Takdir Dalam Seminggu

102 18 32
                                    

Aku mulai menata semangat yang baru. Lelahnya kehidupan, tak boleh menjatuhkan dan menghentikan usahaku untuk menyembuhkan ibu. Masih ada hal yang lebih indah setelah hujan turun membasahi pijakanku.
.
Uang yang selama ini kutabung, hanya cukup membayar biaya perawatan ibu satu bulan saja. Aku masih harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang yang lebih banyak. Tak ada sesuatu yang tak mungkin jika aku memercayai apa yang dilakukan.
.
Hari ini Sakti tak masuk kerja. Pagi buta, dia menelepon agar aku menyampaikan pada atasan tentang izinnya ini. Sakti bilang, dia akan menemani ibunya ke pengadilan agama. Permasalahan yang terjadi di dalam keluarganya itu harus diselesaikan dengan cara perpisahan. Mungkin ini jalan terbaik bagi orang tuanya.

***

Waktu makan siang tiba. Ini saatnya aku kembali menguras tenaga. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di halaman parkir restoran ini. Aku yang sedang mengelap meja, sejenak melirik ke arah mobil keren itu. Mobilnya berwarna silver. Menjadi pusat perhatian di antara deretan mobil yang terparkir.
.
Seorang pemuda tampan keluar dari arah kemudi. Kacamata hitam yang bertengger di atas hidungnya yang mancung, lesung pipit yang sempurna, membuat siapa saja tak mampu mengerjapkan mata. Pemuda itu beringsut duduk di meja nomor 19.
.
"Selamat siang, mau pesan apa?" tanyaku sesaat setelah dia duduk sempurna.

"Siang. Saya mau pesan nasi goreng dan jus jeruk," ujarnya diikuti senyum ramah. Aku cepat mencatat pesanan, takut-takut jika terlupa.

"Ada lagi?" lanjutku, tanpa menatap wajahnya dengan intens.

"Tidak. Itu saja sudah cukup." Aku mengangguk dan meninggalkan mejanya. Menyiapkan menu sesuai pesanan pemuda yang tak kuketahui siapa namanya.

***

Sudah dua jam lebih pemuda pemilik sedan itu tak beranjak dari restoran. Aku masih mengamatinya dari kaca dalam. Dia duduk gelisah, seperti sedang menunggu seseorang. Tiga gelas jus jeruk, sepiring nasi goreng, dan beberapa camilan telah dipesannya. Tapi tetap saja dia tak beranjak.

"Aresha ...," pekik manajer. Aku terkesiap dan mengakhiri pandanganku pada si pemuda.

"Iya, Pak?" Langkah ini sengaja dipercepat hingga berada tepat di hadapan manager.

"Tolong berikan ini pada pemuda itu," tunjuknya ke arah meja nomor 19.

"Ba-baik," kataku menyetujui titahnya.

Amplop cokelat yang entah apa isinya, kubawa menuju pemuda yang sedari tadi tak luput dari perhatianku. Aku merasa canggung saat berada di hadapannya. Sikapnya yang begitu manis, membuatku tak mampu berkutik. Hanya menekuk wajah, lantas memberikan amplop itu.

"Duduklah," titahnya.

"Maaf, aku harus kembali bekerja," seruku menolak secara halus.

"Duduklah sebentar, Aresha?" Matanya beralih ke arah seragamku.

Tak ada pilihan lain. Aku harus menuruti keinginan itu untuk duduk di depannya. Jantungku berdegup cepat tak seperti biasanya. Wajah ini sepertinya sudah memerah. Apa yang terjadi denganku? Mengapa aku segugup ini? Seperti akan dilamar saja. Cih!

"Zen Amar. Tapi kau bisa memanggilku Zen." Tangannya mengajak berjabat. Aku menyahut meski masih dalam keadaan tak mengerti.

"Sudah lama bekerja di sini?" Kata-katanya terdengar lebih santai jika dibandingkan dengan awal dia berbicara.

"Baru dua bulan." Aku melempar senyum ke arahnya.

"Aresha? Nama yang bagus. Unik," kikiknya. Baru kali ini ada yang memuji namaku.

"Ya, namaku Aresha Kaniya," lanjutku.

"Terima kasih, ya."

Dia bangkit membawa serta amplop cokelat yang kuberikan atas perintah manajer.
.
Yang membuatku heran, ada hubungan apa manajer dengannya? Apa selama 2 jam lebih dia duduk di sini adalah untuk mendapatkan amplop cokelat itu?
.
Entahlah ... Baru kali ini aku bisa berbincang lebih lama dengan seorang pengunjung. Zen Amar. Nama yang tak akan kulupa.

***
Semenjak perkenalan singkat dengan Zen di restoran, dia jadi sering mengunjungi restoran tempatku bekerja itu. Lama-lama, dia tak jauh beda dengan Sakti. Menjadi sahabat dekat, pendengar segala keluh kesahku.

"Re, mau ke mana?" tanya Sakti saat aku bergegas pulang.

"Pulang. Memangnya ke mana lagi?"

"Oh ... Hati-hati ya," ingatnya. Aku mengangguk.

Hari ini, aku akan bertemu Zen di balai kota. Pertemuan kesekian kalinya semenjak pertemuan waktu itu. Zen adalah seorang fotografer. Pemuda dengan usia yang terpaut 2 tahun di atasku--22 tahun.

"Maaf lama." Aku duduk di samping Zen yang menyambutku dengan senyumnya.

"Tak masalah. Baru pulang, ya?" tanya Zen menyerongkan badannya ke arahku. Aku mengangguk.

"Ada apa Zen? Tumben mengajakku bertemu."

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menemuimu. Tenang saja." Dia terkikik mengakhiri kata-katanya.

"Hm, ya sudah. Aku pulang saja," ujarku bangkit dari bangku.

"Mengapa terburu-buru? Mau ke mana?" tanyanya mencegahku pergi.

"Rumah sakit," kilahku sekenanya.

"Kau sakit?" tanyanya lagi.

"Ti-tidak. Sepupuku yang sakit. Aku mau menjenguknya."

Mataku mengerjap. Tak mungkin jika aku mengatakan pada Zen, akan menjenguk ibu di rumah sakit jiwa. Bisa-bisa, Zen terperanga dan pingsan mengetahui ibuku seorang wanita yang seperti itu.
.
Cengkeramannya dilepaskan. Aku melempar senyum dan berlari menuju jalan besar. Hari sudah semakin sore. Hanya tinggal 1 jam saja untuk jadwal besuk hingga membuatku terburu-buru menaiki angkot.

***

Gerimis tiba-tiba saja turun di saat aku hendak menuju ruang perawatan ibu. Guntur yang menggelegar, membuatku menutup telinga berulang kali. Jam tangan terus memacu waktu. Aku memaksakan diri menerobos ribuan air hujan yang terjatuh. Seluruh baju basah kuyup, begitu pun dengan sepatuku.

"Nyonya Aresha?" sapa seorang perawat yang sering menjaga ibu. Aku mengangguk.

"Ikut sebentar dengan saya ke administrasi," ajaknya melangkah mendahuluiku.

Baju basah yang kupakai, menyisakan tetes-tetes air pada lantai. Aku terus mengikuti perawat itu hingga tempat administrasi.
.
Tiba-tiba, pikiranku tertuju pada dompet. Kuintip penghuninya. Hanya ada dua lembar seratus ribu dan tiga lembar dua puluh ribu. Aku membuang napas.
.
"Nyonya Aresha, ini biaya yang harus dilunasi akhir minggu ini." Sebuah kertas tagihan diserahkan petugas administrasi padaku.

"Dua puluh juta?" Aku terhenyak melihat nominal yang tertera di kertas tagihan. Petugas wanita itu mengangguk.

"Uang saya masih belum cukup, Mbak. Apa tidak bisa akhir bulan saja?" tanyaku meminta perpanjangan tempo. Petugas administrasi dan perawat yang tadi menggiringku ke sini, saling bertatapan. Lantas menggeleng.

"Maaf, Mbak. Ini sudah kebijakan rumah sakit," katanya.

"Oh, ya. Terima kasih, Mbak." Suaraku kini berubah menjadi sendu dan penuh kepasrahan.

Jika aku tak membayar administrasi ini, kemungkinan besar ibu akan dikeluarkan dari rumah sakit. Penjuru mata seolah berair, dada ini terasa sesak.
.
Aku memutuskan untuk duduk menenangkan diri di pelataran rumah sakit. Sejenak, kupandangi foto ibu dari ponsel. Layar berukuran 3 inci ini dijatuhi air mata.

Bu ... Maaf, Aresha tak bisa menemui Ibu saat ini. Aresha butuh waktu untuk sendiri, mencari tambahan biaya perawatan Ibu. Doakan Aresha, Bu ...

Gadis yang TerbelengguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang