Hampa

835 15 2
                                    

...
"Disaat tiada siapa pun yang melihat tangisanmu
Di saat itulah Allah bersamamu"
...

Bila

Sejenak aku terdiam, menatap hampa diri ini, kotor sudah. Kebodohan yang merasuk jiwa, membebaskan hawa nafsu berkuasa. Ku seka air mata dari sudut mataku, ku rapikan diri dan berlalu pergi dari tempat itu. Tertunduk malu, menahan tangis dan sesak yang tiada berguna. Inginku menjerit saja saat itu. Jalanan sepi, awan berduka, tiupan angin menusuk kejiwaku yang hampa, seolah alam mengetahui lukaku.

Namun, masih saja kulupakan Tuhanku. Yang hanya teringat olehku hanya sesal, hanya cinta berbuah petaka. Berlari entah kemana, menangis tiada henti, tertunduk, terjatuh dibawah rintihan hujan. Aku menangis sejadi-jadinya, menjerit sepuasku tak ada satu kata pun yang terucap.

Aku terdiam menatap ke atas. Hanya ada gemerlap malam tanpa bintang, butiran hujan yang berperang. Sunyi senyap, hampa yang kurasakan. Ku terus memaksa diri untuk bangkit berjalan menuju istanaku. Melawan semua rasa takut yang mendesak dada.

Kriitt... suara deritan pagar yang berkarat, ayah dan ibu telah menantiku di depan teras rumah. Kuharap mereka akan memeluk hangat tubuhku. Namun semua tak sesuai yang ku ingin.

"Kenapa tidak bilang agar dijemput. Lihat basah semua gini. Nanti sakit siapa yang repot." Ujar bapak dengan nada tinggi.

"Sudahlah pak, yang penting anak kita sudah pulang dengan selamat" sela ibu sambil memelukku.

Aku masih tertunduk tak bersuara. Masuk kedalam istana yang dulu ku anggap seperti penjara kini terasa lebih hangat, seolah memelukku dan berkata "aku bukan penjaramu".

"Sudah, mandi sana ganti pakaian lalu makan". Ujar ibu kepadaku

Rasa dingin bercampur luka dan malu semakin menusukku lebih dalam dan semakin dalam, mencengkamku semakin kuat, mencabik cabik jiwaku dengan arogan. Memukul diri tiada berguna, air mata tiada berarti. Ya hancur berkeping keping hingga tak tersusun kembali. Bibirku masih membungkam, mataku masih tertunduk, tangisku mulai mereda. Logikaku bermain dalam kepala memikirkan apa yang harus ku lakukan, bagaimana jika ayah dan ibu tau tentang ini bagaimana perasaan mereka. Semua tentang mereka, kasih sayang mereka terputar ulang jelas terlihat di mataku, butiran air mata jatuh kembali. Aku tak bisa menahan diri, ingin rasanya ku akhiri hidup saat itu juga. Mencari gunting di laci lemari,  mengarahkan tepat di nadi. Aku menyerah, aku tak sanggup hanya itu yang ada di kepalaku, menangis lagi.

Aku terdiam lagi, telingaku mendengar suara halus entah siapa. Ku cari sumber suara tak kutemukan dimana. Ku usap air mataku.. lagi lagi ku mendengarnya. Kata kata yang patah tak beraturan, aku takut. Mencoba melawan, menyusun kata perkata, semakin jelas terdengar olehku sangat jelas dan dekat.

"Jangan takut, jangan sedih, jangan menyerah. Mengakhiri hidup bukan jalan keluarnya. Kamu pasti kuat."

Suara itu menghilang tanpa jejak, lenyap begitu saja. Segera ku sadarkan diri, membersihkan diri dan berganti pakaian. Ku hela nafas panjang di depan pintu kamar "kamu kuat" lirihku dalam hati. Menahan tangis ketika bertemu ibu dan ayah, ku paksakan senyum agar mereka tak khawatir. Ku jalani hidup dengan kehampaan. Air mata yang membanjiri pipi terhenti saat dihadapan mereka. Mencoba bersikap biasa, bercerita dan tertawa seolah olah lupa akan luka hingga waktu tidur tiba. Terbaring lemas di atas tempat tidur, air mata jatuh lagi di pipi ini hingga ku terlelap bersama luka begitu seterusnya.

~~~

Triingg...triingg...triingg..
Suara jam weker terdengar lancang ditelingaku menunjukkan pukul 5 pagi. Rasanya hambar tak ada penyemangat. Ku coba melawan semua luka, mengukuhkan diri untuk bangkit lagi. Ku langkahkan kaki menuju kamar mandi bersiap-siap untuk sholat subuh dan berangkat sekolah.

"Assalaamu'alaikum Fatih. Tumben pagi-pagi udah di sekolah" tanya Anissa sambil menyenggol lenganku.

"Hehehe. Gak apa kok. Emang kamu aja yang bisa datang cepat" balasku.

"Hahahaha. Ya enggaklah" ujar Anissa.

Anissa Ranggini ia adalah salah satu sahabatku saat itu. Dia begitu polos, yang menjadi teman jahilku. Satu lagi sahabatku bernama Maulidya Sari, sosok yang kadang dingin kadang hangat, sosok yang diam dan cool. Sosok yang merasa tidak pernah nangis disekolah. Dan aku sendiri, Shaqilah Fatih seorang gadis bodoh dan fakir ilmu. Aku cukup dikenal oleh guru-guru di sekolahku. Tak asing bila aku selalu disuruh ini itu oleh guru guruku. Semua canda dan tawa keluar lepas saat disekolah. Lupa aku akan kejadian itu. Luka yang tadinya mencengkamku begitu kuat perlahan mengendorkan cengkamannya.

Jam sekolah selesai, waktunya aku kembali pulang. Lagi lagi luka itu, semakin bergerilya menusuk nusuk jiwa. Ku hempaskan tubuhku di atas tempat tidur, mataku kembali basah.

"Aku lelah begini terus, aku capek, aku gak kuat lagi." Keluhku dalam hati dengan mata yang kembali basah hingga ku kembali terlelap bersama luka.

Samudera LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang