Suasana di kelas sepuluh jurusan Teknik Audio Video 1, atau biasa disingkat X AV-1 di pagi yang cerah ini terlihat sangat ramai. Para siswa yang berada di dalam kelas tersebut tampak mengobrol dan bersenda gurau. Kelas X AV-1 pagi ini tidak ada yang mengajar, alias jam kosong.
Kelas ini memang sering mendapat jam kosong. Bahkan hampir disetiap pelajaran produktif kelas ini selalu jam kosong. Padahal produktif merupakan pelajaran yang sangat penting di sekolah SMK. Entah karena gurunya tidak mau mengajar atau memang sedang sibuk. Nyatanya, kelas ini lebih sering mengalami jam kosong saat pelajaran produktif.
"Kita ke kantin aja, yuk." Terdengar suara ajakan yang berasal dari salah satu perempuan yang sedang mengobrol di bangku bagian tengah.
Alin mengajak temannya untuk pergi ke kantin, kebiasaannya kalau jam kosong.
"Ya ampun, Alin. Ini belum waktunya istirahat." Delima menjawab sambil menatap tajam ke arah Alin.
Alin mengerucutkan bibirnya mendengar jawaban temannya. Dia kan lapar, apa salahnya pergi ke kantin untuk mengisi perut. Lagi pula kelas sedang jam kosong.
"Aku lapar, tadi pagi nggak sempat sarapan karena takut terlambat ke sekolah."
Agna hanya duduk manis di bangkunya, sambil mendengarkan kedua temannya berdebat.
"Makanya jadi orang tuh jangan malas bangun pagi." Balas Delima dengan ketus.
"Sudahlah jangan berdebat terus. Ditahan dulu laparnya, satu jam lagi istirahat." Agna menimpali kedua temannya dengan santai.
"Kamu bercanda, Na. Satu jam itu waktu yang lama. Kamu tega melihat sahabatmu ini kelaparan?" Alin memasang wajah memelas yang malah membuat kedua temannya tertawa.
"Kenapa harus nggak tega, salah sendiri tadi nggak sarapan."
Alin melotot mendengar ucapan Agna, sungguh tega sahabatnya itu.
"Oke, kita tunggu jam istirahat." Jawab Alin dengan kesal.
"Na, kamu lagi ada masalah ya?" Tanya Delima kepada Agna. Dia teringat kemarin ketika Agna melamun, seperti sedang memikirkan sesuatu.
Agna menghela napas dengan pelan. Ternyata sahabatnya begitu peka dengan dirinya. Padahal Agna sudah berusaha menyembunyikannya dibalik sikap cerianya.
"Iya, Del. Aku belum melunasi SPP selama tiga bulan, sebentar lagi kan UAS." Jawabnya dengan sedih.
Agna bukanlah anak orang kaya, namun ia tetap bersyukur masih bisa hidup berkecukupan. Ia tidak memiliki adik ataupun kakak, ia anak tunggal.
Alin dan Delima ikut sedih melihat Agna sedih. Mereka tahu kondisi ekonomi keluarga Agna yang pas-pasan. Namun, mereka berteman tidak memandang status ekonomi. Mereka merasa senang dan cocok berteman dengan Agna. Agna perempuan yang baik dan asyik, dia juga teman yang paling polos diantara semua teman-temannya.
"Nggak usah terlalu dipikirin, Na. Kamu bisa meminta keringanan kepada guru TU." Alin memberi saran untuk Agna.
"Iya deh, nanti aku coba minta keringanan sama Bu Elvi."
Agna menghela nafas dengan pelan, pusing memikirkan masalah pembayaran SPP bulanan disekolah. SPP bulanan di sekolahnya terbilang murah, karena sekolahnya sudah masuk sekolah negeri.
Agna sangat bersyukur bisa memasuki sekolah elite ini, karena tidak mudah untuk bisa diterima di sekolahnya. Harus menjalani serangakain tes terlebih dahulu. Mulai dari pendaftaran calon siswa baru, tes kesehatan, hingga tes online yang tentunya tidak mudah.
Apalagi dengan banyaknya calon siswa yang ingin mendaftar di sekolah ini, hampir mencapai seribu lebih calon pendaftar. Tetapi yang diambil oleh sekolah tidak lebih dari lima ratus siswa. Agna harus bersaing dengan banyaknya calon siswa baru. Berhari-hari ia menunggu panggilan namanya dari sekolah, berharap ia diterima. Ternyata perjuangannya tidak sia-sia, ia diterima dengan nilai tes yang cukup memuaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
School of Taruna
Teen FictionMenceritakan kisah anak sekolahan yang mengikuti kegiatan ketarunaan di sekolah mereka. Kisah yang penuh suka duka dan kebersamaan sesama teman sekolah. Kisah para remaja Sekolah Menengah Kejuruan.