“Jangan terlalu larut dalam kesedihan dan mulailah melihat apa aja yang masih tersisa di sekitarmu.” - Larasati.
***
Sudah lama semenjak Abim menginjakan kaki di rumah sakit yang pernah dikunjunginya bertahun-tahun silam. Bangunan kokoh itu semakin baik dari segi pembangunan dibanding ketika ia datang dulu.
Entah telah berapa lama waktu beranjak, namun ingatan Abim seputar rumah sakit itu masih membekas dan menjadi memori yang tidak bisa terlupakan. Terakhir kali ia datang pun di saat ayahnya dirawat, namun juga dinyatakan meninggal.
Tempat dimana ia mendapat teman pertama, latar yang menjadi saksi bisu atas derai air matanya, juga tentang putus asa dan kecewa. Tidak mungkin Abim melupakan semua itu, yang ada semakin melekat di ingatan.
Abim menoleh seraya mengeratkan cekalan tangannya pada lengan Ana. Bundanya itu berjalan tertatih-tatih dengan tongkat kayu yang umurnya sudah lebih dari sepuluh tahun.
Keduanya berjalan menyusuri lobby rumah sakit, kemudian berbelok menuju koridor. Kalau untuk seluk-beluk rumah sakit ia lupa-lupa ingat, namun untungnya sebelum datang kesini, Abim telah lebih dulu membuat janji temu dengan dokter spesialis mata yang pernah menangani perawatan Ana.
Suara ketukan tongkat menghiasi suasana hening koridor. Beberapa pasien rawat inap yang mengenakan seragam khas rumah sakit berlalu-lalang.
Di antaranya ada yang naik kursi roda kemudian didorong oleh perawat, dan ada pula yang memakai tongkat berbahan dasar besi. Sesekali Abim melempar senyum seraya membungkuk hormat pada siapa pun yang berjalan melaluinya.
Area dalam rumah sakit pun ternyata banyak yang berubah. Pembaharuan dimana-mana, tentunya lebih banyak teknologi canggih yang tersedia seiring berjalannya zaman. Hingga sejurus kemudian, Abim telah sampai di lokasi tujuan. Mendorong pintu ruangan yang tertera nama panjang Dokter Vadila, kemudian mengucapkan salam sebelum masuk.
“Assalamualaikum.”
Vadila tersenyum hangat kala menyambut kedatangan pasien lamanya. Wanita yang telah menjilma sebagai paruh baya itu mempersilakan Abim dan Ana duduk di hadapannya.
“Waalaikumussalam,” balasnya semringah. “Ya ampun, ini Abimanyu?” tanya Vadila seolah tidak percaya dengan pesatnya pertumbuhan Abim. Cowok yang dulunya cengeng itu kini telah berubah menjadi bujang tampan.
“Iya, Saya Abimanyu Dok,” terang Abim cepat.
Cowok dengan surai berwarna hitam pekat itu membantu Ana duduk, lalu meletakan tongkat bundanya ke tempat aman. “Kita udah sampai, Bun,” ujarnya sesaat sebelum beranjak duduk di kusi kosong lainnya.
Kedatangan Abim dan Ana ke rumah sakit setelah sekian lama ialah untuk berkonsultasi. Untungnya Vadila masih bekerja di rumah sakit yang sama, sehingga memudahkan Abim beradaptasi tanpa harus mencari dokter lain yang sepadan.
Syukur juga, sebab Vadila membebaskan biaya penuh untuk Ana. Abim merasa sangat-sangat berterimakasih. Ia selalu berdoa, semoga Vadila mendapat balasan yang setimpal dari Sang Maha Kuasa.
“Bunda ingin membicarakan suatu hal penting dengan Dokter Vadila, kamu bisa keluar sebentar?”
Abim tidak banyak protes, ia pun segera melangkah keluar. “Abim tunggu di depan ya, Bun,” tukas cowok itu sebelum benar-benar berlalu. Ketika berada di luar ruangan, Abim memutuskan duduk di kursi tunggu yang tersedia di depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[KASRA] Abimanyu ✔ [SUDAH TERBIT]
Novela JuvenilSUDAH TERBIT 🌻🌻🌻 [SELESAI] [TIDAK DIPRIVATE, TAPI ALANGKAH BAIKNYA FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Copyright©2020 by fitrialjazera_