Day 1.
Hari itu adalah hari Minggu. Awan, seperti biasa, selalu mengurung diri di dalam kamar. Komputer menyala, anak itu duduk sambil menatap layar dengan pandangan kosong. Entah apa yang ia pikirkan. Sejak pagi tadi, Awan terus-terusan menelusuri timeline-nya.
Tanpa tujuan, lelaki itu menggerakan mouse. Entah apa yang ia cari, bahkan Awan pun tak yakin. Hingga tidak lama, ketukan datang dari pintu masuk kamarnya. Suara seorang perempuan terdengar dari balik sana.
"Awan, buka pintunya. Mama mau ngomong."
Sang sopran adalah ibunda dari Awan sendiri. Perempuan itu mengetuk sekali lagi ketika Awan masih sibuk dengan komputernya. Hingga tidak lama, karena tidak sabar, wanita itu membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan gelap. Di sana, sang ibu menemukan Awan sedang menatap satu-satunya cahaya di kamar tersebut, yaitu komputernya sendiri.
"Ih kamu mainan komputer gelap-gelap gini. Nanti sakit itu mata."
Perempuan itu mengoceh. Tanpa memerdulikan anaknya, sang ibu melangkah melewati Awan menuju jendela yang tertutup oleh kain gorden. Dan ketika dibuka, retina Awan terasa seperti dibakar. Pemuda yang selalu menempati ruangan gelap itu langsung menutup mata sambil berteriak bak vampire dikala dibakar matahari.
"Mah, tutup!"
Dia meronta, tetapi sang bunda tidak mendengarkan.
"Sakit mataku!"
"Salah sendiri main di gelap-gelapan," tutur ibunya. "Mama mau ngomong sama kamu. Pause dulu itu game-nya."
"Gabisa, ma. Game online gabisa di-pause," balas Awan.
"Tapi tagihan internetmu bisa di-pause."
Seketika hening. Satu kalimat dari sang ibu berhasil meruntuhkan kengototan sang Awan. Dia terdiam cukup lama, menatap muka ibunda yang tersenyum dengan aura mengerikan.
"Damn you good, mom."
"Love you too, son."
Setelah kemenangan yang memuaskan, akhirnya ibu Awan mendapatkan perhatian Awan. Beliau duduk di dekat Awan. Entah kenapa, Awan merasa situasinya terasa seperti sedikit serius. Walau begitu, karena sifatnya, Awan ragu kalau Awan bisa mengikuti keseriusan tersebut.
"Gini, Wan."
Sang ibu membuka mulut. Kata per kata didengarkan dengan kegugupan.
"Jadi anaknya tetangga sebelah kan abis kecelakaan. Dan kebetulan dia itu temen kamu-"
Tiba-tiba saja Awan langsung menghentikan ibunya.
"Temen? Yang mana?"
"Itu lho, yang perempuan. Yang kacamataan. Kan kalian satu kelas."
"Uh ...."
Sejenak Awan berusaha mengingat. Seorang seperti Awan tak pernah memiliki banyak teman. Apakah mungkin ibunya itu sedang mengejek Awan secara tidak langsung? Pikiran seperti itu langsung membanjiri kepalanya.
"Halah, yang namanya Dewi."
"De ... wi?"
Otak sedang memproses, Awan mencoba mengingat.
"Oh yang biasanya suka senyum itu?"
"Iya, yang itu."
"Lho dia kecelakaan?"
"Iya."
Kemudian diam sebentar. Awan menatap ibundanya dengan bingung. Sejak awal, apa hubungannya dengan dia?
YOU ARE READING
Romansa Dan Difabel
RomanceKisah ini berlangsung setahun yang lalu. Ini adalah cerita mengenai Awan yang terbiasa sendiri dan harus terpaksa membantu teman sekelasnya. Awalnya, Awan terlihat enggan, tapi akhirnya Awan pun terlena dan jatuh cinta kepada gadis di atas kursi rod...