#1

265 2 0
                                    

Aku adalah pemuda berbadan yang jauh dari kata gemuk, kurus pun tidak, dengan kulit sawo matang berdaki disetiap inchi, mataku tajam-tajam melihat deretan sepatu kulit yang tersusun berbanjar diatas rak bertingkat. Di depan toko sepatu sebelah selatan persimpangan jalan aku hanya termangu mengamati hilir mudik orang-orang ditoko itu, baru saja aku melihat seorang bapak setengah baya berbaju lusuh sepaket dengan caping beserta sandal jepitnya yang sedang meninggalkan toko sembari tersenyum lengkap dengan lesung pipinya, ku lirik kantong plastik yang dia bawa sepertinya itu sepatu yang baru saja dia beli, ternyata bapak itu membeli sepatu sekolah. Mungkin itu buat anaknya atau bisa jadi cucunya yang baru saja masuk sekolah atau bisa jadi jika sudah bersekolah sepatu yang lama robek bagian jempol kaki akibat bermain sepak bola. Eh ternyata becak dibelakangku milik bapak tadi. Oh anak atau cucunya yang bakal memakai sepatu itu mustinya mengganjar dengan prestasi yang dapat membayar keringatnya yang mungkin dua atau tiga hari diperas hanya untuk sepasang sepatu. Yah setidaknya orang tua berdoa menurut klasifikasi sosialnya sendiri, terkadang seorang tukang becak malu bila berdoa supaya anaknya jadi insinyur, yah minimal jadi bos becak lah. Kata tetanggaku supaya berdoamu khusyuk berdoalah dengan takzim mata tertutup, tapi sebelum dan sesudah aku berdoa kan mataku terbuka, setidaknya aku hidup apa yang didepan mata bukan yang diangan-angan. Orang tua lihat anaknya bisa tahu berapa jumlah pintu ditambah jumlah jendela dirumahnya saja sudah seneng, apalagi kalau dengar anaknya belajar bahasa inggris "Wot is ndis, ndisis e door en ndisis e window" wah senengnya bukan main, lebih-lebih bila tetangganya memuji "wah anaknya si Leman pinter tenan e". Yah sebagai anak yang disekolahkan dengan penuh asa setidaknya kita pernah membuat bapak ibu kita mendengar pujian dari wali kelas atau setidaknya dari tetangga, syukur-syukur nilai dirapot tidak ada yang merah, lebih-lebih kolom absensi kita tidak ada yang alpha akibat mbolos diwarung bermain video game.

Disudut yang lain aku melihat sepasang manusia yang sedang memilih sepatu hak tinggi, yang cewek memakai rok span abu-abu khas sma dengan atasan kaos oblong berwarna merah jambu senada dengan suasana hatinya yang rupanya sudah dipersiapkan dari rumah, si cowok berkemeja panjang rapi dengan kaki dibalut pantofel yang mengkilat, berjambang yang dipotong tipis lengkap dengan kumis tipisnya, rambutnya disisir kebelakang dibalut minyak urang-aring. Uniknya setelah ku taksir ku hitung dan ku timbang matang-matang berdasarkan apa yang aku lihat dan aku rasa, selisih umur mereka terpaut lumayan, ah mungkin itu pamannya alias adik dari ayahnya yang hendak menghadiahi keponakannya, bisa jadi orang itu teman ayah atau ibunya yang sudah dianggapnya paman sendiri, yang pasti tidak mungkin bila orang itu ayah dari temannya yang sudah dianggapnya paman sendiri. Yah mungkin ini namanya mendramatisir kehidupan, atau bahasa kekiniannya mensinetronisasikan. Apapun istilahnya, masa iya seorang anak sma minta dan diberi hadiah sepatu hak tinggi oleh pamannya (dari latar belakang apapun). Eh bisa jadi anak itu sedang menggeluti dunia tarik suara, dimana penonton tidak hanya menikmati suara yang merdu tapi juga penampilan yang menarik lengkap dengan kemolekan tubuhnya.

Aku rasa orang-orang yang ada ditoko ini hanya mengikuti apa yang lingkungannya kehendaki, nyatanya kakiku tidak pernah aku balut dengan sepatu kulit yang terkesan mahal, walaupun kakiku sering terluka akibat terkena kerikil maupun benda tajam lainnya, tapi aku rasa sudah cukup dengan beralas sandal japit karet, yah walaupun aku harus mengganti pengaitnya setiap dua bulan sekali, dan menggantinya setiap satu semester sekali.

Membidik SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang