Entah kenapa sepertinya guru untuk mata pelajaran pertama agak terlambat. Ini juga salah satu hal yang tidak kusukai dari guru-guru di sekolah ini. Mereka berlaku seenaknya. Ya sudahlah, sebaiknya aku menyibukkan diri dengan novelku.
"Psst."
Hemm?
Sepertinya ada yang berusaha memanggil. Aku membalikkan wajahku ke arah belakang. Benar saja, itu adalah Rangga. Biarku tebak, dia pasti lupa mengerjakan pr nya.
"Apa pr matematikamu sudah selesai? Aku belum mengerjakannya sama sekali," ucapnya memohon kepadaku.
Dasar ceroboh, sudah tahu ada pr matematika bukannya dikerjakan. Aku yakin seratus persen dia pasti tidak mengerjakannya karena terlalu sibuk bermain video game baru yang dia pamerkan padaku waktu itu. Ah dasar bodoh. Sempat ingin kuabaikan, tapi setelah melihat matanya yang penuh pengharapan. Aku hanya mendesah lemah, lalu memberikan buku prku kepadanya. Wajahnya langsung berseri-seri dan langsung menerima buku itu.
"Terima kasih Deni, kau memang penyelamatku!" Dia terlihat sangat sumringah setelah menerima buku pr itu.
"Sebaiknya cepat! Kau tahukan matematika jam pelajaran pertama, dan lagi guru gendut itu tidak suka dengan yang namanya keterlambatan." Mendengar itu, tanpa komentar lagi dia langsung menyalin tugas matematikaku. Lihatlah, tangannya seolah sudah terlatih untuk menyalin jawaban. Tidak mau ambil pusing aku kembali membalikan kepalaku dan fokus pada kelanjutan alur novel yang ada di atas meja.
"Hai, Dekun. Lagi apa?"
Oh ayolah, setidaknya bisakah biarkan aku tenang membaca novel. Jimmy, alias anak wali kota ini dengan tidak tahu dirinya malah duduk di atas mejaku dan mengganggu. Aku hanya mendengus kesal, mencoba tidak peduli dan kembali mengalihkan atensi ke novel. Bukannya menjauh, malah dia merebut novelku.
"Hei! Ayolah Jim! Tidak bisakah satu hari ini saja kau biarkan aku tenang?"
Aku berdiri, murid-murid lain yang awalnya tenang mengalihkan atensi mereka padaku dan ketiga orang yang sedang berdiri di dekat mejaku. Dua teman si brengsek ini hanya cekikikan di belakang sang bos.
"Wouh! Wouh! Santai kawan! Akhir-akhir ini sepertinya kau PMS ya? Seperti wanita saja." Dia malah mengolok, dan diikuti tawa dari mereka bertiga. Sedangkan murid-murid yang lainnya hanya diam. Cih menyebalkan.
"Hei Jim, lihat wajahnya mau nangis tuh!" Roland menunjuk-nunjuk wajahku, diselingi dengan tawanya yang mengejek.
Sumpah aku ingin sekali membogem wajah mereka. Tapi..,
"Hai Dekun! Aku ini tidak suka bikin keributan, jadi santailah sedikit. Kau tahukan aku cuman bercanda?" Jimmy membela diri dengan wajah meledeknya. Aku mengepalkan tangan, wajahku tertunduk menahan amarah.
Tahan! Aku harus menahannya!
"Dari pada itu..." Jimmy berjalan ke belakangku, kemudian merebut buku pr yang sedang di salin oleh Rangga. Apa lagi ini?
"He.. Hei Jim. Tolong kembalikan, aku belum selesai," Rangga memohon kepada Jimmy. Berharap mengembalikan buku pr itu.
Aku hanya menatap prihatin, apa lagi itu salahnya sendiri karena mengejarkan pr di sekolah. Sudah tahu banyak makhluk nista di sini yang suka mengganggu.
"Hoi, pr itu kerjainnya di rumah. Bukan di sekolah. Kalo di sekolah namanya bukan pr lagi, tapi ps." Jimmy tertawa meledek bersama dua temannya. Rangga tertunduk dan masih berusaha meminta buku pr itu kembali.
"Hei, guru kita datang tuh." Roland memperingatkan kedua temannya. Dengan lesu Jimmy melempar buku prku ke udara, dengan sigap aku tangkap buku itu. Sedangkan Rangga terlihat pucat dan ketakutan.
Oh iya, guru gendut yang sedang berdiri di depan kami inikan guru killer. Jika ad yang tidak mengerjakan tugasnya atau ada yang terlambat datang, maka habislah sudah. Aku lebih memilih memfokuskan pandanganku ke depan, takut malah di usir dari kelas kalo ketahuan tidak memperhatikan.
"Ekhem."
Guru gempal dengan rambut longor itu berdehem, kemudian mulai meabsen. Semuanya berjalan biasa saja, sampai kemudian.
"Bagi yang tidak mengerjakan tugas, silahkan ke ruang guru, dan tunggu saya di sana."
Suara dingin itu membuat bulu kuduk muridnya merinding. Aku menggelengkan kepala, syukurnya aku sudah selesai. Tapi, Rangga. Aku menatap sekilas padanya, terlihat sekali wajahnya di penuhi keringat dingin dan tertunduk.
"Sebaiknya jujur saja dari sekarang sebelum saya periksa satu-satu. Kalau sampai saya yang kedapatan, hukumannya akan saya lipat gandakan."
Aku menelan ludahku. Padahal aku saja yang sudah mengerjakan tetap ketakutan, apalagi mereka yang tidak mengerjakan. Aku sejak tadi baru sadar, belum ada satupun yang mengaku belum mengerjakan. Ayolah Rangga, sebaiknya cepat mengaku saja sebelum hukumanmu berlipat ganda.
Sial! Kenapa jadi aku yang mengalami pergulatan batin.
"Bapak hitung. Kalo sampai dalam hitungan ke tiga tidak ada yang mengaku, maka tamat riwayat kalian."
Aku menatap ke arah Rangga, dia masih tertunduk. Wajahnya pucat, dan tangannya bergetar.
"Satu..."
Terlihat Rangga mulai ingin mengangkat tangannya.
"Dua..."
Ayolah cepat bodoh.
"Ti.."
"Saya pak tidak mengerjakan, kemudian tadi Deni memberi contekan pada saya pak."
Seketika suasana jadi hening.
Heh? Tadi dia bilang apa? Si bodoh ini membawa-bawa namaku!
Sialan! Kalau tahu begini tidak akan kubantu dia.
"Deni, Rangga. Silahkan pergi keruangan saya. Sekarang!"
Tanpa diminta dua kali, kami langsung mengikuti intruksi dingin itu. Aku terus saja mengumpat, Rangga bajingan ini. Sumpah demi apapun aku tidak akan pernah membantunya lagi, dia tidak mau dihukum sendirian rupanya.
Aku menatap ke arah Jimmy, terlihat dia menahan tawa di sana. Sialan. Benar-benar sial.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone
Mystery / ThrillerPernahkah kau tahu? Bagaimana rasanya hidup di bumi seorang diri? #Remake Nah jadi ini adalah remake dari cerita "Alone". Kenapa aku remake? Karena aku merasa yang sebelumnya aku tulis masih sangat kurang. Ku harap kalian menikmati ceritanya ^_^