Langit berwarna kelabu dan tetes-tetes air turun darinya. Rintik gerimis tidak menghalangiku untuk segera pulang. Aku tidak mempedulikan meski cuaca seperti apa pun aku pasti akan segera pulang. Aku lebih memilih untuk berbasah-basahan dari pada harus berdiam diri sambil menunggu reda. Menunggu akan membuat pikiranku menjelajah kemana-mana. Dan apa bila itu dilakukan pasti mengingat sesuatu yang tidak mengenakan.
Masih berlari kecil di bawah langin gerimis. Tas yang biasanya bergantung di bahuku kini menjadi pelindung kepala dari hujan. Aku tidak mengira hari ini akan hujan, sudah 2 minggu terakhir cuaca sangat panas sehingga aku dengan sengaja tidak membawa payung. Bus berhenti tepat ketika aku sudah sampai di halte. Satu orang keluar dari bus, lalu tiga orang masuk kedalam bus. Dari luar terlihat bus sudah ada beberapa orang yang berdiri berarti tidak ada tempat duduk yang tersisa. Tanpa berpikir aku langsung masuk saja dari pada harus menunggu bus sambil berdiam diri.
Masih dengan nafas tersengal-sengal aku membayar tarif bus.
"Turun mana Mas?" tanya kondekturnya.
"Kampus." Jawabku singkat.
Setelah memberikan karcis dan uang kembalian, sang kondektur melanjutkan menarik tarif bus ke tiga penumpang bus yang masuk sebelumnya. Bus melaju pelan, di kota Solo ini aku memang lebih suka memakai Batik Solo Trans (BTS) sebagai transportasi untuk pergi ke kantor. Walaupun aku juga mempunyai sepeda motor disini, namun aku merasa senang apabila bisa mengurangi jumlah kendaraan yang sangat padat. Dan lagi aku bisa beristirahat di dalam BTS apabila mendapat tempat duduk.
BTS berhenti di halte berikutnya. Anak-anak sekolah sudah menunggu. Sepertinya BTS akan penuh setelah ini.
"Mas, tolong masuk ke belakang Mas. Biar anak-anak sekolah bisa masuk." Kondektur menyuruhku.
Aku tanpa menjawab langsung bergeser. Aku masih bisa mengerti kok. Apa bila aku tetap berdiri di dekat pintu pasti menghalangi jalan, walaupun sebenarnya aku lebih senang berdiri di dekat pintu. Anak-anak sekolah berseragam putih abu-abu masuk, mungkin mereka sekitar belasan anak. Cukup banyak untuk menggeserku lebih dalam lagi. Semakin aku bergeser aku tak sengaja menginjak kaki seseorang yang ada di sebelahku.
"Maaf, aku tak..." ketika aku menoleh aku tak percaya dengan apa yang aku temui sekarang. "sengaja."
"Hendri?" kata orang yang tak sengaja aku injak.
"Jaka." Kataku. Aku tak menyangka akan bertemu dia disini. Setelah sekian lama kita berpisah. Atau lebih tepatnya aku meninggalkannya.
"Apa kabar?" tanyanya santai.
"Baik." Jawabku agak canggung. Bagaimana mungkin dia sesantai itu bertemu denganku. Padahal aku saat ini merasa arkward. "Kamu sendiri apa kabar?" aku bertanya balik agar tidak terasa kaku.
"Baik juga." Jawabnya.
"Oh..." gumamku pelan. Aku tak menanyakan apa-apa lagikarena bingung apa yang harus aku katakan.
Kami berdua terdiam. BTS tetap melaju, terkadang sopir membuat sedikit guncangan sehingga mau tak mau bahuku bertumbukan dengan bahu Jaka. Namun kami tetap terdiam beberapa menit lamanya.
"Kamu dari mana Hen?" tiba-tiba Jaka memulai perbincangan.
"Dari kantor, ini mau pulang ke kos." Jawabku. "Kamu sediri dari mana?" ini benar-benar pertanyaan bodoh. Aku hanya bertanya balik apa yang dia tanyakan padaku. Tapi sejujurnya aku memang tak siap untuk peertemuan ini.
"Dari kantor juga, tapi aku bukan mau pulang. Aku mau ke Jogja sekarang, ada proyek di sana." Jawabnya.
"Oh..." dan lagi-lagi aku hanya bergumam pelan tanpa melanjutkan perbincangan.
Kuberanikan diri untuk menoleh ke arahnya untuk melihatnya lebih seksama. Dia sekarang tampak lebih tampan. Mungkin benar apa kata orang-orang, seseorang akan terlihat lebih tampan atau cantik apa bila sudah menjadi mantan. Namun ketampanan itu bukan hanya terlihat di wajahnya, penampilannya pun sekarang berbeda dengan dulu. Jaka yang dulunya suka berpakaian apa adanya dengan T-shirt, jeans, dan sneakersnya, sekarang dia terlihat layaknya eksekutif muda dengan kemeja branded, celana resmi, dan ransel di punggungnya. Bukan hanya bertambah tampan, tapi Jaka menjadi jauh lebih baik sekarang.
"Ada apa memperhatikanku?" tanya Jaka menyadarkanku.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan. "Tidak ada." Aku malu menatapnya terlalu lama. "Ngomong-ngomong, kamu sekarang tambah sibuk ya Jak?"
"Enggak juga kok, aku hanya menikmati aja apa yang aku cita-citakan dari dulu." Jawab Jaka.
"Kamu Arsitek sekarang?" tanyaku. Aku tau sekali apa obsesi Jaka sejak dulu.
"Semacam itu, tapi masih ikut perusahaan. Belum bisa punya proyek sendiri. Ini aku juga hanya mengawasi proyek tiap dua kali seminggu ke Jogja. Kamu sendiri masih belum berubah ya."
"Tentu saja. Memangnya kamu pikir aku bakal berubah jadi apa? Power Ranger?" kataku.
Jaka tersenyum tipis. Senyumnya masih sama seperti dulu. Masih semenawan saat pertama kali aku mengenalnya.
"Keluarga apa kabar? Ibumu sehat? Aku udah enggak pernah ketemu lagi." tanyaku.
"Sehat kok. Ibu masih seperti biasanya. Sekarang Anggi kuliah di Bandung. Oya, beberapa kali Ibu menanyakan kamu. Katanya akhir-akhir ini kamu enggak pernah main ke rumah. Ibu kangen sama kamu. Pernah juga waktu Idul Adha aku disuruh ngundang kamu buat makan bareng di rumah. Tapi aku alasan kalau kamu sibuk, bahkan kalau liburan pun kamu sering lembur atau pulang kampung. Jadi kita enggak pernah ketemu." Kata Jaka.
"Ya, kita enggak pernah ketemu." Kata-kata Jaka benar-benar kena di hatiku. Rasanya benar-benar menonjok. "Itu memang salahku."
"Oya, kita udah lama ya." Aku langsung paham bahwa yang dimaksud Jaka adalah kita udah lama putus. "Mungkin sekitar, emmm....."
"Dua tahun." Kataku melengkapi.
"Dua tahun? Selama itu kah? Aku tak pernah menghitungnya." Kata Jaka.
Aku mengangguk. Aku masih ingat sekali. Dan aku masih selalu menghitungnya, berapa lama aku sendiri. Dan berapa lama aku sudah meninggalkanmu Jaka.
"Kamu punya pacar sekarang?" tanya Jaka.
"Belum. Aku masih sendiri aja kok. Kalau kamu?" aku bertanya balik. Aku harap Jaka memberikan jawaban yang sama. Dalam hatiku aku ingin dia juga masih sendiri.
BTS berhenti dengan agak kasar, aku dan Jaka menguatkan pegangan. Kulirik tangannya, di jari manis melingkar sebuah cincin perak. Aku belum pernah melihatnya, bukan juga cincin yang pernah Jaka pernah tunjukkan.
"Punya." jawab Jaka setelah bus melaju dengan stabil.
"Apa?" aku tidak focus.
"Punya, aku sudah punya pacar." Kata Jaka.
"Oh...." jawabku.
Ada apa dengan diriku. Jaka sudah bukan pacarku lagi, namun entah kenapa mendengar dia sudah punya pacar lagi hatiku terasa kacau balau. Ironis sekali bahwa akulah yang memutuskan dia, akulah yang mencampakannya, tapi akulah yang belum bisa move on dari dia.
"Bagus deh kalau gitu." Kataku pelan.
"Apa? Kamu ngomong apa?" tanyanya sambil mendekatkan wajahnya.
Aku tercekat. Bagaimana mungkin dia mendekat seperti ini. aku juga tidak bisa mengulangi perkataanku.
"Stasiun Purwosari!" kata kondektur memberi tahu halte berikutnya.
"Aku akan turun di sini." Kata Jaka.
"Ya. Hati-hati." Kataku.
Dia mengangguk. Kemudian dia berjalan berdesakan menuju pintu. Saat melewatiku aku masih merasakan kegagahannya, bahunya dan lengannya menjangkau pegangan dengan sangat gagah. Pintu bus terbuka, Jaka keluar BTS. Kulihat dia, dan dia juga melihatku. Dia melambaikan tangan. Aku membalasnya. BTS berjalan kembali, meninggalkan Jaka di halte, bersama kenanganku dengannya yang tak bisa kulupakan.
YOU ARE READING
Move On
Short StoryHendri selalu terbayang-bayang oleh kejadian yan dialaminya di masa lalu. Penyesalan akan yang dia perbuat selalu menghantui hari-harinya. Namun hari itu, pertemuan dengan Jaka, mantan pacar yang dia campakan. membuka semua keberaniannya. Hanya Jak...