CIBH.Mendapat Pertolongan

11 1 0
                                    

"Sesulit itu kah memberikan pertolongan kepada sesama? Setidak nya jika tidak bisa dan mau berempati, bisakah memberikan rasa simpati meskipun hanya setetes darah?"

***

Acel begitu takut, ketika benda tajam itu semakin dekat ke arah nya. Akan kah hidup nya berakhir di sini, di kota impian nya yang baru saja ia pijak.

"Serahin dompet lo!"

"Enggak. Enggak mau!!" Acel mundur beberapa langkah. Lemas, lutut nya begitu lemas. Ini adalah perampokan pertama yang baru ia alami.

"Tolong....." sekali lagi Acel berusaha meminta pertolongan. Berharap ada segelintir orang baik di Jakarta. Tapi hasil nya sama. Semua orang hanya melihat nya, menyaksikan bagaikan tontonan yang hanya bisa ditonton dan menunggu adegan selanjutnya. Apa diantara mereka tidak ada yang bertindak untuk sekedar menelepon polisi, jika nyawa mereka tidak ingin terancam.

"GUE BILANG PERCUMA!!!!" belati itu terus diarahkan ke arah Acel dan direspon nya dengan langkah mundur.

"Selain bego, lo ternyata budeg juga ya! Enggak akan ada yang mau nolongin lo, apalagi lo bukan orang sini. Jadi, cepet serahin barang-barang lo atau gue bunuh lo disini?!" laki-laki itu terus mengancam Acel tapi ia tetap mempertahankan benda digenggaman nya itu dan terus memeluk nya.

"AHHHH" belati itu berhasil mendarat di lengan kanan Acel. Dompet yang ia jaga sedari tadi terjatuh dan dengan sigap laki-laki itu mengambil nya dan berlalu pergi.

Darah bercucuran dari lengan nya. Perih. Acel menutup sayatan di lengan nya dengan telapak tangan, berharap usaha nya akan menghentikan darah yang mengalir dari lengan kanan nya. Ia menangis tersedu-sedu. Saat keadaannya seperti ini, kenapa orang yang sedari tadi menonton malah pergi. Bukan kah, mereka tidak perlu khawatir karena perampok itu sudah pergi.

Pandangan Acel tertuju pada seorang ibu yang sedang menggendong anak nya. Acel mengisyaratkan bahwa sekarang ini ia sangat butuh bantuan. Tapi ibu itu malah mengikuti jejak yang lain, pergi begitu saja.

Acel terduduk lemas di tanah.

"APA SEMUA ORANG DISINI TIDAK PUNYA RASA KEMANUSIAN HUH!! APA KALIAN SUDAH BIASA MENONTON TINDAK KRIMINAL SEPERTI INI DAN TANPA MAU BERTINDAK?? APA KALIAN INI BUTA? ORANG YANG KALIAN TONTON INI SEDANG KESAKITAN DAN SEKARANG KALIAN MALAH PERGI, SEKALIPUN JAHANAM ITU SUDAH PERGI?? APA..." ucapan Acel terhenti, sia-sia saja berbicara. semua orang tidak akan perduli. Bahkan sampai ia sekarat pun, tetap tidak ada yang peduli. Dia hanya menjadi pusat perhatian saja.

"Hiks..hiks...hiks... Ibu.... maafin Acel, Acel telat jenguk ibu.... hiks hiks... Acel kena musibah bu... Acc.. Acel.... perih bu.... sakit.....tangan Acel berdarah....Acel takut darah...sekarang Acel harus apa?? Semua orang enggak ada yang peduli bu... hiks hiks" Acel terus berbicara pada diri nya sendiri, sekali-kali ia melihat tangan kiri nya yang digunakan sebagai perban sementara di lengan kanan nya. Pusing. Acel begitu takut darah. Mual. Itu yang ia rasakan sekarang.

"Itu dia...di sana" suara seseorang memasuki pendengan nya. Acel mendongak. Dan mendapati dua remaja laki-laki dan satu remaja perempuan mendekat ke arah nya.

"Dia terluka, lengan nya berdarah Nev" teriak gadis itu histeris.

"Apa?? Darah?? Nev Nev.. cepetan lo bawa dia. Gue takut darah" ucap seorang laki-laki yang awal nya berada di barisan paling depan dan langsung ciut ketika mendengar kata darah.

Dan. Gelap sudah. Acel pingsan dan hanya sempat mendengar percakapan mereka.

***

"Ha..haus..." itu lah kalimat yang Acel ucapkan pertama kali ketika ia tersadar. Setelah berdebat dengan diri nya sendiri, membuat nya haus bukan kepalang.

Can I Be Happy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang