5
Atsmosfer dikelas ini seketika berubah, yang terdengar hanyalah dentuman jarum jam. Semua mata terfokus pada papan tulis putih yang ada didepan. Hanya Davin yang tidak menatapnya, justru ia malah melihat rambut hitam legam milik Dhisa.
Memangnya, ada apa dengan rambut Dhisa? Apa ada kutunya? Tapi, sepertinya bukan. Lalu, apa yang membuatnya menatap rambutnya dengan begitu serius?
Gue harus jelasin semuanya,hatinya berucap.
Davin menoel bahu Dhisa, tapi tak digubris olehnya. Lagi, Davin menoel bahunya. Tapi tetap, Dhisa tidak menghiraukannya dan masih terfokus pada bukunya. Kali ini, Davin menggoyangkan bangku Dhisa. Berhasil. Dhisa menoleh kearahnya dengan mata elang. Reza yang ada disebelah Davin meliriknya dengan penasaran.
Lalu, Davin menuliskan sesuatu dibukunya agar Dhisa membacanya.
'Ada sesuatu yang harus gue omongin ke elo Dhis.'
Itulah yang Davin tulis untuknya. Dhisa menghiraukan tulisan tersebut lalu kembali fokus pada buku catatannya dan papan tulisnya.
*_*
Lonceng istirahat pertama sudah berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas untuk membeli sesuatu kekantin. Reza keluar dari bangkunya, dan mengajak Dhisa untuk pergi kekantin bersamanya. Namun dengan cepat Dhisa menolaknya karena ia akan membicarakan sesuatu dengan Davin. Reza pun hanya tersenyum dan berlalu pergi.
Setelah kelas sepi, Davin bangkit dari duduknya dan langsung menarik tangan Dhisa dengan lembut. Dhisa hanya mengikutinya. Kemana Davin akan membawanya? Entahlah, Dhisa pun tidak tahu. Tapi satu yang Dhisa tahu, kini ia mulai menaiki banyak anak tangga. Sepertinya Davin akan membawanya ke atap sekolah.
Pintu atap dibuka oleh Davin dan menampilkan tempat yang cukup luas dan sepi. Dhisa pun melepaskan tangannya yang sedaritadi digenggam oleh Davin, ia menundukkan kepala.
"Apa yang mau lo bicarain sama gue." To the poin pada Davin. Ia hanya menatap Dhisa yang kini rambutnya sedang menari-nari karena angin.
"Masa lalu." berjalan mendekati Dhisa. Mendengar itu, ia mendongakkan wajahnya pada Davin. "Tolong maaffin gue Dhis." manatap mata Dhisa dengan penuh rasa penyesalan dan bersalah.
"Sorry, Vin. Tapi masa lalu gue, udah gue buang jauh-jauh. Dan gue gak mau terjebak lagi dengan masa lalu." ucapnya menahan rasa sakit saat menatap Davin.
"Dan gue, gue udah maafin lo." kini suaranya bergetar, tapi Dhisa berusaha untuk membuat suaranya tidak bergetar.
"Tapi, Dhis. Ada kesalah pahaman diantara masa lalu kita." menghela nafas panjang, "Dan gue mau meluruskannya."
"Biarin aja Vin--" sungguh, kali ini Dhisa tidak bisa menahan air matanya yang sudah menumpuk dipelupuk matanya itu. Tapi dengan cepat, ia mengusapnya. "Lagian gue udah ngebuka lembaran baru. Dan gue gak mau lembaran itu diisi sama yang udah-udah."
Ada sakit di dada Davin saat Dhisa mengatakan kalimat terakhir. apa itu artinya Dhisa tidak mau kalau Davin mengisi lembaran barunya itu?
Dhisa berbalik badan untuk pergi meninggalkan Davin. Tapi naas, tanganya lebih dulu dicekal oleh Davin. Iapun menatap Davin dan memberinya isyarat untuk melepaskan tanganya.
"Dhis, apa lo gak bisa ngasih kesempatan kedua buat gue?" tanyanya begitu lirih.
"Gue belum tau, Vin. Tapi satu yang gue tahu, gue belum mau jatuh kedua kalinya di orang yang sama." Mendengar itu, Davin melepaskan tangan Dhisa dan membiarkan Dhisa pergi meninggalkannya.
Apa gue bikin lo jatuh terlalu dalam, Dhis?
*_*
Dhisa menuruni anak tangga dengan suara isakannya. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang akan mengiranya seperti apa. Yang pasti, hatinya seperti tertusuk sesuatu yang membuatnya tidak bisa menghentikan tangisannya itu.
Tanpa disadarinya sepasang bola mata terus memperhatikannya. Kakinya mengikuti langkah Dhisa yang tidak mampunyai tujuan. Karena merasa iba, ia menarik tangan Dhisa. Dan membuat Dhisa menoleh padanya. Matanya menatap kaget.
"Lo-- kenapa Dhis?" mendongakkan wajahnya agar bisa melihat wajah Dhisa.
Sebelum Reza melihatnya, ia cepat-cepat menyeka air matanya yang terus berjatuhan, "Ga papa." tersenyum simpul.
"Ga papa kok, nangis." dengan senyum menggoda.
Dhisa ikut tersenyum, "beneran Za, gue gak papa." menampilkan sederet gigi putihnya.
Lalu, Reza pun mengajak Dhisa untuk kembali ke kelas. Perempuan itu hanya mengangguk. Selama di perjalanan menuju kelas, Reza lebih mendominan percakapan. Sedangkan Dhisa hanya menjadi pendengar yang baik. Tapi anehnya, Dhisa tidak merasa bosen mendengar semua ucapan Reza.
*_*Davin masih berdiri mematung, menatap langit kesal. Sungguh, cowok itu merasa sangat menyesal. Kenapa harus dirinya yang membuat Dhisa terluka? Saja ia mengetahui akibatnya, ia tidak akan membuka selembar kertas itu.
Tapi nasi telah menjadi bubur. Dan Davin tidak bisa mengubah bubur itu kebentuknya yang semula.
Sebenarnya, Davin ingin semua kembali seperti dulu. Dimana ia dan Dhisa selalu bermain bersama, belajar bersama dan melakukan segala halnya bersama tanpa ada perdebatan.
Dan andai saja cowok itu tahu perasaan Dhisa sejak lama, mungkin kejadian seperti ini tidak akan ppernah terjadi. Dan andai saja ucapan itu tidak keluar dari mulutnya, mungkin kini ia masih berteman baik dengannya.
Kenapa dimasalah ini, serasa gue yang paling salah?
haii kalian, gimana sama ceritanya? alurnya udah mulai jelas belum? soalnya sama aku udh dperbaiki kok.
jangan lupa vote sama commentnya, makasih muahh:* :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Complicated
Fiksi RemajaDhisa Kalila Pratiwi Aku kira, kamu pergi itu untuk kembali padaku. Ternyata aku salah. Kamu pergi dan kembali hanya untuknya. ... Davin Kaesang Putra Aku sayang sama kamu. Tapi disatu sisi, aku gak bisa ninggalin dia. Karena dia, orang yang aku ci...