4. Bimbang-Bimbang Amat

21.4K 3K 201
                                    

"Itu rambutnya Mbak Cita tolong dong, Al..." Ibu PD yang terhormat udah berdiri di istana dan siap memenggal kepala siapa pun yang beliau kehendaki. Gue diam aja, duduk di tempat gue seharusnya, menjalankan apa yang ada di rundown, setelah tadi Clara mengecek semua teknis dan dia rasa cukup. "Shit, kenapa Mbak Cita nunduk-nunduk-nunduk mulu, sih!" Setan nih cewek satu. Gue ngebayangin gimana budeknya ratu gue di studio. Sabar, Sayang, Bang Bima belum bisa nolongin ke sana. "Alisa tolong dengerin aku baik-baik dan buka kupingmu lebar-lebar."

Gue pura-pura batuk kayak aki-aki, bikin si Clara menoleh dan memicingkan matanya. Nyengir lebar, gue mengangkat botol minum buat nenangin ibu PD. Di ujung sana, Ajimara cuma cengengesan sambil memperagakan menggorok lehermya dan kasih gue senyum iblis. Bangsat produser satu itu.

"Oke, kita on air satu menit lagi!"

Selamat datang neraka. Selamat berjuang satu jam ke depan, Alisa Sayang.

Kalau bisa, udah gue gantiin posisi Alisa di studio supaya gue aja yang budek dengerin teriakan Clara. Tapi apa daya tangan tak sampai. Gue milih buat berdoa dalam hati aja, semoga ratu gue nggak lagi PMS dan tiba-tiba meraung nangis di studio dan bikin semua orang panik.

On air paling bikin malas itu adalah jam-jam segini. Sore-sore yang harusnya kita lagi di perjalanan pulang, membayangkan empuknya kasur tapi nyatanya itu cuma ngayal. Setop, Bim. Fokus sama benda ngeselin di depan lo ini.

Mau tahu waktu terpanjang di dunia? Ya ini, setiap program yang dipimpin oleh Clara. Jam kayak nggak jalan dan dunia itu gue mikirnya ngambek karena nggak berganti waktu. Dan, begitu acara kelar, satu-satunya kata yang keluar dari mulut gue adalah, "ALHAMDULILLAH ALLHUAKBAR!" Bikin orang-orang noleh dan ketawa ngakak. Kecuali ya satu, ibu PD jelas gengsi kalau mau ngakak bareng kita-kita gini. Dia cuma mandangin gue datar, palingan tiga detik, bilang makasih dan keluar ruangan.

Kalau nggak inget banyak orang, udah gue cium sampai mampus lo, Cla.

Hal pertama yang gue cari begitu keluar lift adalah ratu di sekitaran lobi. Dia ke mana ini? Biasanya ngejogrok di sana cekaka-cekiki sama Frena (resepseonis) ngomongin soal cowok ganteng. Tapi payah, gue nggak masuk obrolan.

"Dwaaar!"

"Anjing." Gue mengelus dada, menjitak kepala Alisa begitu tahu dia nyengir tanpa dosa. "Gue jantungan lo siap ngejomblo?"

Dia mencibir.

"Gimana? Kuping lo masih baik-baik aja?"

Gila, gue dikasih lirikan maut. "Menurut lo?"

"Coba sini BangBim obatin pakai lidah."

"Biadab, Bimaaaa!"

Teriakannya cempreng banget bikin gue ngakak. Tiba-tiba gue berhenti ketawa dan merhartiin dia yang lagi mengucir tinggi rambutnya. Cobaan makhluk Adam kalau lihat leher jenjang kayak gini nih. Sialan, Al. Pasti wangi banget keringatnya dia kalau lagi pulang kantor gini. Asem-asem segar gitu.

"Eh, Bocah! Buruan."

Gue ketawa, berjalan cepat nyamperin dia dan keluar gedung. Jadi, begini, pagi tadi, gue nggak bawa Satria karena ratu gue bilang malas nyetir dan malas naik motor. Alhasil, gue yang berkorban pesan GO-JEK buat datang ke rumahnya dan kami ke kantor bawa mobil dia. Enak ya kalau dicintai, tinggal nyuruh aja gue nurut.

Bima, Bima. Mau jadi apa masa depan lo nanti.

"Gue dapet gebetan baru dong." Coba tolong dihitung berapa kata yang ratu gue itu tadi keluarin, kok rasanya empet banget gue dengarnya. Mau nyanyi kencang takut dia ngamuk karena ketahuan gue nggak dengerin, tapi mau masang telinga juga rasanya mendidih nih kepala. Mau nonjok siapa pun gebetan yang dia sebut tadi. AC mobilnya Alisa lagi rusak apa ya kok gerah banget. "Bimaaaaa. Gue lagi ngomong! Malesin banget sih lo. Kalau gue ngomong soal gebetan nggak pernah didengerin. Kalaupun dengerin pasti bilangnya dia nggak bagus buat gue. Emang lo doang yang boleh dapetin cewek cantik dan dedek gemez itu. Gue juga mau kaleeeee."

Gue cipok juga nih cewek biar diam.

"Bimaaaaaaa."

"Gue lagi nyetir anjir! Jangan pegang-pegang." Dia nggak tahu apa efek sentuhannya di lengan gue menjalar sampai ke pangkal paha. Mana tangannya kecil gitu kan. "Gebetannya siapa lagi sekarang? Dih najis, Al! Nggak usah pasang senyum-senyum sok imut gitu."

"Gue emang imut sih."

Ya gue tahu itu. Udah. Gue hafal banget kalau Alisa Adrenia Sukmadewi ini adalah ratu paling imut dan manis se-Banten raya. Se-Jakarta pusat. Dan se-Bandungnya Ridwan Kamil. Tahu gue, udah.

"Namanya Alex. Keren nggak sih dari namanya aja nggak kayak nama lo pasaran banget." Boleh, para relawan kasih gue pedang Samurai atau sekalian gue minta tolong buat tebas kepala gue. "Dan orangnya jelas lebih keren. Anak produksi, Bim. Tapi gue sebelumnya nggak pernah lihat. Maklum, dia keluar mulu kali ya buat bikin materi. Anaknya itu humoris, tapi nggak kebablasan kayak lo gini." Ada yang mau nyumbangin earphone lengkap sama iPod gitu? Lagu apa aja deh, yang penting gue senang. "Mana sweet banget lagi. Kemarin pas kita ketemu du ToTaTi, kan semua meja hampir penuh tuh, dan ada satu yang kosong, punya dia doang. FTV abis ya?" Dia ketawa. Gue ikut ketawa seadanya. "Terus, terus, dia berdiri, narik kursi dan mempersilakan gue gitu. Sambil senyum manis. Ya Allah gue mau dihalalin rasanya." Ini mana sih para relawan? Nggak ada yang bantu nebas kepala gue apa? "Daaaaaan, taraaaaa! Gue bohong."

Detik itu juga, gue noleh secepat musuh kalau lagi nikung dan lihat dia lagi terbahak sambil mukulin pahanya. Terus, tiba-tiba dia noleh ke gue juga. "Lo baik-baik aja kan, Al?" Gue rasanya mau nonjok kaca mobil di depan gue ini begitu lihat dia ketawa tapi matanya sayu. Gue kenal lo lebih dari enam ratus hari, Al.

"Gue nggak baik-baik aja, Bim." Kepalanya langsung nunduk. Nggak lama dari itu gue dengar suara isakan. "Gue tadi pagi lihat postingan Abam ijab kabul. Belum lama gue baru beraniin diri buat buka IG-nya dan nemuin postingan prewed dia yang nggak tahu sejak kapan. Dan, tadi gue nggak bisa nahan diri buat liat gimana gantengnya dia pakai setelan kawinan." Gue memelankan kecepatan. Berusaha banget buat bagi fokus supaya nggak nabrak kendaraan lain atau mentok pembatas jalan. "Harusnya nama gue ya, Bim yang dia sebut dan nama bokap gue sebagai wali?"

"Al---"

"Gue kadang mikir, kenapa gue nggak jatuh cinta sama lo aja. Lebih gampang, kayak Ayudia sama Dito. Saling kenal. Kenapa kita nggak bisa kayak gitu aja ya, Bim?" Dia ngomong gini pasti karena suara Ayudia dari radio lagi menuhi ruangan mobil. Kampret banget acara yang dibikin radio ini bikin ratu gue tambah sedih. Teman tapi nikah? Tahi. Gue bahkan kesusahan buat bilang ke Alisa. "Sakit, Bim. Di sini."

Bangsat. Mata gue kenapa perih banget ini.

"Seandainya kita bisa gitu ya, Bim? Mungkin gue nggak akan semenyedihkan ini."

"Bisa kok." Setelah ini gue beneran siap kalau ada relawan tiba-tiba datang bawa Samurai atau buldoser sekalipun. Udah terlanjur juga. "Gue bisa jadi cowok itu. Masalahnya, lo mau enggak?"

"Bim."

Gue cuma ketawa sedih aja. Habis nggak tahu apa yang kudu dilakuin. "Gue bisa geser posisi Abam kok, Al kalau lo mau. Serius." Dan, nggak jadi, Pak relawan. Gue nggak tega lihat muka ratu gue ini. "Hahaha gue becanda. Serius banget sih lo." Damn, Man. Gue emang si Bangsat tolol. Udah nggak usah diperjelas. Gue paham dan sumpah nggak akan mau melihat muka dia kacau kayak tadi begitu gue selesai ngomong.

Apapun, Al. Apapun buat lo bisa senyum kayak sekarang.

"Taee lo. Gue udah syok aja. Kalau sampai omongan lo tadi bener, udah gue rajam lo."

Lo bakal lebih syok atau mungkin stroke mendadak, Al, begitu tahu apa yang gue omongin tadi bukan sebuah lelucon.

Senyum aja gitu terus. Udah cukup kok buat gue.

.
.
.
.
.
[Jakarta, 16 Mei 2017]

Update dua kali wkwkwkwk. Demi apapun ini cerita tanpa ada kerangka.

Jadi, kalau ada kekeliruan tolong dikoreksi yaa.

Salam sayang dari BangBim.

😾😾😾

Salam,
Curious_

Intervensi ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang