Chapter 2

12 2 0
                                    


  Tutt ... Tutt ... Tutt!
Apa maksudnya coba? Aku menatap layar ponselku yang berkedip, menyala menampilkan durasi waktu. Sepuluh menit lewat 25 detik. Bagian pojok atas kanan, waktu menunjukan sederet angka nol. Tengah malam, pergantian waktu. Lalu beberapa detik kemudian, di deret ke empat, berganti angka satu.

"Pulsanya habis?" gumamku di antara sepi malam. Tiada lagi bising kendaraan berlalu lalang. Aku menjatuhkan kepala di atas bantal yang tak lagi empuk, meletakan ponsel di samping telinga kiri.
Lampu kamar 15 watt menyala redup, seakan mengerti kegusaran yang tetiba melanda hati. Mengapa ia tiba-tiba muncul dan berlaku seperti tidak terjadi apa pun. Seperti kawan biasa yang sudah lama tak bertemu. Jangan berpikir bahwa aku menyimpan harapan. Tentu saja tidak! Untuk apa? Setelah setiap kali kabar terdengar tentangnya hanyalah kisah perihal ia yang memiliki kekasih berbeda.

Seperti detak jantungku yang berdetak teratur, kenangan sembilan tahun lalu menyeruak perlahan. Ketika pertama kali bertemu dengannya, di antara dua petak kebun jagung yang masih berbunga. Hari yang teramat panas dan sepi. Orang itu, berada di depanku. Sejauh dua meter, tapi entah karena langkahku yang memburu waktu atau ia tak hendak buru-buru. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada tepat di sampingku.
Melangkah perlahan, menjinjing tas samping dan memasukan salah satu tangannya ke saku celana.

Aku masih ingat, waktu itu aku tidak peduli. Ia siapa, dari kelas berapa, dan mengapa berangkat sendiri. Meskipun aku juga sedang tidak bersama satu pun temanku. Tapi yang membuatku mendadak menoleh, tersentak kaget. Ia tiba-tiba menangkupkan buku catatannya di atas kepalaku.
"Huhh, panas!" keluhnya sembari memayungi kepala dengan kedua tangannya. Ia tidak menoleh, menatap lurus pada jalan raya yang begitu lenggang. Kendaraan roda dua, hanya sesekali berlalu.
Aku meraih buku yang bersarang di atas kepala, menutup lalu menyodorkannya kembali.

Ia menoleh, alis hitam tebalnya bertaut. Mungkin heran dengan sikapku, tapi aku lebih heran dengan sikapnya.
"Aku masih punya buku sendiri. Lagi pula, aku tidak berminat untuk berteduh dengan apapun."
"Sartiana, hargai kebaikan orang sedikit saja!" timpalnya sembari tersenyum. Meraih buku yang kusodorkan, lalu menangkupnya kembali di atas kepalaku.
"Iih!" geramku kesal, menurunkan buku itu dan meremasnya. Ia tahu namaku dan seenak jidatnya bertingkah seolah-olah kita sudah mengenal satu sama lain.
"Ya ...! Itu buku PR biologiku!" serunya kecewa, menatap nanar pada buku di tanganku yang sudah berubah menjadi tabung.
"Oh, maaf!" sesalku menahan kesal. Lalu merentakang buku itu agar kembali seperti semula.

"King?"
Di sudut bawah ujung sampul buku itu tertulis 'King' dengan ukuran huruf sedang. Seolah pemiliknya, bermaksud menandai kepemilikan sekaligus agar mudah dikenali. Tapi 'King' menurutku terlalu berlebihan dan bermakna sombong.
"Itu namaku!" serunya mengagetkan penalaranku. Ia mengulurkan tangan, meminta agar buku itu diserahkan. Kalau saja ia tidak memintanya baik-baik, mungkin aku sudah melemparnya ke kebun jagung. Biar susah ia mencarinya. Tapi apa benar namanya King?

"Berapa ekor kambing yang kamu korbankan untuk mengganti namamu menjadi Kinnng!" ketusku sekaligus penasaran. Tidak mungkin namanya King, itu terlalu aneh kalau para orang tua menggunakan nama anak mereka.
"Tidak perlu kambing segala, cukup tangkap nyamuk lalu sembelih," timpalnya antusias. Ia berkata seolah-olah mengganti nama yang sudah diberikan orang tua sejak kecil adalah perkara mudah.

"Iissh, dasar!" geramku kesal. Melangkah cepat, berusaha mendahului langkahnya. Tapi selalu saja, ia bisa menyamai langkahku. Berjalan tepat di sampingku.

Ping! Bunyi tanda pesan masuk menghentikan kembaraku. Aku meraih ponsel, mengecek pesan masuk. Sudah hampir melewati tengah malam dan aku belum juga terlelap. Pun mungkin orang yang baru saja mengirimkan pesan di ponselku.
"Sudah tidur, Tiana? Maaf tadi, bonus teleponnya habis. Lain kali, aku akan telepon lagi. Salam dari King!"
Aku tersenyum miris, menertawakan diriku yang tiba-tiba aneh. Berharap esok akan cepat datang dan berubah menjadi waktu sebelumnya.

Aku memilih meletakan kembali ponsel, mengusir gusar yang semakin kuat muncul. Tidak boleh, kehilangan fokus, Tiana. Ah, aku harus mengirimkan pesan pada gadis itu. Bagaimana reaksinya nanti? Ia pasti kaget dan berakhir menyalahkanku juga Damar. Tapi aku menyukai sikapnya yang seperti itu. Terlalu mudah dibaca dan menyedihkan. Dua orang yang membuatku sulit tapi mengirimkan bahagia dalam waktu bersamaan.
...
Bersambung
...
Makassar, 30 Mei 2017 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 30, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang