Suasana di stasiun kota Jakarta siang itu cukup ramai. Suara nyanyian kereta, suara seseorang yang berbicara di mikrofon untuk mengumumkan keberangkatan atau datangnya kereta selanjutnya, suara percakapan, bahkan suara derap langkah kaki bersatu menjadi kesatuan musik yang indah di telinga Yoga.
Itu artinya, Yoga sudah siap membuka lembaran barunya di Jakarta, siap mengisi moment-moment yang akan menghiasi hari-harinya selama di sini.
Yoga berusaha menghindar dari kerumunan orang-orang yang menghalangi jalannya, berjalan sambil meransel setengah tasnya di atas pundak sebelah kiri. Sedangkan sebelah tangannya yang kosong dipergunakan untuk mengotak-atik ponsel dan menghubungi teman SMP yang akan menjemputnya di stasiun.
"Pokoknya gua pake jaket hitem, pake topi hitem, pake celana hitem, pake sandal hitam. Gua lagi nunggu lu di parkiran, mobil gua warnanya juga hitem," ujar temannya di seberang sana.
Yoga sempat melirik ke penjuru arah ketika ia sampai di luar stasiun, dan hanya ada satu orang yang memakai pakaian serba hitam. Untunglah, kulit temannya itu putih, kalau tidak, entahlah, mungkin hanya giginya saja yang terlihat.
"Bima?" Yoga mengingat wajah teman SMP nya dengan samar-samar. Karena terakhir kali mereka bertemu itu kelas tiga SMP. Setelahnya, Bima memutuskan untuk pindah SMA ke Jakarta sambil-sambilan kerja.
"Eits, tunggu dulu....." Bima mengangkat kelima jarinya, bahkan sebelum Yoga ingin bersalaman dengannya. "Ini Yoga yang dulu suka nendang bola kenceng-kenceng, Sampe-sampe, tuh bola kena jendela rumahnya Pak RT, dan BU RT jadi marah-marah...."
Yoga tertawa sambil menganggukan kepala. "Dan kita hampir dilempar pake sandal...."
"Hahaha, iya, bener." Bima seolah bernostalgia. "Apa kabar, bro? Selamat datang di Jakarta, di Kota metropolitan! Di kota yang lebih banyak debu daripada udara segernya."
Yoga tertawa lagi, sejak dulu, sikap temannya nggak pernah berubah. Mereka melalukan adegan setengah pelukan sambil menepuk punggung.
"Sini gua bawain tas lu, pasti lu cape banget kan? Ayo, kita langsung cabut aja." Bima mengambil ransel Yoga.
Mobil sedan hitam milik Bima melesak jauh meninggalkan stasiun. Melewati jalan-jalan yang dipenuhi oleh gedung pencakar langit. Rata-rata gedung itu adalah perkantoran, hotel dan apartemen.
"Kalau sekarang sih, gua masih sibuk kerja, jadi supir bos besar," Bima menyeringai hambar sambil memperbaiki letak kacamata oakley nya.
"Jadi ini bukan mobil lo?" Tanya Yoga kaget.
"Ya bukanlah." Bima memukul stir kemudi. "Gua perantauan di Jakarta, gimana mungkin gua bisa beli mobil semahal ini. Nih mobil punya bos gua. Mumpung hari ini dia masih sibuk di kantor, makanya gua sempet-sempetin jemput elu."
"Tapi gaya lo oke juga ya?" Yoga memperhatikan penampilan Bima dari atas kepala, stelan bajunya bermerk semua. Jadi nggak ada yang menyangka kalau dia cuma supir.
"Ini namanya, setelan baju gebet cewek cantik." Temannya itu tertawa, Yoga juga ikut tertawa. "Jadi lo ambil jurusan hukum, bro?"
"Iya, gue dapat beasiswa kuliah bagian hukum."
"Lo dapet beasiswa kuliah di Jakarta? Hebat juga lo. Nggak salah kalau lo selalu juara kelas dari SMP. Tapi ngomong-ngomong, bukannya lo minat banget ya, sama bidang olahraga? Gue pikir, lo bakalan jadi atlit sepakbola."
Yoga tertawa sekilas. "Sempet sih, kepikiran mau ambil kuliah bagian pendidikan olahraga. Tapi setelah gua pikir-pikir, kuliah hukum lebih menjanjikan."
Akhirnya mobil Bima sampai di sebuah pemukiman warga. Bima hanya memarkirkan mobilnya di lapangan, karena masuk ke dalam gang rumahya itu sangat kecil. Lalu Bima membawa Yoga menuju rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADA-NADA HUJAN
Teen Fiction"Saya anak hukum, saya termasuk orang yang nggak mudah percaya dengan orang yang nggak saya kenal. Termasuk, kamu." --Yoga "Gue ini anak psikolog. Tapi kenapa sih, di antara semua orang yang gue kenal, cuma elo yang nggak bisa gue baca pikirannya!"...