#Author
.
.
.Alif terlihat ceria hari ini. Entah apa yang di rasakannya. Leo, sekretarisnya dengan berjalan pelan mengendap masuk ke dalam ruangan atasannya.
Di lihatnya Alif tampak sedang senyam-senyum sendirian. Pandangannya lurus menatap layar laptop di depannya tapi sepertinya tidak sedang mengerjakan sesuatu yang penting.
"Kesambet Boz?" Tanya Leo. Senyum Alif hilang seketika. Ia menatap tajam ke arah Leo yang kini sudah duduk manis di depannya. Alisnya naik turun seperti sedang menggoda seorang cewek cabe-cabean.
"Selalu mengganggu!" Gerutu Alif sambil menutup layar laptopnya dan menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya.
"Kenapa bisa ceria gitu mukanya?" Tatapan mata Leo masih penuh selidik. Alif tak menghiraukannya. Di liriknya jam tangannya. Sudah pukul 10 tapi seseorang yang di tunggunya belum muncul juga. Tak ada sms ataupun telpon dari Prisil.
"Kayaknya gue punya kejutan buat nyokap!" Kata Alif mantap. Leo semakin bertambah bingung.
"Kejutan? Kejutan apaan Boz? Kalo ngomong tolong jangan di cicil donk!"
Alif kembali menatap Leo yang tampak kebingungan. "Ck...ntar lo juga tau sendiri kok!"
Alif menatap langit-langit ruangannya sambil menebar senyumnya. Kadang ia tertawa kecil kadang juga menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Leo yang merasa di abaikan memilih untuk keluar dari ruangan Alif. "Kayaknya Boz gue rada miring..stres kali karena di hasut buat nikah sama Boz Besar!" Dumel Leo sambil menutup pintu ruangan Alif.
🌟🌟🌟🌟🌟
Prisil dan Rizal tampak keluar dari ruangan Dokter sebuah rumah sakit. Hari ini mendadak Rizal mengeluh sakit di bagian dadanya. Prisil segera membawanya ke Dokter dan hasilnya sangat mengejutkan.
Papinya menderita gejala paru-paru basah. Prisil menggandeng lengan Rizal dan berjalan pelan melewati koridor rumah sakit. Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja.
"Sudahlah. Papi nggak apa-apa kok!" Rizal mencoba menenangkan Prisil yang tampak kalut.
"Keadaan udah kayak gini tapi Papi masih bilang nggak apa-apa? Kalau sampe Papi kenapa-napa...apa Papi nggak mikirin perasaan Prisil?"
Rizal terdiam. Langkahnya pelan. Prisil terlihat menyusut air matanya dan semakin erat menggandeng lengan Rizal.
"Papi merasa selama ini Papi menjadi beban buat kamu--!"
"Pi...bisa nggak, nggak usah bahas soal itu? Aku kerja untuk kita Pi. Aku rela lakuin apapun asalkan Papi sembuh. Tolong Papi dukung aku Pi!"
Air mata Prisil kembali merebak. Rizal mengusap-usap lengan Prisil. Mencoba menenangkan anak semata wayangnya.
"Maafin Papi. Papi belum bisa bahagiain kamu sayang!"
"Dengan terus bersama Papi seperti ini. Itu merupakan kebahagiaan buat aku Pi. Makanya Papi harus sembuh. Papi harus mau di rawat ya...!"
Rizal terdiam. Ia mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Dadanya terasa sesak tapi dia menahannya agar Prisil tak khawatir.
"Pi... Papi kenapa?"
Rizal menggeleng sambil tersenyum dan mencoba berjalan lagi. Mereka sampai di depan rumah sakit dan memilih taxi untuk mengantar mereka pulang.
Prisil sekali-kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sudah jam 10 lewat. Dia belum mengabari Pak Alif. Pasti orang itu sedang menunggunya. Pikir Prisil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Terbaik ( COMPLETED )
SpiritualHighest rank #27 in spiritual 16-22 juni 2017 ( cerita terinspirasi dari lagu Jalan Terbaik by Seventeen ) Cinta memang buta...tapi tak bisa membutakan mata hati kita. Sekeras apapun kita berjuang tak akan bisa melewati apa yang sudah Dia gariska...