"Gila, kalau setiap hari dikasih tugas kayak gini, gue pindah ke kampung!" Silvi menggerutu pelan sambil mencoret-coret buku catatannya.
"Gue juga mikir gitu." Sahut Gia setuju.
"Kalau gue enggak," Putih menaruh pensilnya, kemudian melipat tangannya di atas meja dengan senyum yang merekah. "Soalnya kalau gue pindah, gue nggak bisa liat Kak Gilang lagi."
"Kenal lo aja dia enggak," Gia mendengus sambil memutar bola matanya. "Lagian kalau suka sama orang tuh yang bener dong! Yang kenal sama lo aja, jangan yang nggak kenal tapi berharapnya jadian."
"Kalau cinta punya kaki dan perasaan adalah jalanan yang berlubang, gue juga nggak mau jatuh kedalam lubangnya dia."
"Ah, nggak nyambung." Silvi mendesis.
"Nyambung kok. Coba kalian pikir kalau cinta itu tau dimana dia akan jatuh, pasti jatuhnya nggak enak, nggak ada rasanya. Jadi, gue senyum-senyum aja pas cinta sama Kak Gilang hampir dua tahun lebih."
Gia terkekeh sambil menggelengkan kepalanya, tak habis pikir. Sementara itu, Silvi diam untuk membenarkan apa yang diucapkan Putih barusan. Karena mereka sebenarnya sama, sama-sama menjelma menjadi secret admirer.
"Ehem,"
Ketiganya serempak menoleh ke asal suara dan menadapati Vanno yang mengambil buku di rak samping mereka.
Pada dasarnya, perpustakaan SMA Cendrawasih sama seperti sekolah-sekolah lain. Suasananya sunyi, hanya ada beberapa orang yang duduk di sana sambil membaca buku, mengerjakan tugas atau hanya sekedar menemani temannya sambil memainkan ponsel. Untung saja penjaga perpustakaannya sedang tidur, jadi tidak masalah jika mereka berbincang yang biasanya akan langsung mendapat teguran.
"Pada ngomongin apaan?" tanya Vanno ketika sudah duduk di samping Putih. "Ngomongin gue, ya?"
"Enteng banget tuh rahang." Silvi yang menunduk untuk melanjutkan tugasnya tersenyum kecil.
Gia manggut-manggut. "Btw Van, lo ngapain di sini?"
"Kalau ke perpus tuh kira-kira ngapain, ya?" Vanno tersenyum tengil.
"Mau berak." Gia menjawab sarkastik. Menurutnya, Vanno sangat menyebalkan karena sering menjawab pertanyaan dengan pertanyaan juga.
Tanpa memedulikan Gia, Vanno menatap Putih yang menatap ponselnya dan tiba-tiba terdiam dengan dahi yang mengerut tipis serta mata yang tidak berkedip sama sekali; ciri khas Putih ketika ia sedang berpikir keras.
"Lo kenapa?" tanya Vanno.
Putih menggeleng. "Aneh," gumamnya.
"Aneh apanya?" Gia dan Silvi langsung menaruh perhatian pada Putih.
"Teman kelas kita main basket sama kakak kelas,"
"Udah biasa kali." kata Gia jengah.
"Tapi yang mereka lawan kelasnya Kak Gilang," Kata Putih sambil menggigit bibirnya dengan cemas. Ia menatap teman-temannya sesaat sebelum kembali menatap ponselnya lagi. "Kalau kalah gimana?"
Hening.
"Kok kalian diem?" tanya Putih heran.
"Ya nggak gimana-gimana, lah." Jawab Vanno setelah ia menghela napas dan menyandarkan tubuhnya. "Mereka main biasa, bukan tanding."
Putih mengangguk, lalu berdiri setelah membereskan barang-barangnya.
"Lah, lo mau kemana, Put?"
Putih yang sudah berjalan beberapa meter dari mereka menjawab, "Mau kelapangan liat orang main basket!"
"Bilang aja mau liatin Gilang." gumam Gia saat Putih tak terlihat lagi.