[9] MG : Hei, Hinata

5.3K 490 20
                                    

Ibu berdiri di depan pintu, menatap sekitar kamar yang terlihat kacau ̶ ̶ terlihat seperti kapal pecah, benar-benar berantakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ibu berdiri di depan pintu, menatap sekitar kamar yang terlihat kacau ̶ ̶ terlihat seperti kapal pecah, benar-benar berantakan. Tentu, ibu berjalan dengan hati-hati agar terhindar dari serpihan kaca. Beberapa langkah kemudian, ia berhenti. Memandangi putranya yang duduk di sudut ruangan, telapak kaki yang penuh darah itu menjadi perhatiannya saat ini.

Helaan nafas terdengar berat di sana, Kushina melirik untuk kembali ke luar kamar. Memanggil Iruka yang berada di tengah anak tangga untuk mengambil kotak P3K yang tersedia.

"Apa Naruto terluka parah?" ibu menggeleng dan menerima kota itu, "Tidak ada yang lebih parah dari hati yang terluka, aku juga ingin marah karena terlihat kekanakan tapi... kau tau kalau dia memang seperti itu."

Iruka menatap pintu yang terbuka, pria itu juga ingin memeriksa keadaan Naruto. "Terimakasih, kau tidak perlu khawatir." Mendengar kalimat itu, ia mengangguk dan kembali menuju pertengahan anak tangga. Siapa tau, wanita itu memerlukan bantuan lain.

Setelah mendapatkan kotak P3K, ibu mendekat ke arah Naruto perlahan. Mencoba menenangkan putranya, "Jika kau benar-benar seorang laki-laki dewasa, apa ini yang bisa kau lakukan?"

Ia mengalihkan tatapan ibu, berniat tidak ingin bertengkar kali ini. "Tinggalkan aku sendiri, Bu." Namun ia tau, bahwa ibu terkadang memiliki sifat keras kepala. "Aku sudah lama menunggunya untuk pulang, tapi yang dia minta padaku sekarang adalah mencari perempuan lain."

Ibu melebarkan kedua bola matanya tidak percaya, firasat yang muncul di dalam hati dan pikirannya itu ternyata benar. Suatu kejadian yang tidak pernah ia harapkan dan kemudian terjadi.

"Bukan hanya aku yang tau perasaan ini, aku pikir ibu juga tau bagaimana sabarnya aku yang selalu menunggu dengan ketidaktahuanku selama ini. Lalu, aku mendapatkan jawabannya satu-satu yang mampu membuat dadaku sesak. Ibu... rasanya sakit sekali... dia tidak memikirkan perasaanku, kenapa dia begitu mudah menulis semuanya di atas kertas ini? Ibu... katakan padaku kalau ini bukan tulisan Hinata!"

Naruto mengguncang tubuh ibu, menunjukkan wajahnya yang menangis seperti anak kecil yang cengeng. Pada dasarnya semua orang yang patah hati akan berwajah seperti itu. "Aku memang tidak tau apa-apa selama ini, tapi..." ia berhenti melanjutkan kalimatnya, begitu banyak kata-kata yang ingin meledak di dalam kepalanya yang terus memaksa keluar. Namun tidak semudah yang ingin dilakukan.

"Temui Hinata," Naruto menatap ibu sebentar, ia berpikir untuk tidak melakukan hal itu selama hatinya masih sakit. "Katakan semuanya apa yang kau rasakan padanya, katakan padanya kalau kau begitu terluka dengan surat-surat itu, katakan padanya kalau dia perempuan yang tidak memikirkan perasaanmu, katakan semuanya!" ibu merubah wajahnya menjadi serius, bagaimana pun menyemangati adalah hal yang tepat ia lakukan.

"Aku tidak bisa bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini."

"Keadaanmu yang sekarang, akan membuatnya mengerti."

Mute Girl [BELUM REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang