Bagian Dua

105 12 7
                                    

November 2011

Mataku terasa berat. Ini efek dari benda hitam yang sengaja direkatkan tepat di atas bulu mataku. Aku bingung dengan pernyataan wanita yang mengatakan bahwa mereka menyukai kejujuran, tapi pada kenyataannya begitu banyak kepalsuan yang menempel pada tubuh mereka. Lihat saja bulu mata palsu ini, jangan lupakan juga bedak dan lipstiknya. Katanya biar cantik, tapi kok aku merasa seperti kue mochi yang digulingkan di atas tepung tapioka, ya?

Aku melirik ke samping kanan, di sana ada Witri, Alin, dan Tia yang sudah selesai dirias terlebih dahulu. Mereka juga terlihat merutuki tampilannya. Aku sedikit terkikih-kikih melihat bibir Witri yang tak berhenti berkomat-kamit seperti sedang memanjatkan mantra. Wajar saja karena di antara kami berempat, dia memang yang paling laki.

"Siap-siap, tamunya sampai sebentar lagi."

Itu suara Bu Arini, guru kesenian paling cantik dan seksi menurut kebanyakan warga di sekolah ini. Alin tidak menyukainya sama sekali. Dia bilang Bu Arini pilih kasih dan lebih memperhatikan para penari dibandingkan kami. Alasannya sangat jelas, kami tidak menonjol dan juga tidak cantik.

Tia menarik tanganku dan membawaku keluar dari ruang make up. Kami berempat berjalan beriringan di belakang para penari menuju ke pelataran sekolah. Menyelinap ke belakang panggung dan segera menuju ke arah gerbang. Kami harus stand by di sana, hingga tamu benar-benar datang.

Beberepa saat sebelum upacara dimulai, Bu Arini berlari ke arah Pak Danu, pembimbing ekstrakurikuler kesenian tradisional yang kami ikuti.

"Pak, sepertinya tidak perlu memakai pembawa baki. Pihak lain sudah menyiapkannya." Aku tidak yakin Bu Arini memang bermaksud berbisik atau tidak, karena aku masih dapat mendengar suaranya.

Apa katanya? Gak jadi? Yang benar saja!

Aku melirik ke arah temanku yang lain, mereka sama herannya denganku. Aku mengangkat bahu dan kembali mengarahkan pandanganku ke arah Pak Danu. Beliau juga sedang menatap kami. Pandangannya menyiratkan penyesalan, tapi tidak berlangsung lama. Pak Danu kembali menghadapkan wajahnya ke arah Bu Arini.

"Tidak apa-apa, Bu, personelnya tetap. Mungkin hanya bakinya yang dihilangkan."

Setelah percakapan tersebut, Pak Danu segera mengarahkan apa saja yang harus kami lakukan. Semuanya berbeda dengan sesi latihan yang kami lakukan sebelumnya. Kami hanya bisa mengangguk paham.

Suara alat musik mulai terdengar, tanda bahwa acaranya segera dimulai. Aku melihat sejenak ke arah panggung. Di sana terlihat senior-seniorku sedang menjalankan tugasnya. Menabuh alat musik untuk mengiringi upacara adat penyambutan tamu kehormatan pada acara pameran karya SMK tahun ini. Sama halnya seperti mereka, kami pun mulai menjalankan tugas kami dengan arahan yang singkat sebelumnya.  Berdiri di sana, di bawah terik matahari dengan wajah tersenyum dan tidak melakukan kegiatan lain. Persis seperti lampu di pinggir jalan itu, berdiri tegak dan terus memancarkan sinarnya.

Ternyata pengorbanan mata dan wajah kami untuk menanggung beban berat hari ini sia-sia.

***

"Mi, yang lainnya di mana?" Pak Danu mengedarkan pandangannya ke belakangku.

"Masih di belakang mungkin, Pak," jawabku tak begitu yakin.

"Oh, iya. Nanti ajak mereka ke aula, ya! Kita makan dulu." Pak Danu segera berbalik ke arah aula.

Aku segera merapikan pakaian dan barang-barangku lalu memasukkannya ke dalam tas ransel. Rasanya semangatku bertambah setelah mendengar kata makan.

Tak lama kemudian Witri muncul disusul Tia dan Alin. Melihat dari wajahnya yang sedikit basah, membuatku yakin akan dugaanku sebelumnya. Mereka bertiga baru selesai menghapus riasannya.

"Mau ke mana, Mi?" tanya Tia ketika melihatku sudah rapi dan mengaitkan ransel di pundakku.

"Beres-beres cepetan, Pak Danu ngajakin perbaikan gizi," ucapku semangat lalu tersenyum lebar.

Mungkin bukan hanya aku yang lapar. Ketika mendengar kata perbaikan gizi mereka langsung membereskan barang-barangnya. Tidak kalah semangat seperti aku tadi.

***

Aku baru akan menyendokkan makanan ke mulut ketika merasa ada yang mengamatiku. Aku mendongak ke arah pintu.

"Gak sopan banget mau makan gak ngajak-ngajak."

Akhirnya muncul juga.

Kang Bayu mendekat dan melewatiku begitu saja, lalu segera menuju ke arah Pak Danu. Dia merupakan satu-satunya senior dari kelas XI.  Senior yang lain duduk di kelas XII dan mungkin tadi merupakan penampilan panggung terakhir mereka.

Orang yang baru saja melewatiku itu galak dan luar biasa menyebalkan. Aku ingat karena sikapnya, Alin hampir memutuskan keluar dari ekstrakurikuler kesenian tradisional, padahal baru pertemuan pertama. Kang Bayu akan marah-marah dan menjadi sangat cerewet jika kami melakukan kesalahan saat latihan. Matanya juga merah, sangat mendukung untuk adegan marah-marah. Pokoknya menyebalkan.

"Pak, kok saya gak diajak?" Kang Bayu seperti sedang merajuk.

"Kamu yang ke mana? Bapak nyari kamu dari tadi," Pak Danu menjawab dengan pertanyaan.

"Gak usah diajak aja, Pak," Alin menimpali. Lihatlah, dia sekarang sudah berani mengejek Kang Bayu.

"Iya, Pak. Mending jangan," seru Tia menambahi.

Kang Bayu langsung melotot ke arah kami. Setelah itu menggeleng ke arah Pak Danu. "Ampun, Pak, punya anak buah model begini."

Pak Danu hanya tersenyum. Mengambil beskap merah yang tersampir di sampingnya, lalu melemparkannya tepat ke arah Kang Bayu.

"Saya yang ampun punya anak buah seperti kamu. Ngapain tadi buka baju di panggung?" Pak Danu berkata dengan ekspresi marah yang dibuat-buat.

"Gerah, Pak," jawab Kang Bayu sambil tertawa.

Bisa dilihat, selain menyebalkan, Kang Bayu juga aneh. Aku tertawa tadi saat selesai acara Pak Danu menceritakan tentang makhluk aneh itu sambil menggeleng. Katanya, dengan beraninya dia membuka beskapnya di atas panggung dan meninggalkannya begitu saja di sana. Benar-benar tidak peduli pandangan orang lain.

Kang Bayu melihat kami lagi. Alin segera menjulurkan lidahnya. Spontan dia mendapatkan balasan pelototan.

Aku melihat interaksi orang-orang yang ada di ruangan ini. Bisa dibilang cukup dekat. Hal ini membuatku berpikir bahwa keputusanku mengambil dua ekstrakurikuler cukup tepat. Kegiatan itu membuat perhatianku teralihkan, tidak berfokus pada keinginan untuk pulang. Selain itu, yang tak kalah penting adalah usahaku untuk move on dari Arif berhasil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

0.1% Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang