Pagi itu keluarga Wagara sedang sarapan bersama, diujung meja duduk tuan Wagara, disebelah kanannya duduk berjejer ke-empat anaknya, sedangkan disebelah kirinya ada isteri dan anak gadisnya yang paling bungsu. Mereka bertujuh sarapan dalam diam hingga suara yang masih terdengar kekanakan itu memecah keheningan tadi.
"Aku ingin kuliah diluar kota Pa, boleh kan?" Perempuan itu menatap pria paruh baya yang sedang menyantap sarapan paginya, berharap akan di ijinkan oleh ayahnya itu.
Semua yang ada di meja makan itu terdiam, kemudian sama-sama beralih menatap perempuan yang berbicara tadi, 6 orang itu menatapnya dengan tatapan berbeda-beda, namun ada beberapa tatapan tidak suka yang terpancar diantara ke-enam tatapan itu.
"Luar kota?" Ayahnya mencoba membuka suara untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi semakin hening, "Dimana? Kenapa tidak disini saja? Disini juga banyakkan Universitas yang berkualitas. Kenapa harus keluar kota segala kalau hanya untuk berkuliah?" Pria paruh baya itu mencecar anak bungsunya dengan banyak pertanyaan, seakan menunjukkan secara tersirat bahwa ia enggan memberi ijin kepada anak gadisnya itu, gadis kecilnya.
Perempuan tadi menghela nafas, "Pa, Dify ingin mandiri dan juga mencari suasana baru, lagipula Dify merasa ada yang tak suka pada Dify dirumah ini," tatapannya berubah datar, "kalau Papa tidak setuju juga tidak apa-apa. Aku akan tetap pergi dari rumah ini dan mengejar impianku, aku bisa kuliah sambil bekerja jika Papa memang tak mau mendukungku secara financial nantinya. Perlu Papa ingat, akan kutunjukkan pada siapapun yang selama ini bermuka dua didepanku bahwa aku bisa dan aku mampu tanpa sepeserpun bantuan dari Papa. Papa urus saja ke-empat anak tersayang Papa yang lainnya, tak usah mengkhawatirkan aku," ia menatap dingin ke-empat orang yang duduk didepannya.
"Sedi!" Pria paruh baya itu mengepalkan tangannya dibawah meja, menahan emosi pada anak gadisnya yang paling bungsu.
Perempuan tadi menahan nafasnya, ia tahu jika ayahnya sudah memanggilnya seperti itu berarti ayahnya benar-benar marah padanya, hanya ayahnyalah yang memanggilnya dengan nama itu.
Sakra Wagara, pria paruh baya itu menghela nafas kemudian menatap puteri bungsunya yang ia panggil dengan nama Sedi tadi, "Baiklah! jika itu maumu! Papa tak akan melarangnya tapi Papa mohon! Jangan kerja serabutan disana, Papa akan mengurus semuanya. Kau dengar? Semuanya! Jadi kau tak perlu bersusah-susah untuk menghidupi dirimu sendiri disana. Kau hanya akan membuat Papa hidup tak tenang disini tiap harinya karena memikirkan anak bungsunya yang berusaha menghidupi diri sendiri padahal disini ayahnya sendiri masih sangat mampu untuk menghidupinya, memberikan apapun yang ia mau," tatapannya berubah lembut dan penuh sayang pada anak bungsunya.
Sedify. Si bungsu dikeluarga Wagara seketika tersenyum lebar dan segera berdiri lalu menghambur kepelukan ayahnya, "makasih Pa! Dify janji, Dify tak akan menyia-nyiakan kesempatan dan juga kepercayaan yang Papa berikan pada Dify ini. Sedi sayang Papa! Papa segalanya untuk Sedi," Gadis itu mengecup sayang kedua pipi ayahnya, kemudian kembali memeluk ayahnya erat.
Seseorang berdehem, "lalu bagaimana dengan Mama, Fy? Apa Dify melupakan Mama yang duduk disini?!" Ada nada cemburu pada suara wanita paruh baya itu, merajuk pada anak gadisnya satu-satunya, yang ia lahirkan dari rahimnya.
Dify dan tuan Wagara terkekeh geli mendengar protesan wanita tadi, sementara ke-empat orang lainnya yang masih ada dimeja makan itu hanya memasang wajah datar melihat adegan didepan mereka, menatap tak suka.
"Mama~" Dify menghampiri ibunya kemudian memeluk wanita itu erat, "mana mungkin Dify lupa pada Mama-ku yang cantik ini? Dify sayang Mama! I love you more, Mom," kedua perempuan berbeda jaman itu masih berpelukan dengan erat, tak mempedulikan keadaan sekitar bahwa ada yang memandangi mereka dengan tatapan penuh kebencian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wild World
RomanceTak ada yang lebih menyedihkan ketika dianggap 'pelacur' oleh keluarga Ibu sendiri karena lahir diluar nikah tanpa Ayah. Tak ada yang mau mengakuinya, bahkan ibunya sendiripun lebih memilih meninggalkannya karena tak siap untuk menahan malu. Ia sela...