Klik. Suara remote tv terdengar saat Bunda mematikan televisi. Layarnya pun menjadi gelap membuat gadis kecil itu terperanjat dan berteriak.
"Bunda! Kenapa di matikan televisinya?" katanya sambil berteriak.
Oh ternyata Gadis kecil itu sedang asyik menonton kartun favoritnya.
"Lihat! sudah jam berapa ini, Kak? Waktunya be...la..."
"Belajar! Capek Kakak, Bun!"
"Capek apa sih? Kakak kerja keras banting tulang?"
Tiba-tiba air mata Kakak mengalir bersama isakan tangisnya.
"Bun, Kakak ini anak siapa?"
Bunda terkejut bukan main, apa yang ada di dalam benaknya. Bagaimana bisa dia memiliki perasaan seperti itu?
"Kakak omong apa sih? Ayo ambil bukunya!"
"Kenapa sih Bun, kakak selalu dimarahi kalau lagi belajar? Dicubit lah, dipukul. Rambut kakak dijambak. Kakak salah apa Bun? Memang benar kan, kakak bukan anak Bunda."
Bunda terdiam. Rasanya berat untuk katakan hal ini kepadanya, bahwa dia dilahirkan tanpa kasih sayang seorang Ayah. Alhasil, Gadis kecil itu menjadi sasaran empuk atas kelelahan oleh Bundanya sendiri.
Bunda bekerja dari pagi hingga sore. Bunda hanyalah seorang buruh, bukan orang berpendidikan tinggi.
"Habisnya kakak kalau diajari, tidak bisa sama sekali. Jadi, Bunda gemas sama kakak."
"Bunda selalu bilang sabar. Sabar. Tapi, Bunda sendiri tidak sabar."
"Ayo cepat buka buku. Sebelum itu cuci muka dulu, mana bisa masuk pelajaran kalau kusut begitu wajahnya," kata Bunda yang dari tadi hanya menyuruhnya tanpa mengindahkan perasaan gadis kecil.
Teringat kembali masa kecil Bunda yang bergelimang harta. Saat itu Bunda di manja dan di timang. Bunda tidak pernah di bekali ilmu keterampilan oleh kedua orang tuanya. Semua yang Bunda mau selalu di beri. Hingga suatu saat mereka jatuh miskin. Semua harta yang mereka miliki habis tak tersisa. Kasih sayang berubah menjadi kebencian. Bunda penyebab kedua orang tuanya jatuh miskin.
"Pergi kamu dan jangan kembali! Kami tak sudi menjadi orang tuamu lagi."
Bunda berfoya-foya menghabiskan harta kedua orang tuanya hanya demi kesenangan semu. Bunda menjual semua harta yang di miliki orang tuanya hanya untuk membeli narkoba dan membiayai kebutuhan kekasihnya.
Bunda hanya menangis kala itu walau dia telah bersujud dan memohon ampun.
"Ampun Pak, Bu. Ampuni saya. Saya janji, saya akan berubah."
Brak! Pintu di tutup dengan kasar.
Bunda pergi dengan membawa sebuah tas dan anak yang ada di dalam kandungannya. Dialah gadis kecil itu.
Bunda merasa frustrasi, apakah Bunda harus berjuang mempertahankan bayinya atau menggugurkannya. Berkat Ustadzah yang dia temui di masjid, dia dapat berjuang dari nol hingga sekarang kehidupannya dapat tercukupi.
"Sayang," kata Bunda sambil membelai rambut panjang Gadis kecil itu.
"Maafkan Bunda, Bunda tidak bermaksud jahat kepadamu."
"Benar kan, Bunda. Kakak bukan anak..."
"Sstt! Kakak anak kesayangan Bunda. Bunda janji, tidak akan marahi kakak kalau sedang belajar. Asalkan kakak nurut ya apa kata Bunda."
Bunda memeluk kakak dengan sangat erat tanpa sadar lelehan air mata mengalir dari kelopak mata Bunda.
Bunda mendengar kabar baik dari Wali kelasnya, kalau gadis kecil yang tengah di peluknya selalu mendapat nilai terbaik di setiap mata pelajaran.
"Sayang, kelak Kakak akan tahu bahwa dunia ini kejam. Kakak akan mengerti, kenapa Bunda selalu menyuruh kakak belajar. Bunda hanya ingin kakak lebih pintar dari Bunda."
Lalu mereka saling pandang dan tersenyum penuh arti.