Part 01

92 5 1
                                    

05Juni2017

Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi hanya untuk bersekolah. Biar ku perjelas, sekolah adalah tempat yang ku benci. Heh, jika kalian bertanya mengapa aku masih mau saja bersekolah? Jawabanya mudah, karena keinginan ibuku.

Mata biru ku menatap ibu yang tersenyum lebar pada bonekanya, lalu membelai lembut wajah boneka perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Lalu mata biru ibuku berbalik membalas menatapku, lalu tersenyum lebar lagi.

“Alfino makan. Alfino makan” ucap ibuku lembut lalu tertawa senang. Aku tersenyum simpul dan dengan cepat menghabiskan roti berselai kacang buatan ku sendiri.

Aku melirik jam dinding besar yang terpajang di dinding. Lalu meminum air dengan tenang.
Kurasa aku harus berangkat, 5 menit lagi maka sekolahku pasti akan mengumandangkan bunyi bell masuk. Ah. Betapa aku ingin cepat-cepat keluar dari sekolah itu.

Aku menghampiri ibu yg masih terduduk dengan boneka perempuanya, dan melirik sekilas ke roti milik ibu yang masih tersisa setengah lalu ku sentuh bahunya dengan lembut.

“Aku berangkat”

Ibuku menoleh lalu tersenyum lebar lagi, membuat hati ku menghangat karenanya. Lalu ibu mengangguk antusias.

“ibu harus habiskan roti itu, mengerti?” ucapku sembari mengelus lembut rambut ibuku.

“ya! Ibu mengerti. Ibu mengerti” ucapnya lalu memakan roti tersisa itu dengan bersemangat. Aku tersenyum lagi, lalu bergegas pergi. Menuju tempat yang kubenci.

Hembusan angin dingin, menyambutku sesaat setelah aku membuka pintu, selanjutnya aku kembali menutup pintu dan menguncinya, melangkahkan kaki menuju tempat yang ingin sekali ku jauhi.

Aku terduduk terdiam dikelas, tak berniat menuju kantin untuk mengisi perutku. Setelah bel istirahat berkumandang tadi, Aku hanya tak suka keramaian. Dan aku suka saat kelas ku sepi begini, aku terbuai untuk tidur disini sebelum tiga kelompok laki-laki tolol itu mengangguku. Telingaku mendengar suara langkah kaki mereka yang mendekatiku, tapi aku tak berniat mendongak. Aku tetap berposisi sebelumnya, sebelum mereka datang. Inilah beberapa hal yang kubenci disekolah penuh dengan kemunafikan. Dan dia yang kuat. Dialah yang berkuasa.

“Oi” sapa salah satu dari mereka dengan suara memuakkan lalu mendorong bahuku dengan sedikit kasar. Namanya Dryas. Laki-laki menyebalkan yang sangat ingin ku hancurkan.

Aku tak mengubris mereka sama sekali, ku acuhkan Dryas tanpa mengubah posisiku.
Dan yang kudengar ialah Dryas yang menggeram. Sial, ini akan sedikit merepotkan.
Mereka selalu begini setiap harinya. Bersifat berkuasa, dan egois. Hanya karena memiliki uang yang banyak, mereka seenaknya begitu saja. Bukankah, itu memuakkan?!

“Aku menyapamu Alfino. Apa kau tuli?” ucapnya sinis lalu mendorong bahuku lebih kasar dibanding tadi.

Dan aku malas meladeni ini semua.

Lagi. Kuacuhkan mereka.

“Ah aku tau, kau sengaja mengacaukan kami ha?!” kata Dryas lagi. Ah cerewet sekali sih dia.

“Dia takut Dry” celetuk ... em aku lupa, suara siapa itu. Aku lupa namanya. Heh. Sombong sekali dia. Dia bilang aku takut. Heh.

“Haha, mungkin saja. Seorang anak dari ibu yang sudah gila, memang pengecut. Selalu menghindar.” Balas Dryas lagi.

A...Apa?!
Brengsek

“AHAHAHA” tawa mereka bertiga begitu kencang.

Aku mengubah posisi ku, lalu menatap mereka dengan diam. Dan detik berikutnya aku sudah menerjang Dryas dengan banyak pukulan kencang, sebelum 2 temanya itu ingin membantu Dryas, aku sudah melempar kursi ke kepala laki² itu yang sudah mengatai ku penakut. Dan menendang perut yang satunya lagi, yang hanya diam sedari tadi.

DarkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang