Aku tidak menyadari bahwa pertemuan pertama kita akan berdampak besar nantinya.
~Shaula~***
Bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu, tapi aku masih mengerjakan tugas piketku di kelas. Aku ingin cepat selesai lalu mendekam di coffe shop seperti biasanya. Menikmati instrumen yang diputar disana seraya membiarkan pikiran liarku berkelana. Tapi apa daya, aku harus menjalankan tugas piketku, ditemani Yuniar yang juga bertugas di hari yang sama denganku. Sebenarnya yang bertugas hari ini berjumlah enam anak manusia. Tiga perempuan dan tiga laki-laki. Satu temanku lagi yang perempuan tidak masuk karena sakit, Zulfa namanya. Sisanya laki-laki.
Coba pikirkan, apa yang diharapkan kepada laki-laki kalau-kalau disuruh nugas piket? Macam kaum Adam seperpiketanku itu, kabur, sudah melipir saja sebelum bel pulang dibunyikan. Tak ada yang bisa diharapkan, bikin capek ngomong ngomel-ngomel ke mereka. Dan sekarang apa yang diharapkan pada Yuniar, kalau-kalau dia ternyata berharap terhadapku. Seperti sekarang ini.
"Shau gue buru-buru nih, udah mendung juga."
Nah! Aku mendengar nada yang merugikan.
"Lo deh yang lanjutin ngepel, gue mau pulang." Titahnya. Ia menaruh sapu, setelah itu Yuniar mengambil tasnya dan dengan santainya berjalan keluar tanpa mendengarkan penolakanku dulu.
Lah?? si monyet.
Aku ingin memprotes, setelah ia dengan gamblangnya menyuruhku mencari materi presentasi, sekarang ia menyuruku ngepel sendirian, enak sekali berasa dia bos-nya. Dan bodohnya aku yang tidak melancarkan aksi penolakan. Lagi-lagi, apa dayaku.
Mirisnya punya teman macam Yuniar. Baru kali ini aku menyesal mempunyai nama berawalan huruf Z, yang artinya seperpiketan dengan Yuniar yang picik itu. Astaghfirullah. Emang kudu banyak istigfar deh, ya.
Aku mendesah lalu melanjutkan tugas piket ini dengan setengah hati. Sabodo amat kalau aku tak ikhlas. Coba, apa ada yang lebih ikhlas menggantikanku piket, aku akan berterima kasih setiap hari. Berani sumpah deh. Ayo, siapa? Tidak ada 'kan?? Jadi, tak usah ngebacot kalau Shaula kudu ikhlas. Terima saja!
[•]
Aku melangkah dengan cepat menuju coffe shop, langit sudah menjatuhkan rintiknya tepat setelah aku mengepel ubin terakhir lantai kelasku tadi. Kalau saja si monyet itu tidak dengan seenak jidatnya menyuruhku mengepel, yang jelas-jelas itu adalah tugasnya, pastinya aku sudah duduk manis dengan secangkir vanila latte di depanku. Tidak tahu apa, coffe shop itu kalau mendung gini pasti ramai. Apalagi sudah gerimis begini. Semoga saja tempat yang biasa aku duduki masih aman tanpa manusia lain tempati. Al, tolong selamatkan tempatku. Aku hanya bisa berharap dalam hati.
Kini aku berjalan cemas, sedikit berlari, takut-takut hujan deras mengguyurku sebelum aku sampai di coffe shop. Jaraknya masih dua ratus meter lagi dari tempatku berlari.
Setelah beradu kecepatan dengan rintik hujan yang mulai deras, aku sampai di coffe shop ini. Lantas membuka pintunya dengan keadaanku yang sedikit basah. Aku menatap sekeliling, benar saja 'kan sudah ramai, pengaruh dari cuaca yang sangat mendukung untuk meminum secangkir kopi. Lalu berjalan ke tempat yang biasa aku duduki setiap kali aku kesini, di dekat jendela. Aku tersenyum, Al sungguh pengertian untuk selalu menjaga tempat ini agar tidak diduduki orang lain. Bahkan saat keadaan coffe shop sedang ramai. Terima kasih Al, ngga ada manusia lain yang pantatnya menempel di bangku ini.
YOU ARE READING
Pluviophile
FanfictionApa yang kau pikirkan tentang gadis penyuka hujan? Intovert? Misterius? atau terlihat unik? Menarik? Bermandikan hujan? Dan persepsi pun bermunculan. Aku Shaula, gadis penyuka hujan. Tetapi, terkadang aku benci bila harus mandi hujan. Jika kau penas...