Chapter 1 (1)

82 7 2
                                    

Treeennnng! Treeennnng!

Suara alarm yang bising itu akhirnya membangunkanku. Aku membuka mata dan mencoba mengumpulkan kesadaran.

Tak!

Aku menekan tombol alarm dengan kasar. Benda persegi itu akhirnya berhenti berbunyi. Pukul empat lewat sepuluh. Sepertinya masih terlalu pagi. Tapi aku harus segera bangun.

Aku menyingkirkan selimut yang membalut tubuh ini. Dan, rasanya tubuhku seperti remuk. Kurasa ini semua akibat perbuatan si brengsek itu. Aku tidak mengerti, mengapa dia dan teman-temannya senang sekali menyiksaku.

Memangnya aku salah apa?

Remaja sepertiku kenapa harus menghadapi masalah seperti ini?

Dengan bantuan pegangan pada ranjang, aku berusaha untuk membuat tubuhku berdiri. Tubuhku yang sakit kuusahakan bisa bergerak menuju kamar mandi. Aku harus segera berangkat. Jika tidak, aku harus bertemu dengan orang-orang menyebalkan di dalam rumah ini.

Akhirnya aku berhasil berada di dalam kamar mandi. Membuka kain yang membalut tubuhku satu-persatu. Kulihat diriku di depan cermin wastafel. Kulit wajah yang pucat, membuatku terlihat semakin suram. Ditambah tubuh yang dipenuhi lembam karena pembulian yang setiap hari terjadi padaku. Aku merasa benar-benar menyedihkan.

Kunyalakan shower yang ada di dalam kamar mandi ini. Mencoba menikmati dinginnya air dipagi buta. Berharap semua bebanku bisa terbawa hanyut oleh air dingin ini.

***

Setelah selesai mandi, aku langsung menuruni tangga dengan hati-hati. Seberusaha mungkin tidak menimbulkan suara bising agar orang-orang di rumah ini tidak bangun. Namun aku salah. Mereka bangun lebih cepat dari yang kukira. Yang benar saja, padahal ini baru pukul lima pagi. Terlihat ayahku sedang menyesap kopinya di meja makan, sedangkan ibu sudah mulai memasak di dapur.

"Mau kemana kamu pagi-pagi begini Deni?" Ayah dengan suara dinginnya mulai melakukan introgasi. Matanya tidak langsung menatapku, dia lebih memilih membaca koran yang ada di atas meja.

"Tentu saja ingin pergi sekolah," Ucapku asal.

"Dengan pakaian seperti itu? Dan sepagi ini?"

Aku menatap bajuku. Bodoh! Seharusnya aku langsung memakai seragam.

"Aku harus pergi dulu ke suatu tempat." Aku mencoba mencari alasan dan langsung melongos pergi.

"Tunggu!"

Ayah lagi-lagi menahan langkah kakiku. Ya ampun, sekarang apa?

Haruskah siraman rohani ini ku dengarkan setiap pagi?

"Ayah tidak tahu apa saja yang kamu lakukan di sekolah, tapi sebaiknya jangan suka mencari masalah!"

"Terutama kepada anak wali kota!"

Ayah memperingatkan, walaupun posisinya ada di belakang, tapi insting mengatakan dia saat ini menatap tajam punggungku. Rahangku mengeras, lalu aku hembuskan napas dengan tenang.

"Iya, baiklah."

Aku melanjutkan langkahku. Sialan. Orang tua ini masih saja mengingat kejadian seminggu yang lalu. Aku melewati ibu.

"Deni." Kali ini ibu yang memanggil. Apa lagi kali ini?

"Iya, kenapa?" Aku menyahut dingin.

"Kamu tidak sarapan nak?" Terdengar suara lembut dari ibu, tapi tetap saja terasa menyebalkan.

"Aku akan sarapan di luar."

Aku segera berlalu, tapi lagi-lagi ditahan.

"Tunggu Deni. Bisa tolong berikan ini kepada anak wali kota? Kamu sekelaskan dengannya? Bilang ini sebagai permintaan maaf kamu, ya?"

Ibu menyerahkan bungkusan makanan kesukaan anak wali kota itu. Aku meremas ujung jaketku. Tapi aku benar-benar sedang tidak ingin berdebat saat ini.

"Baiklah." Aku mengambil dengan kasar bungkusan itu lalu segera berjalan keluar dengan cepat. Aku sudah muak ada di rumah ini. Ibu sekilas terlihat hanya menghela napas.

Aku berjalan dengan santai di trotoar, kemudian menatap bungkusan yang diberikan oleh ibuku tadi.

Cih, menyebalkan.

Aku langsung membuang bungkusan itu ke tong sampah. Masa bodo dengan bajingan itu.

Kenapa aku yang harus minta maaf? Dan lagi apa mereka itu buta? Jelas-jelas aku yang jadi korban di sini.

Aku berjalan entah mau kemana, sekolah akan dimulai pukul setengah delapan pagi. Masih ada waktu dua jam untuk berjalan-jalan. Udara terasa sangat dingin, padahal aku sudah mengenakan jaket. Wajar saja sih, aku tinggal di kota dengan produksi hujan paling banyak dunia. Hampir setiap hari yang ada di langit hanyalah awan hitam yang selalu menutupi matahari. Membuat kota ini terasa sangat sejuk dan kelam.

Aku merasakan perutku mulai meronta. Sepertinya aku akan pergi ke toko makanan dulu. Aku lumayan lapar sekarang.

Itu dia, toko roti isi favoritku. Bukan hanya karena jualan mereka yang enak, tapi juga karena ada dia.

Perempuan itu, perempuan yang sangat aku sukai. Terlihat saat ini dia sedang membantu ibu dan ayahnya menyiapkan toko roti isi milik keluarganya.

Aku segera menghampirinya dan menyapa.

"Apa sudah buka?" Aku langsung menghampiri dia yang sedang membersihkan meja pelanggan. Dia menyambutku dengan senyum ramahnya.

"Deni? Kamu pagi sekali datangnya. Kami akan buka sebentar lagi, ini aku sedang beres-beres sebentar."

Jessy. Nama perempuan yang ada di depanku saat ini.

"Mau pesan apa?"

Kemudian setelah meja itu bersih. Dia mempersilahkanku duduk. Aku memesan roti isi daging kesukaanku. Dia tersenyum sambil mencatat pesananku dan masuk ke dalam dapur.

Aku lebih memilih duduk di teras, karena ingin menikmati matahari terbit. Walaupun, saat ini langit dipenuhi awan hitam. Jessy datang dengan dua roti isi daging dengan dua gelas air putih di nampannya.

Dia meletakkan satu roti isi daging dan segelas air putih di dekatku, kemudian dia duduk di kursi sebelah dan kami akhirnya sarapan bersama. Inilah hal yang membuatku suka pergi lebih awal dari rumah.

"Enak?" Dia bertanya sambil memakan roti isinya sendiri. Aku hanya mengangguk.

Pertemanan kami sudah cukup lama. Teman, ya walaupun aku berharap lebih dari itu. Tapi untuk sekarang, bisa sering sarapan bersama dengannya saja sudah cukup.

"Lukamu bagaimana?" Jessy mengambil topik pembicaraan yang sebenarnya tidak ingin aku bahas. Aku hanya tersenyum kecut dan menjawab seadanya.

"Sudah lebih baik. Tenang saja."

Jessy hanya mengangguk mengerti. Sudah pukul enam lewat, aku minta izin kepada Jessy dan orang tuanya untuk berganti baju di dalam toko. Yah, bukan hanya dengan Jessy, tapi aku juga sudah akrab dengan kedua orang tuanya. Menyenangkan berada di tempat mereka, suasana keluarga yang benar-benar aku idamkan.

Setelah selesai berganti baju menjadi seragam sekolah. Jessy juga melakukan hal yang sama. Setengah tujuh pagi akhirnya kami berangkat ke sekolah dengan menaiki bis.

Aku dan Jessy duduk bersebelahan. Tidak ada pembicaraan yang terlalu berarti diantara kami. Kami memilih menyibukkan diri dengan novel yang kami bawa. Aku sendiri membaca novel bergenre aksi. Berbeda denganku, Jessy lebih menyukai novel bergenre romansa. Ya, setidaknya kami memiliki hobi yang sama.

Tanpa sadar, kami sudah sampai di gerbang sekolah kami. Aku dan Jessy berjalan beiringan, dan berpisah di depan gedung sekolah, karena kami ada dijurusan yang berbeda. Aku berjalan ke arah jurusan sains, dan Jessy ke arah jurusan sosial.

Baru sepuluh langkah setelah kami berpisah.

"Yo! Deni! Apa kabar kawan!"

Sialan! Suara itu sangat aku kenali, siapa lagi kalo bukan si anak wali kota itu. Dengan senyum liciknya dia menatapku dari kejauhan.

AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang