CIBH. Rindu Yang Tersalurkan

14 1 0
                                    

"Rasa sakit akan lenyap tertiup angin, setelah bertemu obat yang paling mujarab. Yaitu pelukan seoarang surga dunia dan akhirat yaitu Ibu"


***

Di dalam mobil Acel hanya manggut mendengar cerita Nesha, tentang keberadaan mereka yang secara tiba-tiba dan suka rela menolong nya. Meskipun awal nya ia sempat merasa malu,karena beberapa jam yang lalu sempat bertemu mata dengan Delvin, laki-laki yang sedang duduk di samping kanan nya. Tapi Acel sangat berterima kasih, karena mereka sudah menolong nya bahkan bersedia mengantar nya ke rumah sakit, tempat ibu nya dirawat. Mengingat Ibu nya, Acel menjadi sedih, karena tak kunjung menjenguk dan mengabari. Handphone nya dirampok beserta dompet, tas dan isinya.

"Kenapa?" Delvin menyadari perubahan raut wajah gadis yang dianggap nya sebagai bidadari. Acel hanya menggeleng pelan.

"Emmm..sekali lagi makasih yah, aku udah ngrepotin kalian padahal kita kan baru kenal" Nesha yang duduk di depan menengok ke belakang dan tersenyum ke arah Acel. Tidak dengan Nevan yang sedari tadi dominan diam. Ada sedikit rasa kesal di hati Acel, jika melihat respon yang diberikan Nvan kepada nya.

Delvin menggeleng cepat.

"Enggak bidadari, kamu nggak ngrepotin sama sekali kok. Malah aku seneng bisa bantuin kamu" Acel risih selama perjalanan Delvin selalu mengoceh dan memanggil nya bidadari. Memalukan.

"Lebay" satu kata singkat keluar dari mulut Nevan yang masih terdengar oleh Acel dan Delvin. Yang disinggung hanya menatap sinis.

Disela-sela percakapan, Acel terus memperhatikan tangan nya yang terluka. Dia takut jika menemui ibunya dalam keadaan seperti ini, ibu nya akan panik dan mempengaruhi kesehatannya. Apalagi saat ini Acel memakai baju lengan pendek, jadi luka nya sudah pasti akan terlihat.

"Masih sakit?" tanya Delvin yang menyadari gelagat aneh dari Acel seraya menaikkan dagu nya karena sedari tadi Acel terus menunduk ke arah luka nya. Lagi-lagi Acel hanya menggeleng dan hal itu membuat Delvin gemas.

Nesha dan Nevan sontak melihat ke belakang mendengar kalimat terakhir Delvin. Karena sedang menyetir, Nevan langsung fokus ke arah jalan lagi. Tidak dengan Nesha yang sedikit cemas.

"Apa kita ke dokter aja?" tawar Nesha meneliti lengan kanan Acel yang ditutup perban dan ada sedikit bercak darah disana.

Acel menggeleng cepat.

"Enggak usah, aku nggak papa kok. Udah enggak terlalu sakit"

"Seriously?" tanya Nesha memastikan dan direspon dengan anggukan oleh Acel seraya tersenyum.

"Lagian lo sok-sok an ngobatin segala Nev, bukan dokter juga. Jangan sok bisa lo, mentang-mentang anak IPA kesayangan nya Ibu Deeran" Delvin menyindir Nevan, Acel merasa tidak enak sendiri karena ulah nya semua jadi salah kaprah.

"Lo anak IPS jangan bacot mulu, kaya lo bantuin aja tadi. Dasar cupu, sama darah kok takut." Kini Nevan balik menyindir Delvin. Yang disindir malah meringis.

Acel tahu jika yang mengobati nya adalah Nevan dan Nesha, sedangkan Delvin hanya menjadi penonton. Alasan nya dia sangat takut darah, sama seperti Acel. Sepanjang perjalanan mereka menceritakan kronologi awal hingga pengobatan. Alasan dia tidak dibawake rumah sakit, karena luka nya tidak terlalu dalam dan parah. Berhubung Nevan bisa menangani karena menurut cerita Nesha, Nevan merupakan calon dokter. Tapi betul, Acel merasa baikan kok bukti nya.

Masalah obat-obatan dan perlengkapan nya, memang Nevan siaga menyediakan P3K di mobil nya dan selalu ia bawa kemana-mana, menurut nya untuk jaga-jaga aja jika terjadi kejadian semacam Acel barusan. Calon dokter ideal banget enggak sih?. Baru calon aja udah siaga gitu, apalagi jadi dokter sungguhan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Can I Be Happy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang