Kado?

52 7 20
                                    

Semakin hari, aku semakin merasa hidup ini sudah tak ada artinya lagi. Puluhan malam yang gelap, kulalui tanpa ibu. Aku ingin berontak pada waktu yang seolah tak pernah berpihak. Namun kurasa semua percuma.
.
Dua bulan lagi, aku akan angkat kaki dari tempat Zen. Kembali merangkak memulai kehidupan yang baru. Perihal ibu, aku sudah memutuskan untuk mencarinya lewat polisi. Ah, ya! Putus asa kini merajai setengah hidupku.
.
Setelah mengatakan hal aneh itu, Sakti sudah tak pernah terlihat batang hidungnya lagi. Dia seolah tertelan bumi. Entah ... Entah ada apa dengan dirinya. Aku tak bisa memahami apa pun saat ini. Yang jelas, aku akan kembali ke tujuan awal; mencari dan menyembuhkan ibu.

***

Di ruangan yang cukup 'horor' ini, aku duduk tepat di hadapan seorang petugas polisi. Wajahnya tidak begitu menakutkan, tetapi sudut matanya sangat tajam. Ada kumis tipis yang menghiasi atas bibirnya. Bajunya yang rapi, menjadi pelengkap penampilannya.

"Sudah berapa lama Ibu Anda hilang?" tanyanya, setelah mendiamkanku cukup lama.

"Satu tahun setengah," ujarku apa adanya.

"Selama itu? Dan Anda baru melaporkannya pada kami?" cibir polisi itu, lantas menyeringai.

Seketika aku menundukkan wajah. Aku tahu, satu tengah tahun bukanlah waktu yang sebentar. Mungkin, tak salah juga saat petugas polisi--yang kuketahui dari seragamnya--bernama Belo itu sedikit mencibir.

Aku mengangkat wajah, "Saya tidak punya cukup bukti," kataku memberanikan diri.

"Siapa nama Ibu Anda?"

"Sekar."

"Dia gila, Pak," lanjutku.

Polisi itu tertegun sesaat.

"Gila?" tanyanya, mengulangi kata-kataku. Aku mengangguk.

"Bagaimana? Apa Bapak bisa mencarikan Ibu saya?"

"Saya usahakan. Sekarang, pulanglah dulu. Renungi setiap hal yang telah kau lakukan selama Ibumu hilang. Anak macam apa kau ini yang diam saja saat Ibunya hilang," decaknya.

Deg!

Sesuatu yang menyakitkan menerobos ke dalam hati. Tak ada kata-kata apa pun yang kukeluarkan untuk menyanggah pernyataan menyakitkan itu.
.
Dia bisa saja mengatakan itu karena tak pernah tahu apa yang sudah kulalui selama ini. Mungkin benar. Aku memang anak yang durhaka. Membiarkan ibunya hilang begitu lama tanpa berusaha sekuat tenaga untuk mencarinya.
.
Tapi, tidakkah lebih jahat jika aku sama sekali tak berpikiran soal ibu? Selama ini aku sudah berusaha melakukan berbagai cara untuk menemukannya. Belumkah cukup? Atau masih saja label 'Anak Durhaka' itu melekat padaku?

Bruuuk!!

Dalam lamunan, aku bertabrakan dengan seseorang. Seorang laki-laki berperawakan tinggi yang kukenal. Dia bergeming, melihatku terjatuh. Tak lama kemudian, mengulurkan tangannya membantuku untuk bangun.

"Ka-kau? Sedang apa kau di sini?" Suaraku terdengar sangat gugup. Cih!

"Aku akan mengambil kartu SIM-ku. Kau sendiri?"

"Oh, aku sudah melapor perihal Ibu."
Laki-laki itu terlihat membelalak saat mendengar kalimat terakhirku.

"Hm ... Bagaimana keadaanmu? Apa masih bekerja di sana?" Dia seolah-olah mengalihkan arah pembicaraan dengan menanyakan hal ini.

"Aku baik-baik saja. Ya, aku masih bekerja di sana. Memangnya kenapa?"

"Tidak. Aku hanya ingin tahu saja," ujarnya menyimpulkan sebuah senyum.

"Ke mana saja selama ini? Apa kau sudah melupakanku? Bahkan mungkin mencoretku dari daftar teman?" kikikku.

"Aku ada. Bekerja seperti biasa. Aku tak pernah melupakanmu. Itu hanya perasaanmu saja, Re."

"Hm, begitu? Ya sudah, aku akan pulang dulu."

Aku beringsut meninggalkan laki-laki itu mematung di depan gerbang kantor polisi. Rasanya seperti canggung lagi saat berbincang dengannya. Padahal selama ini, dia bukanlah orang yang asing untukku.
.
Sakti. Ya ... Sakti sudah berbeda. Dia tak lagi menemuiku di rumah. Sekadar menghubungi untuk menanyakan kabarku saja tidak. Seperti halnya sebuah barang rongsokan yang tak berguna lagi.
.
Orang-orang menghukumku dengan cara yang begitu mengenaskan. Meninggalkan saat aku kepayahan membangun semangat yang sudah luntur perlahan. Merangkak memunguti sisa-sisa senyum yang mungkin masih bisa kugunakan.

***

Sesampainya di rumah, aku mendapati sebuah bungkusan--seperti kado--tepat di depan pintu masuk. Tak ada nama pengirim, atau pun keterangan dari kado itu.
.
Ukurannya cukup besar. Mungkin sebesar kotak sepatu. Mataku tak hentinya memerhatikan bungkusan yang dibalut dengan kertas kado berwarna biru. Warna kesukaanku.
.
"Hai, apa kabar? Akhirnya kau pulang juga," sapa seseorang dengan suara sedikit parau.

"Kau? Sedang apa kau di sini? Kado ini? Pasti kau yang mengirimkannya untukku. Iya, 'kan?" tuduhku pada laki-laki itu--Zen.

"Kado? Aku tidak tahu soal itu. Baru saja aku sampai lima menit yang lalu. Mana mungkin aku sempat menyimpan kado semacam itu di depan pintu rumahmu?" Zen mendekat menghampiriku. Aku memutuskan untuk menggiringnya duduk di gazebo.

"Jangan mempermainkan aku, Zen!" Aku membentaknya.

"Aku sudah mengatakan yang sejujurnya. Mengapa kau masih tak bisa memercayaiku?"

"Aku tak bisa memercayai orang yang sudah melukaiku. Aku tak bisa, Zen. Jadi lebih baik kau pulang saja. Tinggalkan aku sendiri!" titahku, bangkit mengusir Zen.

"Tunggu dulu! Apa kau tak berniat menanyakan alasan tentang kata-kataku dahulu? Apa kau tak bisa bersikap baik padaku seperti sikap yang selalu kau tunjukkan pada Sakti? Apa aku begitu rendah di matamu?"

Zen memberondongku dengan banyak pertanyaan. Dia menyebut-nyebut nama Sakti. Ck, sepertinya Zen kehabisan akal. Bodoh! Sampai kapan pun, aku tak akan bisa menyamakan sikap padanya dengan sikap pada Sakti. Mustahil!

"Kumohon ... Untuk kali ini, tinggalkan aku sendiri. Aku sudah cukup sabar menghadapimu, Zen. Tapi kali ini, aku lelah. Aku tak ingin menguras tenaga hanya untuk beradu argumen denganmu. Tidak."

"Aresha ...? Apa orang sepertiku tak berhak menyayangi gadis lemah sepertimu? Apa aku tak pernah pantas bersikap manis padamu?"

"Kau menyayangiku? Haha. Kurasa otakmu sudah tak waras," kekehku mendengar pernyataan menggelikan itu.

"Aku serius," kata Zen.

Kulihat matanya berkaca-kaca. Apa ini sungguhan? Tapi sangat tidak masuk akal jika dia menyayangiku. Ini hanya tipu dayanya agar aku mau memperpanjang kontrak kerjaku denganku.

"Zen, pergi!" titahku untuk kesekian kalinya. Zen masih terduduk di gazebo tanpa ada tanda-tanda jika dia akan pulang.

"Baiklah jika kau tak mau pulang. Terserah kau saja! Aku lelah."

Blaam!!

Pintu rumah kubanting dengan cukup kuat. Aku benar-benar meninggalkan Zen seorang diri di luar. Kado yang tadi kudapati pun tak lekang dibawa masuk.
.
Berturut-turut, aku dihadapkan dengan kejadian yang membuat kepalaku semakin ingin meledak. Sakti dan Zen seperti bertukar kepribadian. Dan sebuah kado tanpa inisial pun menambah daftar panjang kebingunganku.

Gadis yang TerbelengguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang