Jarum Akupuntur

63 1 2
                                    


Tak terasa hawa dingin perlahan menusuk pori-poriku, semacam tusukan jarum akupuntur sinshe Cina. Ku tengok jam digital sebelah lengan kiriku tak terasa pukul satu dini hari, gelak tawa meja sebelah barat daya dari mejaku ini membuat bising seisi kafe, ku tengok yang meja-meja yang lain ternyata sudah tinggal lingkaran-lingkaran bekas pantat cangkir kopi yang perlahan dirubung koloni semut. Satu per satu jongos-jongos dikafe bergiliran menguas, seperti mengumpat pengunjung-pengunjung yang tak kunjung pulang. Yah tujuh dari sepuluh jongos dikafe ini masih sekolah di berbagai sekolah tinggi dikota ini, berbagai latar belakang warna membuatnya menguras otak sekalian otot siang sekalian malam, mungkin hanya fajar yang tertinggal. Semakin larut semakin pula keras tawanya, samar-samar ku dengar ada yang janggal. Ku geret daun telinga ini selebar mungkin tanpa memutar sederejatpun leherku, perlahan ku cermati ku pilah satu-satu dari berbagai suara tawa. Dan yah tak salah lagi, ada tawa gadis didalamnya, namun dalam jumlah berapa aku belum menghitungnya, hanya baru saja menemukan jenis gender dari memilah satu persatu suara tawa. Aku perhatikan lagi dari berbagai tawa yang teraduk jadi satu adonan kebahagiaan, dan tak lain jika jumlah sumber suara tawa wanita itu hanyala satu. Namun siapa pula semalam ini bersama segerembol serigala dengan gonggongannya? Kan jelas kafe ini cukup jauh dari pusat kota, pun daerah ini bukanlah kota besar metropolitan apalagi megapolitan, hanya kota kecil yang cukup terkenal karena produk kreteknya. Pun kafe ini berada masih didalam lingkup desa yang cukup jauh dengan hiruk pikuk kelelawar dan lampu-lampu jalan. Dengan sedikit agak risih juga aku bayar kopiku dan langsung pergi tanpa menengok meja disebelah barat daya yang posisinya kupunggungi.

"besok kan libur" ucap kawanku sedikit keheranan.

"hoam, udah cukup ngantuk aku, udah cepat ayo naik" pura-pura aku menguap.

"eh tuggu lah, kesambet setan dari mana anak ini" gergap kawanku keheranan.

"udah gak usah banyak mulut" tutupku.

Membidik SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang