Part 1: Kantin

32 6 0
                                    


Kantin Ningtyas, begitu kata sepanduk yang menggantung. Tempat dimana anak-anak SMA Laskar Garuda mengisi perut kosong mereka atau hanya sekedar nongkrong nongkrong ketika jam istirahat. Selain enak buat nongkrong, Kantin Ningtyas ini juga tempat yang cocok buat ngutang. Setidaknya itu menurut pendapat Andrew, raja ngutang.

Seperti halnya siang ini, ia sudah mendaftarkan harga bakso dan teh manis ke dalam catatan khusus utangnya.

"Eh, Tong. Nanti jangan lupa bayar ya!" tukas Tyas, si empunya kantin dengan tatapan menikam.

Andrew cengengesan sambil mengambil pesanannya "Iyha, gampang."

Di bangku pojok paling belakang kantin itu beberapa temannya sudah berkumpul. Andrew dengan santainya menyelip-nyelipkan pantatnya menggeser tempat duduk diantara Faiz dan Mihin. Kontan Faiz yang tengah menyuapkan sesendok soto ke mulutnya tersenggol hingga membuat sotonya jatuh ke meja. Faiz terdiam sejenak, meratapi apa yang baru menimpa sotonya.

"Iz, lo kenapa?" tanya Andrew sambil menambahkan sambal ke dalam mangkuk baksonya.

"Kenapa-kenapa pala lu peang. Ini sotokan jadi bubazir"

Andrew tersenyum semanis mungkit, lalu menyubit gemas pipi Faiz. "Ukh...Kacian banget cih, kamu ini"

Faiz menampik tangan Andrew, melanjutkan makannya.

Brakkk!!!

Dadang tiba-tiba datang dengan menggebrak meja. Membuat semua tersentak sambil berteriak karena kaget terkecuali Faiz ia malah terdiam. Air matanya hampir menetes, kala soto yang hampir mendarat di mulutnya itu tumpah sia-sia karena dirinya yang berjengkit kaget.

Dengan penuh kasih sayang Andrew menepuk-nepuk pelan pundak Faiz, menghiburnya. Seraya membisikan kata 'sabar' pada teman unyunya itu.

"Ada apa sih, datang-datang langsung gebrak meja. Bikin kaget aja" pungkas Mihin kesal.

"Iya, elo itu ngajak berantem ya? Liat ini sotokan jadi bubazir!" pekik Faiz berkoar-koar tak terima dengan nasib sotonya.

"Alah, itu masalah gampang" pungkas Dadang santainya. "Hari ini gue yang bakal teraktir kalian, semua yang kalian minta di kantin Ningtyas ini gue yang bayar" Dadang menepuk-nepuk dadanya belagu, seakan dia adalah rajanya para maniak.

Sontak Mihin, Faiz membulatkan matanya tak percaya tak terkecuali Andrew. Itu berarti, ia akan absen ngutang ke Mbak Tyas.

"Eh, tunggu dulu. Emang memperingati apa?, setahu gue ulang tahun lo masih lama. deh" Mihin bersedekap menatap Dadang penuh curiga.

Dadang melebarkan senyum tiga jarinya "Hari ini gue mau nembak cewek"

Krik...krik,,,krik

Krik...krik...

Krik...

Dadang memandang temannya bergantian dengan heran, perlahan-lahan senyumnya luntur "Kok lo semua enggak kasih gue selamat?"

"Eh, sarap!" Dadang tersentak "Kan lo masih mau nembak, kenapa PJ-nya sekarang?" tanya Andrew sarkasme. Tak habis pikir dengan pemikiran kawannya itu. Gesrek kali, ya otaknya? Batin Andrew.

Dadang berdehem, menyapu jambulnya dengan jari. Menatap teman-teman di depannya bergantian, dengan penuh kepercayaan diri ia berkata "Karena gue yakin, seyakin-yakinnya. Gue bakal diterima sama doi"

"Emang siapa yang mau lo tembak?" tanya Mihin kembali bersuara.

Belum sampai mulutnya terbuka, mata Dadang terbuka lebar. Cewek pujaannya baru saja memasuki kantin Ningtyas.

Andrew, Mihin dan Faiz yang tak kunjung mendapat jawaban dari Dadang mengikuti arah pandang Dadang .

"Itu siapa?" tanya Andrew menajamkan penglihatannya yang enggak plus dan enggak minus alias normal-normal saja kecuali otaknya yang agak sengklek.

"Ika, cewek yang mau gue tembak"

"Apa?" teriak mereka bersamaan hampir mencopotkan jantung Dadang . Saking kerasnya.

Melihat cewek pujaan yang semakin mendekat Dadang merapikan kemeja seragamnya. Ia sapu jambul kebesarannya dengan jemari miliknya. Bersiap mengutarakan perasaannya. Jantungnya mulai melakukan aksi lari marathonnya.

Deg deg ser, begitu sekiranya irama jatung Dadang.

Dengan langkah pasti Dadang menghampiri Ika. Meninggalkan teman-temannya yang masih melongo.

"Boleh, minta waktunya sebentar" Cegat Dadang dengan sok cool. Sedang di belakang Andrew, Mihin, dan Faiz berusaha menahan muntah karena tidak kuat dengan gaya sok Dadang .

Ika hanya diam menatap Dadang malas. Sementara Dara teman karibnya, terlihat sangat terganggu dengan kehadiran Dadang .

"Eh, bisa minggir nggak? Kita mau lewat" tukas Dara membuat Dadang menatapnya tajam.

"Gue tu enggak punya urusan sama lo, jadi diem atau gue suruh lo pergi" sambar Dadang sengit .

Dara mengerucutkan mulutnya. Mendengar gelak tawa, Dara menoleh mencari sumber suara saat ia menemukan sumbernya dan ternyata itu adalah Faiz. Seketika ia menarik lengan Ika untuk segera beranjak namun terhenti oleh kaki Dadang yang menghalangi jalan mereka.

Ika meutar bola matanya malas "Elo bisa nyingkir nggak?" kini suara Ika keluar. Dadang tersenyum, akhirnya ia bisa mendengar suara cewek pujaannya. Ika maju selangkah, menatap tajam Dadang . Dadang sedikit berkerut mendapat tatapan Ika namun disisi lain ia senang karena bisa langsung bertatapan dengan Ika."Gue bilang menyingkir atau elo bakal gue lempar keluar" ancam Ika beraurakan kegelapan.

Di belakang, Andrew dan dua temannya diam melongo. Baru kali ini mereka dibuat bergidik ngeri melihat galaknya cewek.

Geram karena Dadang yang tak juga memberi jalan, Ika langsung menerobos disusul Dara meninggalkan Dadang yang terpatung dengan mulut terbuka.

Untuk sejenak Dadang lupa caranya bernafas, lantas berbalik menatap teman-temannya yang masih terdiam. Mungkin kejadian barusan juga mengguncang jiwa mereka.

"Mungkin dia lagi dapet, Dang." Pungkas lirih Faiz sambil menepuk pundak Dadang. Andrew dan Mihin mengangguk, sepaham.

***

Di dalam kelas Andrew hadir, namun pikirannya telah jauh dari raganya. Ia masih terbayang akan kejadian Dadang beberapa hari yang lalu. Sungguh tragis, belum menyatakan cinta tapi sudah ditolak. Ya, meski tidak secara terang-terangan. Pandangannya beralih pada Dadang

Pria itu tengah memperhatikan pelajaran dengan seksama seakan dia telah melupakan angin lalu. Tidak, Andrew mengenal sahabatnya itu. Ia tidak pernah sekalipun konsen terhadap pelajaran, ia hanya akan konsen pada pelajaran jika ia memiliki masalah atau dilema hati. Mungkin, kejadian beberapa hari lalu terlalu mengguncang jiwanya yang notabene jomblo sejati.

Andrew mendesah pelan sembari mengacak rambut belakangnya, bukan karena meratapi nasib sahabatnya namun karena rumus matematika yang panjangnya mengalahkan panjang rel kereta api.

"Andrew, kamu maju ke depan kerjakan soal nomor 2!" panggil Pak Purnomo serak membuat Andrew hanya bisa pasrah dengan menelan ludah.

Pelajaran Matematika adalah pelajaran terakhir bagi kelas Andrew hari ini, kelas XI-IPS1.

Pikirannya masih terbayang pada kejadian Dadang. Bagaimana tidak selalu terbayang, beberapa hari ini dia selalu mempergoki Dadang merenung bahkan sempat ia melihat Dadang nangis sampai sesenggukan.

Andrew berdecik sambil menggelengkan kepalanya "Ck, dasar cowok berhati Mermaid"

Langkah Andrew terhenti, matanya menangkap sesosok penampakan di bawah pohon mangga.

Glek.

Andrew menelan salivanya. Ia paling takut sama bau-bau horror. Seketika kedua kakinya lemas. Dengan keberanian yang dipaksakan Andrew melangkahkan kaki loyonya. Mendekati sesosok itu seraya membaca ayat kursi. Harap-harap sosok itu hilang. Kaki dan tangannya sudah gemetaran saking takutnya. Ketika jaraknya tinggal beberapa meter dari sang sosok.

Matanya melebar.

S!4J8T

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kecoak Sinting !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang