Lembar ke-1
Teruntuk kamu,
Tengah malam. Sebelumnya bukanlah hal yang begitu spesial bagiku. Hanyalah waktu di kala malam mencapai titik tergelapnya, kala bulan berpijar tepat di puncaknya, dan mentari terlelap begitu damainya—namun aku tidak.
Mungkin itulah yang membedakan tengah malam ini dengan yang terjadi pada malam-malam sebelumnya.
Aku tak bisa terlelap.
Aku tak ingin.
Tiba-tiba keinginan besar untuk menulis muncul secara misterius. Dan aku tak memiliki ide apakah kamu akan menyebut dirimu sebagai manusia paling beruntung karena mendapat surat dari seorang penggemar misterius, atau sebagai manusia paling sial karena kenyataannya sang misterius itu hanyalah aku.
Walau aku pun tak tahu sama sekali siapa gerangan dirimu.
Mungkin kamu adalah seseorang yang akan kutemui beberapa jam dari sekarang, atau beberapa hari, mungkin juga beberapa bulan, dan tidak menutup kemungkinan kamu akan kutemui bertahun-tahun dari sekarang—mungkin saat aku sudah menjadi seorang wanita tua menyebalkan dan menyusahkan orang.
Lihatlah aku, belum tua saja sudah menyebalkan. Aneh pula. Menulis surat untuk seseorang yang eksistensinya pun masih diragukan. Tapi tak apa. Anggap saja kamu ada, selagi berharap masih diperbolehkan.
Entah apa yang akan terjadi jika takdir kita saling beririsan, bertemu di persimpangan jalan.
Entah kita akan menjadi apa untuk satu sama lain.
Entah kita akan menjadi siapa untuk satu sama lain.
Tapi yang pasti, aku hanya bisa berharap....
Di persimpangan jalan nanti, kita mengambil arah yang sama.
....
Hapus kerutan di dahimu itu.
Kamu terlihat jelek.
Surat selanjutnya akan segera kutulis saat aku telah mendapat tidur yang cukup. Di lembar ini aku agak melantur.
Tertanda,
aku
KAMU SEDANG MEMBACA
Tertanda, aku
Short StoryAnggap saja diari sang penulis yang kesepian, stres, dan nyaris depresi. Daripada energi disalurkan ke hal berbau negatif, penulis ingin sesekali hidupnya beraroma positif. Jadi ya, isinya memang curahan hati sungguhan yang menye-menye dan lebay. Ma...