Juni 2015
Jurnal hitam berukuran sedang yang terbuka di hadapan Cyan saat ini bertuliskan:
1. SMA terfavorit : Nathaniel International High School
2. SMA dengan disiplin yang tinggi: Nathaniel International High School
3. SMA bilingual terbaik : Sama.
4. SMA dengan biaya termahal : Pandora College
5. SMA terketat: Nathaniel International High School
6. SMA dengan tenaga pendidik terbaik : Nathaniel International High School
Melihat SMA pujaannya menempati hampir semua nominasi sekolah bertaraf internasional dalam berbagai kategori sudah membuat Cyan senang setengah mati. Ia menatap jurnal itu sekali lagi untuk memastikan bahwa nama SMA yang paling banyak tertera di sana memang Nathaniel International High School. Dengan informasi ini, Cyan berharap ia bisa meyakinkan kedua orang tuanya untuk mengizinkannya bersekolah di SMA impiannya itu. Lagipula, mereka memang berharap kedua putrinya akan berada di sekolah yang terpercaya, kan?
"Fixed! Cyan harus sekolah di Nathaniel." Ujar gadis itu sambil tersenyum pada kedua orang tuanya.
Tapi ayahnya, Jonas, jelas-jelas meragukan keputusan putrinya itu. "SMA yang kamu idolakan itu terlalu high-class. Bukannya Papa nggak sanggup bayar, cuman, apa kamu yakin kamu bisa lolos seleksi? Bagaimana kalau gagal, dan kamu bunuh diri gara-gara depresi?"
"Jadi, Papa ragu kalau Cyan bisa lolos seleksi?"
Evelyn buru-buru menengahi. "Begini, Cyan. Papa dan Mama nggak mau kamu kecewa seandainya nanti semuanya nggak sesuai dengan ekspektasi kamu. Apalagi, seleksi masuk ke SMA itu terlalu rumit. Tes inilah, itulah..."
"Mendingan, kamu coba cari sekolah yang sedikit lebih...low-class,"
"Tuh, bener kata Papa, Cyan. Mama setuju,"
Pusing dengan ocehan kedua orangtuanya yang silih berganti, Cyan hanya bisa menarik napas dan memijat pelipisnya. "Ya ampun, Ma, Pa. Dari dulu Cyan selalu masuk sekolah favorit, kan? Walaupun kata Mama tingkat kemustahilannya tinggi, buktinya Cyan berhasil lulus SD dan SMP dengan nilai terbaik, kan?"
"Ya itu kan dulu, Cyan. Kalo sekarang, keputusan kamu itu malah bikin Papa sama Mama senam jantung,"
Ujungnya, Cyan kehabisan akal untuk menyela ocehan kedua orangtuanya. Tapi dia belum ingin pasrah. Pokoknya ia harus bisa membujuk orangtuanya untuk mengizinkannya bersekolah di SMA Nathaniel.
"Gini, deh. Dari dulu, nilai UN Cyan selalu paling tinggi se-Indonesia. Cyan juga punya sekardus piagam prestasi dari tahun Adam sampe tahun Jokowi. Cyan rasa... apa mereka punya alasan untuk menolak Cyan? Kalo masalah tes mah gampang!"
Kini gantian orangtuanya yang merasa bahwa mereka butuh untuk tidak melawan, atau jantung mereka akan meloncat ke kerongkongan. Melihat keadaan itu, Kenan yang doyan debat cepat-cepat mematahkan argumen Jonas dan Evelyn.
"Sekarang giliran Ken. Menurut Ken, nggak ada sekolah yang bakal menolak siswi sepintar Cyan. Lagian, kalau Cyan sendiri sudah optimis, kenapa kita masih ragu?"
Tak ada lagi bantahan dari pihak lawan. Perdebatan pun usai karena Jonas dan Evelyn menyerah. Selain karena Jonas dan Evelyn bukanlah partner yang seimbang, Ken dan Cyan juga adalah lawan yang tak tertandingi kalau urusan debat-mendebat.
"Kenaaaan!!! Makasih banget udah pro ke gue! Akhirnya Papa Mama ngijinin gue buat sekolah di sana! Lo emang kakak terkece yang pernah gue temuin!" Cyan lantas memeluk kakaknya erat-erat begitu keputusan benar-benar disepakati.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Own Rival!
Teen FictionKisah hidup gue mungkin terkesan dilebih-lebihkan. Tapi jujur aja, gue pengin lo semua belajar dari hidup gue: Hidup yang dibilang indah. Hidup yang high-class. Hidup paling kece di dunia. Mainstream? Eh, jangan salah. Orang-orang-sebelumnya-pada n...