Udara lembab dengan jeruji besi yang kokoh tak tertembus oleh apapun serta dinginnya dinding beton sel tahanan membuat suasana menjadi lebih suram. Pencahayaan yang minim juga semakin menambah aura negatif yang tengah melanda ruangan itu. Untungnya saat ini matahari berada pada puncaknya sehingga bohlan lampu yang cahayanya tidak seberapa itu terbantu oleh sinar matahari. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah ventilasi mampu membuat suasana sel tidak segelap malam hari.
Siang ini terasa sangat sepi, tidak ada suara-suara penghuni sel lainnya. Memang kebetulan saat ini merupakan jam makan siang sehingga rata-rata dari mereka berada di ruang makan untuk mengisi perutnya atau hanya sekedar melepas diri dari dinginnya sel yang sudah menjadi bagian dari hidup mereka.
Sayangnya hal itu tidak berlaku untuk Jimin. Jimin sama sekali tidak bergerak dari kasurnya, ia bahkan ragu benda yang menjadi alas untuk tidurnya ini layak disebut kasur. Jimin juga lupa sudah berapa lama ia tidak mengisi perutnya. Ia tahu perutnya sudah meminta haknya untuk diisi, tapi Jimin terlalu lelah untuk sekedar bangkit dari peristirahatannya.
Ia sudah sangat lelah.
Jimin meringkuk di kasurnya sembari memeluk diari dan surat milik orang yang ia sayangi, seakan-akan hidupnya sangat tergantung pada kedua benda mati itu. Jimin tidak pernah sanggup melepasnya, tidak setelah ia kehilangan segalanya.
Kebebasannya. Keluarganya. Cintanya.
Sudah berapa lama sejak ia mendekam di penjara? Entahlah. Jimin tidak menghitung sudah berapa bulan ia harus menjadi narapidana atas sesuatu yang sama sekali bukan kesalahannya.
Hatinya saat ini sakit. Sangat sakit. Setelah ibunya harus pergi tanpa pamit, Taehyung yang selama ini menjadi pusat perhatian barunya juga ikut pergi tanpa permisi. Jimin masih ingat ketika kedua tangannya masih merasakan kehangatan Taehyung. Ia juga masih ingat ketika kedua matanya masih melihat senyum Taehyung yang sudah tidak bisa Jimin lihat untuk selama-lamanya. Ia ingat suara indah yang Taehyung miliki saat ia menyanyi di kompetisi waktu itu. Jimin ingat semuanya, Jimin merindukannya.
Namun Taehyung sudah tiada. Begitu juga ibunya.
Hati Jimin sakit. Ia merasakan nyilu di dalam ulu hatinya. Ia berusaha menetralkan rasa sakit itu dengan memukul dadanya berulang kali, sayangnya yang ia dapatkan bukanlah rasa nyilu yang mereda tapi rasa hangat yang ia rasakan di pelupuk matanya dan sensasi nyilu di ulu hatinya tak jua mereda. Jimin menggigit bibir bawahnya kuat-kuat untuk meredam isak tangis yang selalu keluar tanpa seizinnya. Sangat kuat hingga bibirnya sedikit robek dan darah segar mulai mengalir sedikit demi sedikit.
Perih, namun Jimin tidak peduli.
Ia sangat merindukan ibunya dan Taehyung. Ia juga merasa bersalah, karenanya Taehyung harus meregang nyawa.
Ia benci Taehyung yang mengorbankan nyawa untuknya. Ia benci karna ia meninggalkan ibunya hari itu. Ia juga benci pada dirinya sendiri karna ia tak mampu berbuat apa-apa.
Kenapa hidupnya harus seperti ini? Apa salah Jimin? Apakah ini skenario Tuhan untuk Jimin? Apakah skenario ini tidak terlalu kejam?
Entahlah. Ia tidak mengerti, yang ia hanya ingin lakukan sekarang adalah menghentikan nyilu di hatinya serta air mata yang terus mengalir.
x x x x
"Makanlah, Park. Kamu akan mati duluan sebelum hari bebas bersyaratmu datang." Seorang pria jangkung dari ujung ruangan berjalan mendekati Jimin sembari mencoba memberikan sebuah roti padanya.
Jimin mendongakkan kepalanya untuk mendapati tetangga selnya berdiri dengan raut wajah cemas. "Terima kasih, Chanyeol-hyung." balas Jimin dengan senyum lemah.