Gue sering bertanya sama diri sendiri, apa sih arti keluarga selain adanya darah yang mengalir di dalam tubuh?
Lihat kebahagiaan keluarga Salim itu, boleh juga. Lihat kompaknya anggota DPR dari fraksi parpol (partai politik) A membela anggota lainnya, solid banget. Lihat gimana relanya pasukan penyidik KPK dalam kasus besar dan tantangan nyawa macam Novel Baswedan, mantab juga. Dan, coba lihat gimana sayangnya gue ke Ange dan teman-teman yang lain?
Lalu, maksudnya keluarga sedarah itu yang gimana?
Bapak ke anak yang nggak pernah punya prinsip dan pandangan (baik politik, sosial dan agama) yang sama dan berakhir debat berlanjut? Orangtua yang menganggap bahwa mereka paling tahu apa yang terbaik untuk anaknya hingga memupus semua mimpi anak? Ibu yang mencoba mendidik anaknya sejak dini demi menjadi manusia baik berdasarkan definisinya?
Mungkin lo semua bilang, ayolah Bima, apa yang lo omongin sekarang? Nggak usah jadi sok melankolislah. Nggak cocok sama tampang lo. Gitu kan? Benar, Kawan. Gue juga paling benci setiap dapat telepon dari Salsa dan bilang empat kata, "Mama kangen Abang katanya." Dan, Bima Fattan langsung berubah sebaik Aldebaran Richard---benar nggak sih tulisannya?---dalam film menye yang kalau bukan karena ratu gue itu, males banget nontonnya. Jangan tanya kenapalah, nanti gue malah lupa mau ngomong apa.
Soal Mama, kan? Nggak ada anak yang nggak sayang sama orang tua. Jangankan manusia yang melahirkan dan membesarkan, sama orang lain aja gue bisa sesayang itu. Tapi masalahnya gue nggak tega kalau gue pulang dan Mama bakal stroke setiap lihat gue sama Papa debat cuma masalah Wahidin yang menang dan Rano kalah.
Bukan itu poinnya, Kawan. Intinya gue sama Papa itu nggak bisa sepaham. Apapun. Itu kenapa gue lebih suka tinggal di indekos bermodalkan KTP Banten dan membiarkan Mama dan Papa hidup berdua di Cikini, Sektor 7, Bintaro sana.
"Bang."
Gue lupa kalau Salsa belum menutup teleponnya. "Oy."
"Pulang bentar ngapa, sih. Mama aja sampai nggak berani telepon Abang lho. Inget umur, Bang. Udah tua, mau sampai kapan kayak gitu terus?"
Gue ingat, Sal. Umur gue udah 30 tahun. Usia yang udah cocok buat dipanggil ayah dan gandeng tangan Alisa. Tapi, Tuhan belum mau mengintervensi. Masih membiarkan gue terombang-ambing kayak gini. "Iya, weekend Abang pulang."
"Bener?"
"Iya. Ashilla lagi ngapain?"
"Gambar princess sama Papinya. Katanya, 'OBim yang kece kok belum dateng, Mi?' Abang ajarin anak Salsa apa aja sih kalau teleponan?"
Bocah satu itu. Udah gue ajarin manggilnya Uncle masih aja Oom. Dikira gue punya bola di perut apa? Ada sih dikit. Alisa bilang perut gue mulai buncit. "Abang cuma ngajarin supaya dia tumbuh jadi perempuan kece kayak Uncle-nya."
"Apaan. Omongannya makin ada-ada aja. OBim ganteng, Mi. OBim kece dari lahir, Mi. Dan sebagainya sebagainya sebagainya."
Gue ketawa. "Udah ah. Abang mau date nih."
"Emang punya pacar?"
"Ya makanya kamu jangan telepon terus. Nggak nyari-nyari kan ini."
"Beneran weekend pulang ya, Bang? Papa udah nggak keberatan kok Abang kerja di media."
Nggak keberatan tapi nyidir terus ke arah sana.
"Bang...."
"Iya. Nanti pulang."
"Oke. Bye."
Lo semua mau tahu apa yang paling melemahkan di dunia lelaki selain gengsinya selangit? Ibu, adik dan perempuannya. Coba aja tes dengan mengganggu ketiga perempuan itu, bisa napas sedetik setelahnya aja lo udah syukur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Intervensi ✔️
Fiksi Umum[ CERITA DIPRIVASI ] Gue, Bima Fattan, yang kata Ange dan Alisa adalah cowok modal tampang dan mulut, melakukan satu kesalahan besar; jatuh cinta sama cewek yang nggak bisa dimiliki. Ck, klasik. . . . Aku, Alisa Adrenia Sukmadewi melakukan satu kesa...