"Yo! Akhirnya Dekun sampai juga ya." Ya, julukan yang dia berikan kepadaku. Entah apa maksudnya aku tidak mengerti. Yang jelas saat ini dia sedang berdiri di hadapanku, bersama dua temannya yang tersenyum puas bisa menemukanku. Apa lagi sekarang?
"Ada apa?" Aku bertanya dingin. Membuat mereka semua terkekeh dan si anak wali kota ini bersikap seolah akrab dengan dengan merangkul leherku. "Kenapa galak begitu kawan. Kalo galak begitu nanti Jessy mengira aku jahat padamu." Sibrengsek ini, aku baru menyadarinya. Jessy terlihat menatapku dan ke empat orang brengsek ini dari kejauhan, lalu melambaikan tangannya. Dengan tak tahu diri, si brengsek itu membalas lambaian tangan Jessy. Cih. Aku yang tak ingin ada masalah juga ikut melambai ke arah Jessy tersenyum kecut.
"Wah, Jessy memang yang terbaik. Bukan hanya wajahnya yang cantik tapi juga sifatnya." Komentar si brengsek ini yang masih saja merangkul leherku. Rangkulan itu akhirnya dia lepaskan.
Huh. Akhirnya. Leherku tadi memang agak sesak. Dia bukan mau merangkulku, tapi seolah ingin mencekekku. Dia menatapku dengan senyum menyebalkannya. "Hei. Apa kau tidak bisa membuatku dekat dengan Jessy? Kitakan teman?" Teman pantatmu! Kau yang membuatku hampir tidak bisa jalan selama tiga hari brengsek.
"Jim, sepertinya dia dendam padamu. Lihat wajahnya keras begitu!" Temannya yang bernama Jack ini malah menambah panas suasana. Jim, atau Jimmy. Itulah nama anak wali kota ini. Jangan tanya bagaimana kelakuannya. Dia benar-benar licik dan sadis. Satu minggu yang lalu dia membuatku hampir tidak bisa berjalan selama tiga hari.
"Ow, ayolah Dekun. Itukan hanya kisah masa lalu. Kau bisa membantu temanmu inikan? Jika kau bisa membuatku dekat dengan Jessy. Maka aku akan memikirkan kemungkinan tidak akan mengganggumu lagi. Bagaimana?" Jimmy menawarkan negosiasi padaku. Yang benar saja, kau pikir aku akan membiarkan Jessy mendekati laki-laki bajingan sepertimu. Aku tahu dia sering gonta-ganti pasangan bahkah hampir meniduri semua pacar-pacarnya. Uggkk... aku tidak bisa membiarkan itu terjadi pada Jessy.
"Uhhh.. Jika aku melihat Jessy. Entah kenapa darahku terasa mendidih. Bentuk tubuhnya sangat sempurna dan montok. Aku tidak sabar meremas bokongnya yang indah itu. Bagaimana teman-teman?" Bajingan! Orang ini tanpa ragu bicara frontal seperti itu sambil menjilat bibir bawahnya. Aku mengepalkan tanganku. Ingin sekali rasanya aku membogem wajahnya yang menyebaljan itu. Tapi jika aku melakukannya. Bukan hanya aku yang akan terkena masalah, tapi bahkan ayah dan ibuku juga akan mendapatkan masalah.
"Haha, apa kau akan membagikannya pada kami Jim?" Roland, salah satu teman Jimmy menjawab. Semakin membuatku murka dan ingin menghajar mereka. Tapi, aku tidak bisa. Yang bisa aku lakuka hanyalah diam sambil mengepalkan tanganku. Suasana sekolah mulai ramai. Namun mereka yang melewati kami lebih memilih acuh. Tidak mau ikut campur.
"Jangan seperti itu. Jessy itu bukan pelacur tahu. Dia itu bagaikan malaikat. Tapi sayangnya iblis dengan kejam merasuki tubuhku dan menyuruhku untuk menyetubuhinya." Jim, dengan kalimat frontalnya kembali bersuara.
"Haha, kau itu memang seperti iblis Jim. Hentikan! Lihat tuh Deni wajahnya sampai merah karena mendengar ucapanmu." Jack membuat atensi mereka semua akhirnya menuju kepadaku.
"Oh iya karena terlalu membayangkan yang tidak-tidak membuatku sampai melupakanmu kawan. Jadi bagaimana? Kau maukan membantuku?" Jimmy menatapku dan ditambah seringai liciknya. Aku masih mengepalkan tanganku, wajahku tertunduk menahan amarah. Aku meneguk salivaku.
"Aku akan memikirkannya." Akhirnya kalimat itu yang bisa aku lontarkan. "Ah baiklah, sepertinya aku anggap itu jawaban iya. Sebaiknya kau melakukannya dengan benar! Kalau tidak, kau pasti tahukan apa yang akan menimpamu ke depannya?" Lagi-lagi dengan tatapan menyebalkan itu. Dan seringai itu. Aku kembali menelan salivaku. "Tentu. Aku tahu." Aku tidak tahu, tapi aku yakin. Secara tidak langsung aku mengiyakan tawaran tersebut. Walaupun aku tidak akan membiarkannya terjadi.
"Kalau begitu sana letakkan tasmu di kelas. Kelihatannya bawaanmu berat sekali. Jadi tidak tega lihatnya." Jimmy akhirnya membiarkanku pergi. Dengan perlahan aku meninggalkan mereka bertiga yang masih berdiri di depan gedung sekolah. "Wah, baik sekali kau Jim. Membiarkan dia pergi secepat ini." Roland berucap keras, seolah dia sengaja melakukannya supaya alu bisa mendengar percakapan mereka. "Tentu saja akukan anak wali kota yang dermawan, sudah sepatutnya memberikan contoh yang baik bukan." Mereka tertawa puas. Rahangku mengeras, tidak mau mendengar lagi percakapan mereka aku melangkahkan kakiku lebih cepat untuk segera menuju ruang kelas. Melewati kantor guru, kantor kepala sekolah, melewati TU dan akhirnya melewati beberapa kelas dan memasuki kelasku sendiri. Kelas Sains 2-3. Aku meletakkan tasku dengan kasar dan duduk. Moodku yang awalnya bagus langsung dihancurkan seketika oleh mereka bertiga. Jimmy, Jack, dan Roland. Tiga orang pentolan paling berpengaruh di sekolah ini. Bukan hanya karena mereka tukang buli, tapi juga karena mereka memiliki kekuasaan di sekolah ini. Alasannya?
Karena orang tua mereka bertiga adalah orang-orang yang paling berpengaruh di kota ini. Terutama Jimmy. Ayahnya adalah seorang wali kota. Bagaimana bisa anak seorang wali kota seperti ini. Dan lagi ayahnya selalu membela anaknya. Tentu saja, mana mau dia namanya tercoreng karena anaknya adalah tukang buli. Dan lagi malahbaku yag jadi kambing hitamnya. Semua orang tidak ada yang mau mengungkapkan kebenaran. Mereka lebih memilih tutup mata dan mulut. Dan akibatnya akulah yang mendapatkan hukuman yang seharusnya mereka dapatkan. Aku pernah di skors selama tiga hari, hanya karena aku membogem wajah anak wali kota itu sekali. Sedangkan si bajingan itu sudah membuat seluruh tubuhku memar. Para saksi matapun juga diancam dan disuap sehingga yang dituduh malah aku yang melakukan pembulian teehadap ana wali kota. Saat itu ayahku juga ikut menghukumku, karena katanya gara-gara diriku, dia hampir diturunkan jabatannya.
Lihat? Bahkan ayahku tidak ada yang membelaku dan malah membela bajingan itu. Termasuk ibuku pun juga, walaupun dia menasehatiku dengan lembut tapi tetap saja. Ini semua tidak adil. Mereka yamg memiliki kekuasaan bisa berlaku seenaknya seperti ini. Mereka yang memiliki kekuasaan bahkan membuat yang seharusnya salah menjadi benar. Dan begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang ada di bawah hanya akan menuruti perintah orang-orang yang di atas tanpa peduli bahwa itu jelas-jelas sesuatu yang salah.
Salah! Apa yang sebenarnya salah? Dunia ini? Atau manusianya? Kalau kau bertanya padaku, aku akan menjawab manusia. Mereka yang memiliki kekuasaan sering menggunakan kekuatan seenaknya. Padahal pada dasarnya manusia itu sama. Memangnya apa bedanya dengan para pejabat dengan rakyat jelata? Pada akhirnya, manusia-manusia itu hanyalah makhluk lemah yang sombong. Dan. Apa bedanya manusia dengan hewan? Sedangkan hukum rimba juga diperlakukan pada manusia? Moral dan Etika sudah tidak lagi digunakan. Bukankan moral dan etika itu yang membedakan manusia dengan binatang?
Tanpa sadar aku melamun cukup lama, hingga akhirnya bel tanda jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pukul setengah delapan tepat, kini kelas sudah dipenuhi murid-murid siang siap dengan pelajaran pertama. Dan itu dia, tiga orang itu juga memasuki kelasku. Bisa disimpulkan mereka sekelas denganku. Kenapa kesialan ini terasa bertubi-tubi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alone
Mystery / ThrillerPernahkah kau tahu? Bagaimana rasanya hidup di bumi seorang diri? #Remake Nah jadi ini adalah remake dari cerita "Alone". Kenapa aku remake? Karena aku merasa yang sebelumnya aku tulis masih sangat kurang. Ku harap kalian menikmati ceritanya ^_^