Jimin namanya.
Seorang pria berumur 23 tahun. Berkepribadian tertutup ketika menginjak usia 20--Jimin tidak menyalahkan kepribadiannya yang demikian, toh, itu bukan salahnya. Bukan salahnya ia mempunyai kepribadian yang tertutup. Hidup selama 23 tahun di lingkungan yang bagaikan neraka mampu membuat seorang yang terlahir dari unsur bola-bola senyuman dan kebahagiaan menjadi seorang yang auranya mampu melayukan bunga-bunga dalam jarak satu meter.
Jimin benci hidupnya. Sungguh. Berulang kali ia bertanya mengapa ia dilahirkan di dalam neraka ini. Setiap hari tanpa henti, namun ia sama sekali tidak mendapatkan jawabannya. Pernah ketika Jimin berusia 18 tahun, ia sudah hampir berhasil mendapatkan kebahagiaan yang ia dan ibunya impikan, namun sayang beribu sayang Jimin yang berusia 18 tahun saat itu harus menelan kembali kekecewaan dari segala ekspetasi besar yang sudah ia pikirkan di dalam benak polosnya.
Jimin hanya ingin bahagia. Berdua dengan ibu tercintanya, tapi mengapa takdir tidak pernah menuliskan kisah bahagia pada mereka berdua? Apa salah Jimin? Apa salah ibunya? Apakah mereka berdua merupakan orang paling jahat di kehidupan sebelumnya? Apakah ini sebuah penebusan dosa sehingga mereka harus mengalami hal seperti ini? Jimin tidak mengerti dan tidak akan pernah mengerti.
Beberapa tahun setelah pikiran polos Jimin dirusak oleh kenyataan yang kejam ia masih tidak mendapatkan kebahagiaannya, walau sedikit kebebasan saja. Mengapa begitu sulit baginya untuk bebas dari neraka ini? Setidaknya jika Jimin tidak bisa mendapatkan kebahagiaan itu, berikan saja pada ibunya.
Ibu tercintanya hanyalah seorang wanita lemah yang tetap berpikir positif setelah semua kekejaman yang ia terima bahkan sebelum Jimin lahir. Lihat juga betapa kurus tubuh ibunya yang banting tulang mencari sesuap nasi demi Jimin dan si brengsek itu--Jimin sudah menghapus eksistensi brengsek itu dari dalam otaknya. Si brengsek tak tau diri yang memproklamasikan diri sebagai suami ibunya dan ayah kandung Jimin.
Persetan.
Jimin tidak pernah menganggap gumpalan daging pengecut itu sebagai seorang ayahnya walaupun setiap aliran darah di tubuh Jimin sangat berhubungan dengannya.
Lihatlah si brengsek itu. Jimin tidak habis pikir, si brengsek itu dikaruniai tubuh yang mampu bekerja tapi ia malah mengandalkan ibunya. Demi apapun, Jimin membenci ayahnya. Ah, bahkan lidah Jimin sangat pahit ketika ia harus memanggilnya dengan sebutan ayah. Julukan brengsek lebih cocok Jimin berikan padanya. Jimin tahu dia adalah anak durhaka.
Ia adalah anak durhaka yang sangat mencintai ibunya.
"Anak durhaka sialan, mau kemana kau, hah?" Suara keras itu sontak membuat Jimin mengeratkan kepalan tangannya. Ingatkan Jimin untuk menahan semua marahnya sekarang sebelum ia mengambil pisau yang ada di dapur itu untuk menikam pemilik suara sialan itu.
"Menjemput ibu." jawab Jimin singkat. Tak sekalipun ia memandang manik sang ayah yang dibencinya. Dengan langkah santai, Jimin mengambil sepatu yang ia letakkan di ujung ruangan dan memakainya. Namun sebelum sempat ia melakukannya, sang ayah menendang punggung Jimin hingga ia jatuh terjerembab. "Sialan kau! Anak tidak tahu diuntung. Aku bisa saja membunuh kalian berdua. Sialan. Sialan. Sialan." Sang ayah masih terus menendang dan menginjak-injak punggung Jimin, tak lupa sumpah serapah yang selalu pria itu lontarkan disetiap aksi kekerasannya terhadap Jimin.
Jimin hanya diam. Ia tak mampu membalas. Tubuhnya sudah cukup merasakan rasa sakit pasca pemukulan sebelumnya dan ia rasa memar yang ia miliki di punggungnya akan semakin bertambah. Jimin ingin sekali membalas semua perlakuan ayahnya jika saja ia tidak peduli dengan ancaman yang sering ayahnya lontarkan.
"Harusnya kubunuh saja ibumu, sialan."
Ya. Ancaman itu. Ancaman yang Jimin benci. Ancaman yang benar-benar akan terjadi jika ia melawan ayahnya walau hanya mengatakan 'cih'. Pernah sekali Jimin melawan, dan lihat apa yang si brengsek itu lakukan? Leher ibu Jimin hampir putus. Tidak. Jimin tidak ingin hal itu terjadi untuk kedua kalinya.