Prolo(n)g

852 85 11
                                    

Harry Potter © J. K. Rowling

Magical Heart © prof. creau

Warning: BL, OC, OOC, bad EYD, No War! (dan di sini mz Tom ikut main wkwk) aaand don't like don't read~

.

Hermione menyenggol bahu tunangannya, Ronald Weasley. Ia beri isyarat untuk mengatakan sesuatu kepada Harry. Biar bagaimanapun Harry sudah berada di depan perapian seharian penuh. Sarapan maupun makan malam juga tak tersentuh. Ah, Harry mereka kini sedang bersedih—siapa juga sih yang tidak sedih jikalau kehilangan anak pertama yang telah ditunggu-tunggu selama enam bulan penuh?

"Harry..."

Panggilan Ron hanya angin lalu. Emerald itu terus saja memandang api merah-oranye yang meluap-luap, menghasilkan panas, memberi kehangatan. Akan tetapi, sehangat apapun ruangan itu, tetap saja Harry merasa dingin... tanpa adanya jiwa lain yang dulu singgah di perutnya. Ron dan Hermione tidak tega melihat sang sahabat yang tengah kacau. Sudah sebulan Harry bersikap seperti ini.

"Harry, Draco bilang kau belum makan sejak kemarin..." Harry diam. Kalau bisa tidak makan sebulan penuh pun Harry juga ingin mencobanya, tapi Draco dan kedua orang tuanya tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ron memanggil Dobby dan meminta peri rumah itu untuk mengambilkan makanan untuk Harry. "Setidaknya, makanlah tiga atau empat suap, mate." Bujuk pemuda bersurai merah itu. Oh tidak, bukannya Draco sudah lelah membujuk Harry, hanya saja pria aristokrat itu sedang sakit. Kedua pasangan ini seperti tidak punya kehidupan. Harry yang kecewa dan sedih karena kehilangan anak pertamanya yang bahkan belum lahir juga Draco yang rasanya sedang mengikuti jejak Harry.

"Ron, aku akan makan kalau sudah lapar."

Hermione meledak. Suaranya seperti banshee yang mengamuk. "KAMU TIDAK AKAN MERASA LAPAR! YANG ADA HANYA KESEDIHAN! HARRY, KAMI SANGAT KHAWATIR!" wajahnya memerah karena amarah. Ron menepuk bahu tunangannya pelan.

"Kau benar, Mione... aku tidak akan merasa lapar. Biar saja aku mengikuti langkah anak—"

"HARRY!" kali ini Ron yang meledak. Hermione memijit pelipisnya. Hal ini tidak boleh berlanjut.

Atau Harry benar-benar akan kehilangan kewarasannya dan lompat dari salah satu gedung pencakar langit di jalanan kota muggle.

Atau Harry akan mengubur dirinya hidup-hidup untuk menemani anak malangnya.

Atau Harry akan menegak ramuan Paman Sev yang berbahaya.

Atau Harry akan mencoba sihir hitam dan menggunakannya pada diri sendiri.

Ah, yang manapun sama-sama buruk. Harry yang malang hanya bisa meratapi nasibnya.

Narcissa yang melihat menantunya hanya menghela napas. Kristal bening tertahan di pelupuk matanya. Harusnya tidak seperti ini. Harusnya Harry dan Draco sedang menghias kamar anak mereka dengan senyuman lebar. Harry ingin kamarnya berwarna merah dan Draco menolak keras. Katanya terlalu gryffindor. Pilihan warna Harry teramat rasis. Ketika Draco memilih warna hijau, giliran Harry yang menolak. Kata Harry itu terlalu kuno dan menyeramkan (dan slytherin, Draco juga rasis sesungguhnya).

Wanita paruh baya itu menatap suaminya yang berdiri kaku di samping. Diantara semuanya, Narcissa berpikir bahwa Lucius lah yang menantikan kehadiran anak pertama keluarga Malfoy itu lahir. Diam-diam pria itu sudah membelikan kuda poni, disembunyikan dengan rapi tanpa ada yang tahu, tapi Narcissa dapat mengendus perbuatan manis suaminya. Pria itu tetap bertampang teguh, seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Suara ketukan tongkat beradu dengan langkah kakinya yang elegan. Lucius Malfoy berdiri tepat di depan Harry yang tengah duduk tanpa ekspresi. "Son..." ucap pria itu. Harry mengangkat kepalanya sedikit untuk menatap manik abu-abu yang persis dengan milik suaminya. "kemasi pakaianmu, kurasa kau dan Draco butuh..." jeda sebentar. Lucius Malfoy memikirkan kata-kata yang tepat. "...lingkungan yang menyejukan untuk menjernihkan pikiranmu."

Magical Heart [Harry Potter Fanfiction]Where stories live. Discover now