Surat 'Kematian'

53 6 2
                                    

Suara sirine meraung-raung memekakkan telinga. Menarik perhatian puluhan pasang mata. Ada yang saling berbisik satu sama lain, ada juga yang menatap penuh tanda tanya.

"Ada apa ini?" bisik salah seorang pengunjung yang duduk dekat dengan kasir.

"Mungkin, mereka hanya singgah untuk sekadar meminum kopi," ujar yang satunya. Sejenak, mereka melirik ke arahku dan tersenyum malu-malu. Sepertinya, mereka baru sadar jika sedari tadi aku memerhatikan.
.
Dua orang polisi dengan wajah sedikit menakutkan turun dari mobil kepolisian. Berjalan mendekat ke arah manajer yang kebetulan ada di sini. Sedangkan para pekerja yang lain, saling menatap satu sama lain.
.
Tak terkecuali denganku dan Sakti. Gemelatuk gigi membuatku sedikit gelisah. Apa ada hubungannya dengan ibu? Ataukah ... Ini lebih buruk dari perkiraanku?

"Re, kau kenapa?" Sakti menyenggol sikut.

"A-apa Sak? Kenapa?" Responsku begitu buruk saat ini. Sakti menggelengkan kepala.

"Kau melamun?" tanyanya lagi.

"A-aku? Tidak. Hehe." Aku mengelak pada Sakti. Agar dia tak berpikir macam-macam perihal kedatangan polisi itu.
.
Sakti menggeser arah duduknya di dekat kasir. Kedua polisi itu berbincang--lumayan lama--dengan manajer. Sesekali, salah satu polisi itu melirik ke arahku.
.
Aku pura-pura tidak menyadari tatapan itu. Memilih menyibukkan diri dengan menata meja yang baru saja ditinggalkan pengunjung.

"Nyonya Aresha." Seorang polisi mendekatiku di meja nomor 3.

"I-iya, Pak? Bapak mau pesan apa?" Aku gelagapan melihat polisi itu menyapa.

"Ini."

Dia menyerahkan sebuah amplop berlogo kepolisian. Aku menghentikan pekerjaan sesaat dan mengernyitkan dahi. Meminang-minang apa maksud dari polisi ini.
.
Amplop itu masih tertutup rapat. Tak ada celah sedikit pun untuk mengintip isinya. Mataku tiba-tiba meliuk Sakti yang duduk tak jauh dari tempat itu. Lantas, memuarakan pandangan pada manajer. Dia tersenyum kecut dan seperti menaruh benci terhadapku.

"Amplop apa ini, Pak?" tanyaku, setelah berpikir cukup lama. Jantung berdentum seperti ledakan sebuah petasan ribuan ton.

"Anda kami tahan atas laporan percobaan pembunuhan," ucap sang polisi.

Sebuah kilat seperti menyambarku saat ini juga. Tubuh pun mendadak lemas dan aku memutuskan duduk. Tak ada lagi yang bisa menopangku saat ini.

"Pe-pembunuhan?" Aku mengulangi kata terakhirnya. Mataku sudah berkaca-kaca. Wajah terasa merah padam menahan malu karena seluruh pasang mata kini tertuju padaku.

"Ya, Anda dilaporkan telah melakukan percobaan pembunuhan pada saudara Zen Amar. Jadi, mari ikut dengan kami. Dan itu surat penangkapannya."

Tangan kekarnya mencengkeram lenganku dengan kuat. Ludah menruni kerongkongan dengan susah payah. Tangisku pecah, membayangkan hidup sebagai seorang tawanan. Aku berontak saat itu.

"Aku tidak membunuhnya. Dia baik-baik saja!" bentakku menjauh dari polisi itu.

Suasana berubah dengan seketika. Sakti bangkit dari tempatnya dan mendekatiku. Manajer dengan polisi yang satunya, sedikit berlari mendekat. Aku dikepung.

"Pembunuh!" pekik seorang laki-laki paruh baya di belakangku.

"Dasar kau gadis pembunuh!" sahut yang lainnya.

"Tidaaakk!! Aku bukan seorang pembunuh! Zen baik-baik saja. Dia tidak mati. Dia membawa Ibuku lari, Pak."

"Kau gadis gila!" Manajer menyeretku dengan tanpa belas kasihan. Aku meronta, merintih kesakitan karena cengkeramannya begitu kuat.

"Maaf untuk semuanya. Kedatangan kami mengganggu ketenangan kalian. Selamat menyantap kembali hidangannya. Selamat siang," kata polisi yang tadi bersama manajer.

Isakku semakin kuat saat mereka menggiring ke arah mobil. Memaksa agar aku tunduk dengan surat perintah itu. Hati kecilku seperti tertusuk ribuan duri. Pedih ... Ketika keadilan tak mau mendengar penjelasan gadis sepertiku.
.
Laki-laki yang kukira akan membantu melepaskan dari jeratan ini, nyatanya dia hanya diam saja. Menatap nanar tanpa mengatakan apa-apa padaku.
.
Ada banyak kemungkinan mengapa sikapnya seperti itu. Entah karena dia malu memiliki teman sepertiku, atau karena dia benar-benar tak bisa mengelak pihak kepolisian.

***

"Aku bersumpah tak pernah berniat untuk membunuh Zen. Dan ... Dia baik-baik saja, Pak. Dia sudah pulih. Dia tidak mati!" tegasku di depan para penyidik.

"Jangan berbohong!" bentak salah seorang dari mereka.

"Bagaimana mungkin aku berbohong di atas sumpah yang kukatakan? Aku benar-benar tidak melakukan itu."

"Saya tanya sekali lagi. Apa Anda sudah merencanakan untuk mencelakakan saudara Zen Amar?" Rambutku dijambak dengan kasar. Aku mendongak karena tarikannya begitu kuat.

"Tidak! Harus berapa kali kukatakan jika aku tidak melakukannya. Apa buktinya jika aku benar-benar melakukan hal rendahan seperti itu? Apa?!" Aku balik membentak polisi itu dengan posisi masih mendongak.

Borgol yang dipasang pada kedua tangan, membuatku kesakitan. Terlebih mereka mengikat kakiku seperti mengikat seorang kambing yang akan dijadikan sesajen.

"Kami sudah melihat semua bukti dari rekaman Cctv," jelasnya melepaskan rambutku.

Tak ada kata-kata yang bisa meluncur dari kerongkongan. Bukan berarti aku menerima segala tuduhan itu. Aku hanya lemas. Tenagaku sudah banyak terkuras tanpa adanya makanan yang mengisi perut.
.
Sudah 5 jam mereka mengurungku di tempat gelap dan pengap ini. Tanpa memberikan makan atau minum untuk pelepas haus. Aku diperlakukan seperti seekor binatang.
.
Mereka mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya. Aku muak! Mengapa pertanyaan itu ditujukan pada orang yang tidak melakukan hal yang mereka kira?
.
Aku tidak membunuh Zen. Dia baik-baik saja bahkan sudah pulang dari rumah sakit. Ta-tapi ... Mengapa tak ada seorang pun yang percaya padaku?

"Anda terlalu banyak mengelak. Padahal bukti sudah menunjuk pada Anda, Nyonya Aresha."

"Aku tidak membunuhnya." Suaraku lirih, diiringi tangis yang tiada henti.

"Bawa dia ke penjara. Biarkan dia di sana! Siapa tahu amnesianya akan hilang dan mau mengaku."

Amnesia? Mereka menuduhku amnesia. Ck, tuduhan apa lagi itu? Hatiku sudah hancur berkeping-keping. Seperti sebuah pesawat yang terbakar di langit dan terhempas begitu saja. Wuss!!

***

Lutut bergetar karena ketakutan. Mata menatap nanar pada dinding yang lembap dan sedikit dipenuhi jamur. Tak ada alas duduk yang enak. Hanya sebuah tikar tipis dengan beberapa pinggiran yang sudah rapuh.
.
Ruangan ini tak pernah sedikit pun terlintas di benak. Dingin, lembap, gelap, dan sedikit pengap. Berulang kali aku menampar diri jika semua ini hanyalah mimpi dan omong kosong. Namun aku semakin merasakan sakit yang teramat.
.
Sakit itu tak bisa diutarakan dalam kalimat. Hanya nurani dan sepasang mata yang bisa merasakannya. Betapa pahitnya kehidupan yang sudah pahit ini. Aku dibungkam dengan tuduhan menyedihkan. Hidupku sudah berakhir. Benar-benar berakhir seperti kertas yang hancur di dalam air.
.
Surat kematian. Begitulah aku menyebut amplop yang diberikan polisi itu. Karena surat itu, aku seperti mati di dalam kungkungan penjara. Berdiri di atas kaki yang sudah tak mampu tegak lagi.
.
Jangankan tegak. Untuk kurasakan pijakan yang kuat pun tidak. Kebahagiaan seolah enggan menyapaku. Menghempas seorang gadis dengan tuduhan bertubi-tubi. Menyakitkan.

Gadis yang TerbelengguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang