EMPAT

618 46 0
                                    

"Shin..….!!!!" Teriak beberapa seorang supporter cewek saat pertandingan persahabatan yang berlangsung sore hari di gedung olahraga sekolah.  

"Ampun nih cewek suaranya, gila abis. Bisa mendadak budek gue di sini"

"Haha udah biarin aja Rin,,,"kata Mei.

"Namanya juga di pertandingan ya musti rame donk. Kalo ngak rame namanya di kuburan" tambah Mei.

Setengah pertandingan, keadaan lapangan makin ramai. Pertandingan basket yang sudah menjadi tradisi disekolah ini mewajibkan mengirimkan perwakilan dari setiap angkatan X, XI dan XII yang dibagi sesuai jurusan masing-masing  angkatan  yakni kelas IA, IS dan Bahasa. Kali ini pertandingan sudah memasuki babak semifinal.

Teriakan di tribun makin kencang. Mungkin karena pertandingan yang makin memanas antara kelas IS-X dan kelas IA-XI. Pasalnya seluruh peserta dari kelas 10 mainnya jago-jago membuat peserta kelas 11 mulai emosi dan mungkin karena itu lah banyak pelanggaran yang dilakukan oleh peserta kelas 11.

 "Arin, seseorang ngelihatin loe dari tadi lho…" ucap Mei.

"Siapa?" kata Arin datar.

"Itu.." sambil menunjuk seorang pemain  basket yang sedang beristirahat di pinggir lapangan.

"Siapa?"

"Itu , yang lagi duduk di pinggir lapangan. Yang pake kaus hitam"

Arin mecoba menelaah siapa sih yang ditunjuk Mei. Tapi pemain basket yang duduk di pinggir lapangan  dan pakai kaus hitam juga ngak cuma satu orang. Mungkin mereka termasuk pemain cadangan atau mungkin jagoan tim yang sengaja dikeluarin dimenit menit terakhir.

Tiba-tiba suasana mendadak ramai saat peluit yang mengakhiri pertandingan di tiupkan. Kemenangan diraih oleh kelas 11. 

"Bener aku gak bohong,, dari tadi dia ngelihatin kamu terus, gue kayaknya pernah lihat dia tapi gue ngak tau siapa namanya" bisik Mei.

Arin tak sempat melihat siapa yang di tunjuk Mei tapi. Tentu saja dia tak terpangaruh oleh perkataan Mei  karena mungkin saja dia bukannya melihat Arin tapi melihat cewek-cewek lain, Karena di lapangan ada banyak cewek yang ngerundel jadi Arin tak perlu ge-er dengan pernyataan Mei.

"Oh" jawab arin santai.

                            ♪♪♪

Besoknya saat bel pulang sekolah berbunyi Mei tiba-tiba langsung beranjak dari bangkunya setelah membaca sebuah pesan di hpnya.

“Loe mau pulang mei? Cepet banget”

“Rin sory ya gue harus cepet-cepet pulang. Gue d jemput temen gue. Dia ngajakin keluar”

"Yah gue pulang sendiri nih" keluh arin saat hendak keluar dari kelas.

"He he sorry rin, gue pergi dulu ya rin"

Tiba-tiba Arin teringat dengan jaket yang ada di tasnya. Sontak wajahnya memerah lagi. Tapi ini sudah lebih dari 3 hari dari kejadian kemarin, namun mungkin baru sekarang ia merasa mentalnya sedikit kuat. Sedikit.

Berbekal informasi dari Mei, Arin pun menuju kelas Tam.

"XI IA 2" ucapnya sambil mencari-cari kelas yang dituju.

Namun, saat sampai dikelas yang dituju Arin hanya menemukan kelas yang kosong.

Niatnya pun ia urungkan. Saat membalikkan badannya Arin meliat sepintas. Sesosok laki-laki yang sepertinya sedang tertidur di pojokan kelas dengan tangan yang terlipat sambil menyandarkan diri di dinding dan earphone yang terpasang.

Perlahan arin masuk ke kelas dan mendekati sosok itu. Memang benar dia adalah Tam. Samar-samar terdengar lagu yang didengarkan oleh Tam.

Mungkin karena keadaan kelas yang memang sepi atau karena volume yang di pasang di earphonya terlalu tinggi. Arin tak habis pikir bagai mana bisa Tam tertidur dikelas yang kosong ini.

Tam Phassakhorn A

Arin membaca nama yang ada di baju cowok itu dan kemudian menatap wajahnya. Bebarapa detik seperti membeku.  

Kalau bisa ibaratkan Tam saat ini seperti patung yang sedang bersandar. Kulitnya putih bersih dengan rambut hitam legam dan badan bidang yang menjulang. Sontak arin teringat dengan warna mata coklat tajam tapi hangat milik Tam yang sempat ia lihat saat terakhir bertemu dan sesuatu yang paling mengena dibatinnya adalah lesung pipi Tam. Lesung pipi yang seakan bisa menenggelamkan hati siapa saja.

Entah setan kagum macam apa yang merasukinya tapi ia baru tersadar mendapati tangannya nyaris menyentuh lesung pipi itu. Kemudian ditariknya tangannya kembali.

Setelah perdebatan yang panjang di benak Arin, ia kemudian memutuskan untuk meletakkan jaket tersebut di dekat Tam.

"Thanks" bisik Arin dan dengan perlahan menjauh dan pergi.

Sebenarnya ingin sekali ia membangunkannya. Tapi Arin juga tak tau apa yang harus ia katakan pada Tam.

Sepertinya kejadian kemarin seharusnya segera ia lupakan sebelum hatinya berpendapat yang tidak-tidak dan mengharapkan lebih!

FEELSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang