Pergi

14 3 0
                                    

  Dalam perjalanan, Calin menyetir mobilnya dengan pandangan kosong. Entah bagaimana caranya, hanya ia yang tahu.

Ting!

Ponsel Calin berbunyi

From: Arne

22-05-2017

Ya, pergilah. Aku tak apa. Aku akan baik-baik saja tanpa mu disini. Mungkin aku hanya akan merindukan mu, dan terus menangis. Bukan karena kau akan bertunangan dengan Vione, tapi karena aku akan kehilangan tawa, dan senyum mu.

Setelah membaca balasan dari Arne, Calin menghentikan mobilnya, dan menelepon Arne.

"Halo Arne" Sapa Calin ketika panggilannya diterima oleh Arne
"Kau tak apa?" Sambungnya

"Aku sudah menjawabnya, pada pesan ku tadi. Kau harus fokus mengemudi. Akan aku tutup"

"Jangan! Kumohon jangan!" Calin memohon

"Baiklah, aku tidak punya banyak waktu, ada apa?" Arne mengurungkan niatnya

"Arne, apa kau benar-benar baik-baik saja? Apa kau sudah tidak menangis lagi?"

"Untuk apa? Bukankah itu yang kau mau? Lagi pula, tangisan ku tak akan membuat mu kembali" Arne menyangkal, bahkan saat mengatakannya, air mata Arne sudah jatuh ribuan kali

"Lalu, mengapa kau berubah? Tidak seperti biasanya, kau jadi sedikit dingin, dan asing"

"Kau bertanya, mengapa aku berubah? Jawabannya tentu saja, karena semuanya juga sudah berubah, sudah tidak seperti biasanya. Jadi, berhenti membicarakan tentang kepergian mu, karena itu telah membuat semuanya berubah, termasuk aku"

"Aku tahu, baiklah, aku tidak akan membicarakan kepergian ku. Tapi Arne, percayalah, semuanya terasa menyakitkan bagi ku"

"Apa? Bagi mu? Calin, apa semua rasa sakit itu hanya terjadi pada mu? Tidak! Aku juga merasakannya. Tapi menurut ku, lebih baik kita bersikap sebagai teman, atau sebagai dua orang asing, dan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dengan kita" Ucap Arne dengan nada parau

"Ya, baiklah. Apapun yang membuat mu merasa lebih baik" Jawab Calin, ia lalu memutus panggilan, dan membuang nafas panjang.

Arne menangis. Lagi.

'Calin, ku kira kau akan mengerti. Ternyata?! Tidak sama sekali, bahkan tidak ada nada tangis, sedikitpun pada ucapan mu'

Arne meletakkan ponselnya di bawah bantal, dan ia pergi ke balkon kamarnya. Ia menduduki Hammock yang tergantung disana, dan menatap
langit dengan tangisan

"Calin" Arne menunduk, dan membuat air matanya berjatuhan "Tolong jelaskan padaku. Hiks... Perasaan apa ini? Hiks.... Aku mencintaimu, aku menyayangimu, hiks.... tapi disisi lain, aku membencimu, aku kecewa padamu Calin!! Hiks...." Arne sedikit berteriak

Dan, wanita itu datang. Ibunya. Ia menyentuh kedua pundak Arne, itu bisa membuat tangisan Arne berhenti, ya, walaupun hanya sesaat, karena Arne lalu memeluknya, dan menangis lagi.

"Sudahlah.... Maafkan ibu, maaf ibu tidak pernah merasakan, sama persis dengan apa yang kau rasakan. Tapi Arne, ibu berjanji, akan membuat Calin kembali padamu" Arne lalu melepaskan pelukannya dari ibunya

"Tidak Bu, tidak perlu. Calin baru saja menelepon ku, dan awalnya, kukira dia memang ingin kembali. Tapi ternyata. Tidak! Bahkan tidak ada nada tangis pada ucapannya. Tidak ada. Sedikitpun!" Jelas Arne

"Tidak semua hal harus kita ucapkan, tidak semua hal sanggup kita lihat, dan tidak semua hal dapat kita rasakan. Itu kata ayah mu. Sekarang ibu mengerti semua itu"

"Maksud ibu?"

"Ya, kalimat 'Tidak semua hal dapat kita rasakan' kalimat itu cocok untuk mu. Kau harus mengerti, mungkin Calin tidak mengatakannya karena ia tidak sanggup, ia tidak bisa, dan mungkin ia tidak ingin kau tersinggung. Ia seorang lelaki, dan ibu tahu, ia hanya mencoba untuk tidak menyakiti hatimu dengan kata-katanya" Rena duduk disamping Arne. Arne menatap lekat-lekat mata ibunya itu, ibunya tersenyum dengan kerutan di sekitar bibir dan matanya.

*****

'tuut...tuut...tuut'

Tepat pukul 6 pagi, alarm pada jam Calin berbunyi, ia membuka matanya, dan mencari ponselnya, lalu mematikan alarm.

Ia bergegas mengambil handuk, dan pergi mandi, karena ia harus pergi ke sekolah barunya, Scecity High School and Academy.
   Scecity, adalah kota besar. Dimana semua penduduknya hidup rukun, dan memiliki rasa empati yang tinggi terhadap penduduk lain.
Mungkin, Calin akan menjadi satu-satunya penduduk yang dianggap kurang bersosialisasi.

"Calin, ini kunci mobil mu" Ucap Rhey. Sang ayah. Calin mengambilnya, dan masuk ke dalam mobil ferrari kesayangannya.

"Ada apa dengan anak itu? Tidak biasanya dia diam ketika aku berbicara, dia bahkan tidak menatap ku" Ucap Rhey, yang sedang memasukkan berkas kantor ke dalam tasnya

CalinPov:

  Aku mengemudi dengan kecepatan tinggi, ya, untuk meluapkan semua kekesalan ku. Masa bodoh dengan keselamatan ku, bahkan jika aku mati pun, Arne tidak akan peduli.
    
    Kemarin, aku menghubungi ponselnya, dan dari semua kata-katanya, ia terlihat biasa saja, seperti tidak ada yang hilang dalam hidupnya. Padahal sebelumnya, ia menangis tersedu-sedu, dan membuat heboh koridor sekolah. Namun, ya, aku tahu, dia perempuan yang kuat. Jadi, jika hanya orang bodoh yang membuang-buang waktunya seperti aku, pergi dari hidupnya, kurasa, ia bahkan akan merasa lebih baik.

"Dia anak baru itu?"

"Iya, dia yang akan bertunangan dengan Vione"

"Tampan sekali"

"Iya, kurasa, mereka akan menjadi keluarga yang bahagia. Anak-anak mereka kelak, pasti menjadi anak yang hebat"

"Pastinya, ibunya cantik, pintar, dan kaya. Ayahnya tampan,  dan sangat gagah. Kurang apalagi mereka?"

Aku sangat muak dengan kata-kata 4 orang perempuan yang duduk di koridor sekolah, mereka membicarakan ku ketika aku melintas didepan mereka. Ingin rasanya aku meneriaki mereka, dengan kata-kata kasar 'Aku tidak mencintainya sama sekali! Jadi berhenti berbicara tentang perjodohan kami dasar wanita jalang!!'

Namun, aku baru saja menginjak sekolah ini, dan aku tidak ingin ayah dipanggil ke sekolah di hari pertama ku. Beruntung, aku hanya satu tahun disini, aku bisa saja menjadi gila karena pembicaraan mereka.

Bersambung.....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Featherland: The Fear LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang