Seorang pria keluar dari sebuah toko sambil membawa sebuket bunga mawar putih bersih. Rangkaian bunga beraroma wangi dengan visual yang sempurna, begitu cantik dan menawan. Begitu pula seseorang yang segera menerima bunga ini. Sebut saja Sehun seorang budak cinta, karena menganggap bahwa mawar pun kalah dengan kecantikan gadisnya.
Kaki jenjangnya mengarah pada mobil sedan hitam berkilau. Hendak bergegas tanpas gas ke istana sang wanita.
Lima bulan Sehun pergi ke Swiss untuk belajar bisnis, sebab ia harus menggantikn posisi mendiang Tuan Oh sebagai pemimpin perusahaan. Dia adalah pewaris tunggal OH'scorp. Maka tanggung jawab atas kelangsungan perusahaan adalah sepenunhya milik Sehun.
Sehun mengemudikan mobil hitamnya menuju rumah Sunji, bidadarinya. Melaju cepat sebab ia tak mampu menahan gejolak di dada. Cepat, seakan ia ingin mengalahkan waktu yang berjalan, dan membuat rekornya sendiri.
Sesampainya di sana, tepat di depan rumah yang dicinta, satu hembusan nafas Sehun lepaskan untuk mencari ketenangan hatinya. Sebab jantungnya berdegup lebih cepat dari biasa. Seperti remaja yang dimabuk asmara, meskipun usia Sehun hampir mendekati dua puluh lima.
Ia meraih buket bunga di kursi penumpang di sampingnya. Wangi sang ratu bunga ini memang tidak pernah memiliki cacat. Pantas saja gelarnya sebagai simbol cinta tidak pernah tergantikan.
Saat tiba di depan pintu rumah milik kekasihnya, Sehun melihat ada sesuatu yang sedikit berbeda dari terakhir kalinya berkunjung. Sampah daun berguguran memenuhi halaman. Pohon persik yang selalu berbuah setiap kali Sehun berkunjung, kini hanya menyisakan ranting-ranting kering.
Sehun mencoba abai dan memilih mengetuk pintu. Namun pintu terbuka dengan sendirinya. Ternyata pintunya tidak dikunci dan terbuka begitu saja saat Sehun mengetuknya.
Terkejut adalah ekspresi Sehun saat masuk ke rumah itu. Rumah itu terlihat berantakan. Mata pria itu tertuju pada kepingan vas bunga yang pecah di lantai. Bunganya masih segar. Berarti ada sesuatu yang telah terjadi.
Ia masa bodoh dianggap tidak sopan, tapi Sehun benar-benar penasaran. Apa lagi berkali-kali ia memanggil Sunji namun tidak ada balasan.
Menaiki tangga menuju lantai dua yang merupakan kamar milik Sunji. Namun nihil eksistensi dari perempuan itu. Sehun pun beralih pada ruangan yang lain.
"Sunji, di mana kau?"
Masih tidak ada jawaban.
Dari sekian pintu, hanya satu pintu yang belum diperiksa Sehun. Yaitu pintu kamar tamu yang berada di pojok. Dengan perlahan ia memegang knop pintu itu dan membukanya.
"Sunji ..."
Nafasnya berhenti sejenak. Otaknya mencoba mencerna informasi yang dikirimkan matanya. Sunji terbaring di kasur dengan sebuah belati yang menancap di dadanya. Ditambah lagi perut Sunji yang buncit serta darah yang merembes dari balik gaun tidurnya melewati pahanya. Pandangannya kosong, dengan wajah yang pucat.
Sehun terhuyung melihat kondisi kekasihnya kini. Bunga putih yang dipegangnya terlepas begitu saja dan terjatuh ke lantai. Lututnya lemas seketika. Dunia serasa berhenti beberapa saat.
"Sunji." Ucapnya lirih.
***
Kim Jongin sangat lelah dengan tugas akhir-akhir ini yang harus diselesaikan. Banyak sekali kasus yang memangkas durasi tidur Jongin pada malam hari sehingga, ia harus tertidur di pos.
Namun, seseorang telah mengganggu acara tidur Jongin, sehingga ia harus bangun karena teleponnya tak berhenti berdering. Dengan kelopak mata yang berat, ia mengangkat panggilan itu.
"Di sini Opsir Kim." Ucap Jongin sambil mengucek matanya.
Tiba-tiba ia tersentak mendengar pernyataan orang di seberang sana.
"Apa?! Kirim lokasinya sekarang. Aku segera datang bersama tim ku."
***
Sehun bahkan tidak bisa menangis melihat kondisi Sunji. Ekspresinya bahkan mengalahkan gunung es yang dingin. Terlalu bingung untuk memahami semua ini. Gadis yang menjadi alasannya pulang, justru pergi meninggalkannya.
Sesampainya di kantor polisi, Jongin langsung membawa Sehun ke ruangannya. Tatapan kosong mendominasi mata Sehun. Sunji, orang yang sangat dicintainya, bahkan gadis itu sudah berjanji akan menikah dengan Sehun, harus melakukan hal segila ini. Siapa sebenarnya yang bersalah di sini?
Jongin tidak tega harus melihat kondisi sahabatnya. Pria albino itu hanya diam dengan wajahnya yang terkesan biasa saja. Seolah ia sudah terbiasa kehilangan. Ia berjanji akan membantu Sehun menemukan pelaku itu. Bertekad bulat untuk tidak meninggalkan Sehun.
"Hun," Belum selesai ia berbicara, Sehun menyelanya cepat. Masih dengan ekspresinya yang datar.
"Tiga tahun kupertahankan hubungan ini dengan berharap jika aku dan dia bisa hidup bersama selamanya. Bahkan aku telah meletakkan seluruh hidupku padanya. Kenapa takdir begitu jahat padaku?"
Intonasinya melemah. Sunji, wanita itu sudah menjadi bagian dalam hidup Sehun. Dia ingin menghabiskan sisa hidupnya bersama wanita itu, namun nasi sudah menjadi bubur. Apa daya raga merubah nasib. Semuanya sudah berakhir. Sehun merasa ia hanyalah seonggok daging hidup tanpa nyawa. Seketika kehilangan gairah untuk hidup. Orang-orang yang dicintainya menghilang satu persatu. Bahkan harapan terakhirnya juga pergi meninggalkannya seorang diri.
Sehun sudah terbiasa kehilangan.
Jongin menatap iba sahabat karibnya itu. Nampak jelas guratan lelah di wajah tegasnya. Berkali-kali pria itu menyalahkan dirinya sendiri, menyalahkan atas kebodohannya.
"Seharusnya aku tidak pergi ke Swiss. Seharusnya aku berada di sisinya terus..."
"Hun," Itu suara Jongin.
"Semua ini tidak akan terjadi kalau aku tetap tinggal. Dia pasti masih hidup sekarang. Aku bodoh."
"Hun! Berhentilah jadi pengecut. Seharusnya, segala kejadian ini membuatmu kuat. Kau itu seorang pria. Di mana ketangguhanmu HUH?!"
Jongin geram dengan sikap Sehun. Ia mencengkeram kerah baju pria putih itu. Berusaha menyadarkannya. Sebab Oh Sehun tak berbeda dengan orang gila saat ini.
"Kau pikir semua ini mudah? Kehilangan orang yang kau sayangi berturut-turut itu tidak semudah menjentikkan jari. Tiga orang. Tiga orang, Jong. Siapa yang tidak gila dengan hal itu."
Pria itu tertawa. Menertawakan diri sendiri yang tidak becus melindungi orang-orang yang dicinta. Menertawakan nasib yang mempermainkan hidupnya.
"Semua orang pasti akan mengalami itu, hun. Aku akan hadir jika kau membutuhkanku. Kawan, aku akan membantumu. Bukankah itu gunanya sahabat?"
Jongin mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya kepada Sehun. Mengajaknya tos. Namun, ekspresi sang kawan tidak mendukung niat baik Jongin. Ekspresi datarnya menjadi balasan tos Jongin.
"Andai itu semudah yang kau katakan."
Oh Sehun memilih untuk pergi. Menyendiri adalah satu hal yang ia butuhkan saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge of Oh Sehun
Fanfiction"Luka yang dibuat olehnya tidak akan bisa sembuh semudah membalikkan telapak tangan. Kau yang harus membayar luka itu." - Oh Sehun. Ketika dendam merubah hati nurani Oh Sehun.