Aku segera menuju hotel tempat Rio menginap. Saat ini aku butuh pelampiasan untuk melupakan apa yang sudah aku lakukan ada Jaka. Dan satu-satunya pelampiasan yang aku inginkan adalah sex dengan Rio. Saat aku bersamanya aku benar-benar bisa lupa segalanya. Aku benar-benar mengagumi betapa liarnya Rio, bagaimana hidupnya begitu bebas dan sangat menyukai tantangan. Aku tak akan bosan apabila hidup bersama Rio.
Sudah hampir sampai hotel namun Rio masih belum bisa aku telepon. Sudah sepuluh kali sejak aku meninggalkan rumah Jaka sampai sekarang masih saja belum diangkat. Sedang apa Rio sekarang, kalau malam ini dia sendiri di hotel pasti mengangkat teleponnya.
Begitu sampai di hotel aku bingung bagaimana caraku untuk ke kamarnya. Biasanya Rio sudah menungguku di lobby kemudian kami bersama naik ke lantai tujuh. Aku tak bisa naik karena tak mempunyai key-card-nya. Tapi aku tidak pendek akal, aku segera menuju emergency exit, aku harus naik tangga secara manual.
Sangat melelahkan memang jika harus menaiki tangga hingga ke lantai tujuh. Namun demi menemui orang yang aku dambakan sekarang aku tak akan menyerah hanya karena lelah. Mungkin ini akan menjadi kejutan untuk Rio karena aku mendadak sudah berada di depan pintu dan kemudian memeluknya lalu setelah itu kami menghabiskan malam bersama.
Didepan kamar nomor 712 aku mengetuk pintu. Semoga saja Rio ada di hotel, kalau tidak percuma saja aku susah payah naik sampai lantai tujuh. Ketukan pertama seperti tidak ada respon, aku mengetuk untuk kedua kalinya.
"Rio" panggilku dengan suara yang biasa.
Saat aku akan mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu terbuka. Rio muncul bersama wajah tampannya dan hanya mengenakan celana boxer super sexy.
"Hei, aku kira kamu akan datang besok." Katanya.
Tanpa menjawab aku langsung memeluknya mendorong hingga masuk kamar. Aku cium bibirnya dengan ganas, aku tak peduli dengan pintu yang masih terbuka.
"Hen, sabar jangan buru-buru. Kamu kenapa?" tanya Rio sambil melepaskanku.
Terdengar suara berderit di kasur. Aku sontak seolah tersadar dari pesona Rio, ternyata ada orang lain di kamar ini. Aku menoleh, seorang remaja berwajah manis sedang duduk di kasur. Kutaksir umurnya tujuh belas tahun atau delapan belas tahun. Remaja itu duduk tanpa mengenakan pakaian sama sekali, bagian bawah tubuhnya dia tutup dengan selimut. Hatiku mencelos, sepertinya sedang terjadi sesuatu di sini.
"Siapa dia?" tanyaku.
"Alan, aku kira malam ini kau tak bisa menemaniku, jadi aku cari orang lain. Ada apa tiba-tiba datang? Atau kau mau ikut main?" tanyanya dengan santai.
Tubuhku menegang, ingin rasanya ku pukul wajahnya. Aku sudah jauh-jauh kesini untuk dia. Aku sudah capek-capek naik tangga hanya untuk menemuinya. Aku sudah memutuskan Jaka untuk mengejar Rio. Tapi dia di sini malah.....
"Aku pikir kau menyukaiku." Kataku pelan.
"Kau bilang apa?" tanyanya lagi.
"Kau anggap apa yang setiap malam kita lakukan?" tanyaku.
"Kenapa tiba-tiba tanya gitu? Kita cuma ML aja kan." Kata Rio.
"Cuma Ml?" tanyaku.
"Ya, kamu pikir apa lagi? bukankah kamu menyukainya? Kamu suka kan sama senjataku? Sampai-sampai kamu minta terus setiap malam."
Aku mencelos, ternyata dia hanya menganggaku seperti itu.
"Tunggu sebentar, aku tau kenapa kamu bertingkah aneh. Jangan-jangan kamu menyukaiku." Katanya.
Mendengarnya berkata seperti itu ada secercah rasa senang d hatiku. Namun ternyata.....
Rio tertawa terbahak-bahak.
"Hen..... Hen..... Aku pikir kita sama. Kukira kau melakukannya just for sex. Hen, aku enggak pernah punya perasaan apapun padamu. Kamu Cuma aku anggap sebagai pelampiasan nafsu aku aja. Enggak lebih. Sama seperti Alan yang aku bayar untuk malam ini. Ya bedanya kamu ngasih itu gratis sedangkan dia aku bayar dua ratus ribu semalam."
Hatiku langsung hancur saat itu juga.
"Aku sih enggak akan nolak kalau kamu ajak ML tiap malam. Gratis pula. Malah aku beruntung diberi pantat seperti pantatmu. Jujur ya Hen, pantatmu itu paling enak menurutku, bahkan Alan yang sekarang ku sewa enggak seenak dirimu."
Aku tak tahan mendengar ocehannya. Rio masih mengoceh tentang betapa nikmatnya diriku. Namun kata-katanya tidaklah membuatku senang tapi aku semakin muak mendengarnya.
"PLAK!!!"
Tanganku melayang secara otomatis ke wajahnya. Rio berhenti mengoceh.
"Kamu berani menamparku?" kata Rio.
Sepertinya dia tidak terima kutampar. Kemudian sebuah tinju mendarat di pipiku. Kemudian dia mendorongku hingga keluar kamar. Aku terjatuh menabrak dinding belakangku karena kehilangan keseimbangan.
"Pergi sana. Gak usah temui aku lagi. Dasar pelacur!" bentaknya.
Kemudian Rio membanting pintu.
***
Masih teringat jelas betapa memalukannya kejadian saat itu. Aku benar-benar kehilangan harga diri dan kehilangan perasaanku. Bisa-bisanya aku jatuh hati pada Rio.
Sejak kejadian itu aku benar-benar kacau. Beberapa kali aku sudah berniat untuk mendatangi rumah Jaka untuk meminta maaf dan mengajak balikan. Namun aku mengingat apa yang sudah aku lakukan, pada akhirnya aku mengurungkan niat. Pernah suatu ketika aku sudah mengumpulkan keberanian hingga akhirnya aku sudah di depan rumahnya. Namun saat aku ingin mengetuk pintu sebuah perasaan ketakutan tiba-tiba muncul. Aku belum siap untuk menemuinya, aku sangat takut akan kesalahanku.
Apabila menemuinya secara langsung di rumahnya membuatku sangat sulit maka aku menggunakan cara yang lain. Aku akan menemuinya dijalan, membuat skenario seolah-olah kami tak sengaja bertemu. Aku menunggu Jaka di warung angkringan sekitar rumah Jaka, berjam-jam aku mengawasi rumah Jaka berharap Jaka keluar dari rumahnya kemudian aku pura-pura sedang lewat kemudian bertemu. Namun semua itu aku urungkan lagi, saat aku melihatnya keluar rumah, aku melihat Jaka yang biasanya, senyum ramah, wajah tampan, dan bepribadian rendah hatinya. Aku tidak tega menghancurkan hatinya lagi dengan menampakkan diriku lagi di hadapannya. Semakin aku memikirkannya, semakin aku tenggelam dalam ketakutan, tenggelam dalam penyesalan, dan tak terasa bahwa aku semakin anti sosial.
Semua akun media sosial aku tutup. Aku mengganti nomor telepon. Seperti menghukum diri sendiri, aku tak ingin seorangpun mencoba mendekatiku, berkenalan denganku, mengajak berkencan, atau bahkan hanya untuk mencoba berteman. Hidupku hanyalah sebatas kerja dan tidur untuk istirahat.
Aku masih berdiri diantara sesaknya penumpang BTS. Pertemuan dengan Jaka tadi seperti membuka luka lama. Semua memori yang ingin aku hapus muncul semua dalam lamunanku. Dan aku tetap menjadi seorang pengecut. Pertemuan tanpa sengaja seperti tadi hanya terjadi 1:1000 kali kesempatan yang ada, namun aku tidak berani untuk mengatakan apa yang ingin ku katakan.
"Kampus."kata kondektur BTS.
Suara itu membangunkanku dari lamunan. Sudah saatnya aku turun di sini.
YOU ARE READING
Move On
Short StoryHendri selalu terbayang-bayang oleh kejadian yan dialaminya di masa lalu. Penyesalan akan yang dia perbuat selalu menghantui hari-harinya. Namun hari itu, pertemuan dengan Jaka, mantan pacar yang dia campakan. membuka semua keberaniannya. Hanya Jak...