"Ya. Silahkan, Noel Reanno. Duduk di sebelah Rian disana." Noel mengangguk dan duduk disamping anak yang tadi mengangkat tangannya.
Sean menatap terus ke punggung Noel selama pelajaran. Ia bingung harus bersikap bagaimana pada Noel setelah kejadian yang dulu. Datipada pusing memikirkan itu, Sean memilih untuk tidur. Ia menelungkupkan kepalanya diatas meja, tidak menghiraukan penjelasan yang sedang diberikan Pak Rio.
"Ehem!"
Sean tidak menghiraukan.
"Ehem!"
Sean mendengus dan menatap kedepan kelas. "Iya, Pak, iya. Saya bangun. Saya gak tidur kok. Cuma pegel aja mata saya."
Pak Rio mencibir. "Mana ada mata pegel. Jangan seenaknya saja kamu ngomong. Cepat buka buku pelajaranmu dan kerjakan soal yang didepan."
Sean menoleh, menatap papan tulis, dan sepersekian detik kemudian dia menggeleng dengan memberikan wajah jijik saat melihat soal kimia di depan. "Ogah, Pak. Mendingan saya dihukum diluar deh."
"Itu sih maunya kamu, Sean Derellio. Sekarang cepat kamu kerjakan atau saya panggil orangtua kamu ke sekolah?"
Sean mendengus, berjalan ke papan tulis dan menjawab jawaban di papan tulis dengan rumus yang tertera di buku pelajarannya. "Udah, Pak. Saya boleh duduk kan?"
Pak Rio mengangguk setelah mengecek jawaban Sean. "Sekarang. Saya akan membagi kelompok laboratorium pelajaran kimia untuk semester 2. Minggu depan kita praktek. Sekarang saya akan membacakannya. Kelompok 1, Juan, Vanili, Utari, Pierro, ..."
Sean mendengus lagi. Bosen mendengarkannya. Ia kembali menelungkupkan kepalanua diatas meja dan langsung menatap Pak Rio lekat-lekat saat namanya disebut.
"Kelompok terakhir, kelompok 4 Aurel, Bima, Ion, Hedya, Noel, dan Sean." Sean menghela nafasnya kasar.
"Gapapalah. Yang penting ada Hedya. Daripada gaada sama sekali," bisiknya.
"Barang-barang yang harus kalian bawa untuk minggu depan akan saya berikan kepada ketua kelas saat pulang sekolah."
Kringgggg kringgggg
"Baiklah. Kalian boleh istirahat sekarang."
Bima berdiri, "Beri salam."
"Selamat pagi, Pak. Terimakasih, Pak."
"Selamat pagi, anak-anak."
Setelah Pak Rio keluar, barulah pada keluar semua. Mencar. Ada yang ke kantin, ke taman, perpustakaan, ruang guru.
Sean berdiri, berjalan ke meja Hedya dan mengulurkan tangannya. Hedya menatap tangan itu, berpaling menatap si empunya tangan sambil tersenyum. "Yuk."
"Kemana?"
Gregetan, Sean langsung mengambil tangan Hedya, menariknya pelan hingga Hedya berdiri. "Kemana aja boleh, yang penting sama Hedya."
"Hoekkkkkk." Aurel dan Melina yang sedari tadi melihat perlakuan mereka berdua langsung pura-pura muntah karena perkataan creepy Sean.
Beda lagi dengan Brian dan Ion yang langsung menggeleng. "Bukan temen gue. Bukan temen gue."
Hedya terkekeh dan membalas gandengan tangan Sean dengan melingkarkan tangannya di lengan Sean. Sean menatap keempat temannya tersebut dan mencibir. "Bilang aja kalo ngiri karena gaada yang bilang gitu ke kalian. Iya, kan?"
"Gue rasa otak dia agak geser deh abis kecelakaan, Bri."
"Iye, Yon. Gue rasa lu dadar otak dah, Yan. Dokter salah meriksa lu."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEVENTEEN [COMPLETE]
Teen FictionSemua berawal dari taruhan yang Sean dan Farel buat terhadap Hedya Noretta, manajer ekskul basket Sean yang baru. Dan seperti kisah kebanyakan di luar sana, Sean dan Hedya jadi saling suka dan pacaran. Dan usaha Sean mendekati Hedya, dimulai dari wi...