Leif | Gubuk dan Laut

257 34 9
                                    

Sore itu, angin berhembus kencang dari ufuk timur untuk menari menanti senja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore itu, angin berhembus kencang dari ufuk timur untuk menari menanti senja. Daun-daun kini berterbangan mengikuti haluan sang angin. Meninggalkan mangsa, para bangau kembali bersama koloni dalam satu jajaran formasi pesawat jet. Hari sudah mulai gelap. Alhasil, nyanyian alam mulai redup ditelan senja. Tidak seutuhnya sunyi. Deraian air sungai di bibir hutan masih terdengar gemericik. Sedikit gaduh di sekitarnya. Tak jauh di seberang sungai, kau dapat melihat sepetak rumah kecil berlindung pepohonan cemara. Rumah seukuran ring tinju berdinding kayu itu terlihat kokoh walau didasari dengan struktur yang tidak jelas. Pagar kayu tanpa cat juga mengitari rumah tersebut dengan susunan yang tak rapi sehingga tampak sedikit natural.

Jika kau memperhatikan lebih dekat lagi, kau akan melihat kemeriahan yang tak wajar. Cahaya dari dalam menyembulkan siluet manusia yang tengah asik berlalu lalang. Jelas, itu Leif. Ia tengah berseliweran membantu ibunya yang paruh baya itu memasak. Beberapa timba air ia bawa keluar masuk. Dari sungai ke dapur. Badan mungilnya memang terlihat agak kurus kerontang. Tapi tenaganya bisa diakui tak selaras dengan postur tubuhnya yang sedikit bungkuk. Sudah 10 timba yang ia bawa dalam waktu 6 menit.

"Leif, bisakah kau mengambil beberapa jamur di bawah?" pinta Ibu yang tengah asik mengoseng masakan di atas wajan tungku. Aroma pedas menyengat hidungnya hingga ia bersin hebat sesekali.

Mengiyakan perintah ibunya, ia menuju belakang rumah kemudian membuka sebuah pintu yang mengarah ke dalam tanah. Bukan ruang rahasia. Melainkan hanya sebuah tempat penyimpanan makanan agar suhunya tetap terjaga. Groundfridge, kurang lebih begitulah penyebutannya. Tanpa penerangan apapun, ia berhasil meraih beberapa genggam jamur tiram. Ia tersenyum megah seolah memiliki kemampuan luar biasa. Menaiki tangga, ia menyadari sesuatu yang janggal walau akhirnya tak mendapati apapun. Ia kembali memasuki rumah dan menyerahkan hasil jarahannya kemudian melanjutkan menimba air ke dalam tong biru besar sambil sesekali mengucek hidungnya. Sudah pasti penyebabnya adalah masakan Ibu.

Malam berjalan begitu cepatnya. Bintang-bintang tampil dengan eloknya di jajaran langit khatulistiwa. Saturnus yang terlihat sangat jelas di sisi kiri bulan berkilauan mengalahkan terangnya sirius. Leif yang sedari tadi asik menikmati lukisan menawan sang horison kembali merenung. Sesekali ia berfikir untuk mencapai langit agar dapat menemukan sesuatu yang ia cari. Mungkin konyol, akhir-akhir ini ia tampaknya sedang meratapi suatu hal. Meraih sebotol kaca di belakangnya, ia membekuk seekor kunang-kunang yang sedari tadi menyabur di antara bintang-bintang. Mengamatinya sejenak, Leif kembali melepaskan isak tangisnya.

"Hey, apa kau tau di mana mereka? Mengapa aku sendiri?" bisiknya pada angin malam tanpa mengeluarkan suara. "Hey, sirius. Kenapa kau masih bertahan? Apa kau tidak merasa kesepian? Apa kau tak lelah untuk tetap bersinar? Apakah mereka membutuhkanmu? Atau kau yang membutuhkan mereka? Dapatkah kau menemaniku?" batinnya dengan penuh rasa duka.

Ia tersendu dalam rasa sepi yang menyelimuti hidupnya selama 17 tahun. Entah sudah berapa jam dia berdiam tanpa kata.Kembali mendongak ke langit, ia membuka tutup botol di tangannya. Kunang-kunang itu pergi, kembali berbaur dengan kilauan batu angkasa. Perasaanya sedikit membaik bersama sejuk yang mulai menyelimuti. Tak ingin berlama-lama di luar, ia kembali masuk membawa piring yang sedari tadi ia sodorkan pada kucing hitamnya.

"Belum tidur?" tanya Ibu pada Leif yang baru saja membuka pintu. Leif menoleh, kemudian menggeleng. Sekali ia menyeka kantung matanya kemudian menarik ingus dalam dalam. "Malam akan berlalu. Berdoalah agar esok kau dapat melihat matahari, Leif." Lanjut Ibu. Leif mengiyakan ucapan Ibunya kemudian bergegas melompati sang malam. Mengingat, ia akan sangat sibuk esok pagi.

Hujan merintik pelan. Bintang-bintang tak lagi terlihat. Seekor kucing hitam mengintip dari dalam jendela. Mengamati seseorang yang berdiam di bawah pohon cemara yang tak terlalu jauh dari tempat tersebut hingga akhirnya sosok itu berbalik dan pergi.

. . .

"Kapten! Gerbangnya terlihat!" pekik salah satu awak pada sang kapten yang tengah sibuk di dek kapal.

Angin berhembus kuat dengan ombak yang menyelir ganas. Langit malam tak lagi dapat menyembunyikan bulan biru yang sedari tadi menitik indah di balik awan. Tak berlangsung lama, hingga awan-awan tersebut menggumpal menutupi atmosfer. Kabut mulai menyeruak dari permukaan laut. Hujan sedikit merintik ditambah percikan air laut yang menghujani permukaan kapal. Suasana tampaknya agak sedikit memburuk. Kian mencekam dari sebelumnya. Mungkin akan terjadi badai besar. Kapten kapal kini mengarahkan pandagannya pada awak yang berada di topgallant. Matanya mengikuti arah telunjuk jari sang awak dan megambil sebuah teropong dari sakunya. Menarik teropong tersebut, ia melekatkannya pada mata kanan. Tilikannya bergerak naik turun hingga mengunci satu objek. Ia terdiam sejenak kemudian menurunkan teropongnya. Mencoba melihat dengan mata telanjang. Sekali lagi mengangkat teropongnya untuk memastikan hingga akhirnya ia mengangkat suara.

"Bentangkan layarnya! Sepuluh derajat ke utara!" sang kapten menyeru dengan lantangnya pada seluruh awak kapal.

"Aye Aye, Kapten!" sorak seluruh awal kapal. Mereka mengerti apa yang harus dilakukan dan langsung bergerak sesuai bagiannya masing-masing.

Angin semakin kencang. Ombak mulai melambai-lambai mengombang-ambingkan permukaan laut. Termasuk kapal layar tersebut. Kilat menyambar layaknya kedipan sang mentari disusul dengan gemuruh yang menggelegar angkasa dengan delay yang agak lama. Makhluk laut pun mungkin sudah mengasingkan diri dari kondisi tersebut. Air mulai membasahi permukaan kapal. Layar pun berkibar tak tentu arah tertiup secara acak.

"Akhirnya kita bisa keluar dari sini, Dean." ujar salah seorang awak yang tengah menarik tali layar pada teman di sebelahnya. ia tampaknya sangat berambisi dengan yang diucapkannya.

"Yah. Kita pasti bisa kali ini, Roy." jawab Dean penuh hasrat seraya menahan tali layar dengan penuh tenaga. Keram mulai menyebar pada lengannya disebabkan layar yang tertiup sangat kuat. Beberapa kali kakinya meluncur sedikit mengikuti tarikan tali tersebut.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah kita kembali?" 

"Ntahlah, mungkin aku bisa menikah setelah ini." balas Dean dengan mengangkat bibir kirinya. "Bagaimana denganmu?"

"Aku? Entahlah, mungkin aku akan mencoba menemui anakku."

"Mencoba? Bukankah memang seharusnya kau melakukan itu?" Dean heran, ia merasakan adanya kebimbangan pada Roy.

"Aku tidak tau. Dia mungkin sudah tumbuh dewasa sekarang ini." Roy tampak murung namun masih mencoba mengukir senyum di wajahnya. Tujuan pelayaran Roy memang hanya untuk bertemu dengan anaknya.

"Kau pasti akan bertemu anakmu, Roy! Aku yang menjaminnya." sahut sang kapten dari kemudi kapal dengan nada lantang. Ia tampaknya berhasil mengarahkan kapal  tersebut sesuai targetnya. Kini kapal tersebut tenggelam. Tenggelam dalam sebuah kabut pekat yang sesekali menyembulkan cahaya terang dari dalamnya. Kapal tersebut pun menghilang ditelan oleh sang kabut.

"Aye Aye, Kapten!"

~Bersambung :v

LeifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang