakila berencana buat masak-masak di rumah gue. Terus makan bareng sama nenek dan bi Atul, setelahnya kami maraton namatin serial drama korea yang belum kami tonton berdua. Itupun selama nonton kami banyak ceritanya, kami ngungkit kejadian lucu yang pernah kami alami selama enam tahun ini sampai kejadian paling memalukan.

Gue inget banget waktu SD kelas lima kami main masak-masakan di depan rumah, niatnya mau bikin bubur gitu tapi Nakila malah masukin minyak goreng jadinya gagal. Gue juga inget waktu dulu gue boncengan sama Nakila, gue ngomong gini, "Na liat nih gue bisa lepas satu tangan." Terus Nakila cuma ketawa-ketawa aja di belakang. "Na liat nih gue bisa lepas tangan dua." Baru sedetik setelah ngomong gitu kami berdua langsung jatuh terjerembab mengenaskan. Bukannya nangis kami malah ketawa nyaring meskipun lutut sama siku ada luka.

Masa kecil itu memang paling menyenangkan. Kita gak bakal tahu rasanya sakit hati. Kita gak tahu apa itu cinta. Dan kita gak mau tahu gimana rasanya merjuangin seseorang. Paling kalo pusing cuma karena satu hal ; main apa ya besok?

Semua pakaian serta barang-barang sudah gue masukin semua ke kardus sama koper. Besok gue langsung aja ke Palangka Raya. Saat sedang menscrol beranda instagram, gue nemuin foto gitu dari akun humor. Dalam gambar itu ada tulisannya gini, "Tag orang yang lo sayang." Bodohnya saat itu gue langsung nge-tag akun Deka. Biarlah alay sekali-kali. Toh ini yang terakhir kalinya. Deka juga mana mungkin peduli.

⚫⚫⚫

"Katanya sayang kok ninggalin?"

Gue langsung menoleh saat mendengar suara itu. Setelah gue dan nyokap keluar dari ruang kepala sekolah nyokap langsung duluan ke mobil, sedangkan gue tertinggal sebentar karena harus mengikat tali sepatu. Napas gue tercekat saat mengetahui siapa yang bicara gitu.

Dia ...

Deka.

Dengan rambut yang di biarkan acak-acakan tapi tetap berpakaian putih abu-abu rapi dia berjalan menghampiri gue. Gue langsung berdiri dan berhadapan dengan dia. "Katanya sayang kok ninggalin?" Ucapnya mengulang.

Gue gak bisa langsung jawab, semua kosa kata rasanya gak bisa keluar dari ujung lidah. Gue bahkan gak berani natap dia, gue memilih untuk menatap keramik putih polos itu. "Kenapa pindah? Cape ya?"

Itu pertanyaan macam apa sih? "Cape kenapa?"

"Merjuangin orang bodoh yang gak akan pernah mau sadar. Gue udah tahu semuanya saat gue maksa Nakila buat cerita tentang maksud dia ngomong gitu kemaren di dekat toilet. Maaf gue gak peka."

Ini ada apa sih? Apa ini imajinasi gue yang sekarang sudah tingkat akut? "Lo ngomong apa sih gak jelas tau. Maaf gue harus nyusulin nyokap sekarang, dan ngomong-ngomong salam buat ... pacar lo."

Gue berbalik cepat, tapi kalah cepat dengan Deka yang tiba-tiba meluk gue. "Hati-hati, moga disana menyenangkan." Dia melepas pelukan itu cepat dan berlalu meninggalkan gue juga dengan sangat cepat. Mata gue rasanya mulai mengabur, gue berusaha untuk menahan agar air bening itu tidak jatuh dengan mendongakan kepala ke atas serta memaksakan senyuman. Kata orang senyum adalah cara terbaik untuk memanipulasi kesedihan.

Sekarang apakah gue menyesal? Kenapa dia seperti ini di saat gue sudah mulai beranjak pergi? Gini ya cinta pertama gue? Tragis banget sih? Setelah ini apakah masih ada rasa?

TAMAT

⚫⚫⚫

Kisah ini untuk kamu yang baru peka setelah aku mulai beranjak untuk meninggalkan.

Delia ; Ada Kalanya Perjuangan Tak Ada HasilnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang