GOTTCHA
Hari senin. Upacara. 10 menit terakhir menuju jam 07.00 semua murid bergegas menuju lapangan. Aku masih duduk, terlihat bingung dan menganga menatap ke seluruh sudut ruangan. “Belum ada orang yang mengajakku berkenalan? Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus memulai duluan? Ahh tidak, nanti wajahku memerah. Ga ada yang mau ngajak aku upacara bareng gitu? Apa aku harus sendirian sepanjang hari ini?” Pikiranku terus menerus bertingkah tanpa adanya tindakan nyata dari diriku sendiri. “Ah sudahlah, lebih baik aku berjalan saja dulu.”
Tiba-tiba seseorang datang dengan nafas terenggah-enggah dan berkata “Hey, anak baru yah. Nama lo siapa?” sambil merapihkan diri dan mencoba tersenyum padaku. “Kenalin gue Lidya, mau pergi ke lapangan bareng?” sambil melempar ransel ke sembarang meja. Tanpa berpikir panjang, aku tersenyum dan mengangguk cepat sehingga lupa untuk membalas pertanyaannya. Langkah kami saling beriringan, berjalan menuju lapangan dan kami berdua sampai dibarisan terakhir. Aku berbaris di barisan cewek kedua dari belakang, belakangku ada Lidya sebelah kiriku ada anak kelas XI IPA 4 dan sebelah kananku belum terisi.
“Anak cowok kelas kitu tuh jalannya kaya siput, lama bener” mendekati wajahnya ke arah telingaku dan membuatku memalingkan wajahku ke arahnya.
“Emang kenapa? Apa selalu seperti ini?” tanyaku polos.
“Gapapa sih, malu aja sama kelas laen. Yes, always like this” bergaya dengan membalikan kedua telapak tangannya.
“Ohh gitu” bingung harus menjawab apa lagi.
“Palingan ntar jam 7 teng datang, udah biasa lah. Lo jangan heran yah” sambil menepuk pundakku dan aku tersenyum menggangguk berbalik ke arah depan.
Diam-diam aku melihat jam tanganku untuk memastikan apa yang dikatakan Lidya.
Pukul 7 pas. Tepat dugaan Lidya, barisan sebelah kananku sudah terisi namun sungguh aku tidak memperdulikannya, aku tidak penasaran sama sekali siapa orang yang berdiri sebelahku.
Karena upacara baru dimulai keadaan sekitar pun menjadi diam dan hening kemudian saat itulah lengan sebelah kananku terasa bergetar seperti ada orang yang menepuk-nepuk lenganku. “Siapa yang berani menyentuh lenganku seperti ini? Haruskah aku melliriknya? Lidya kah? Atau orang yang berada di sebelah kananku?” Aku berusaha tenang sambil menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kepalaku berbalik 45 derajat ke arah kanan dan orang yang kulihat adalah pria itu lagi. Matanya bertatapan lagi dengan mataku untuk yang kesekian kalinya dan saat itu aku melihat matanya dengan jelas untuk yang kedua kalinya. Membuatku kesal, mata yang mempunyai arti, mata yang mempunyai arti berbeda. Rasanya aneh.
Tanpa berpikir panjang aku langsung memutar bola mataku seperkian detik. “Jangan hiraukan pria itu lagi, Dera. Fokus aja sama upacaranya” ucap batinku.
----
“Lo duduk sama gue aja yah, ehh iya nama lo siapa? Lo belum jawab pertanyaan gue” tanya Lidya sambil membawa ranselnya.
“Boleh juga, namaku hmm nanti aja deh pas perkenalan” jawabku santai.
“Kenapa ga sekarang aja? Biar surprise ya. Hahaha. Ada-ada aja lo” berusaha terlihat akrab sambil berjalan menuju bangku yang tadinya akan kutempati karena aku akan membawa kembali ranselku.
“Ahh syukurlah aku tidak sebangku dengan pria itu lagi”
“Eitss mau kemana lo? Mau cepet-cepet duduk sama gue?” tanya pria itu.
Aku malas menjawabnya, aku juga malas melihat wajahnya. Langsung saja aku membawa ranselku dan duduk bersama dengan Lidya. Walaupun bangku yang kutempati masih bersebelahan dengan pria itu hanya saja berbeda barisan.
“Kq lo pindah sih duduknya, gamau sama gue? Gue ga bau kan?” sambil mengedus-endus harum badannya sendiri.
“Lo pengen banget duduk sama anak baru, Ris?” sewot Lidya yang daritadi mendengarkan celotehan pria itu.
“Tau aja lo. Iya gue kepengen banget, tapi gue ga maksa sih. Biarin aja, biar dia nyaman belajarnya. Semangat” sambil mengepalkan kedua tangan dan mengangkatnya secara bersamaan, tak lupa dengan senyum lebar yang membuat matanya tak terlihat.
“Serah lo dah” jawab Lidya malas.
Aku daritadi tidak memperhatikan tingkah lakunya, mungkin ada yang tidak beres dalam dirinya. Entahlah. Disisi lain aku mulai gugup karena aku akan memperkenalkan diriku di hadapan semuanya. Pipiku mulai memerah dan mulai terasa panas hingga menjalar ke daun telingaku. Ah. “Tenangkan dirimu Deralina semua akan baik-baik saja.” Aku menghembuskan nafas berulang-ulang kali agar detak jantungku kembali normal dan rasa panas ditelinga dan pipiku mereda. Tak lama setelah itu, wali kelas datang dan mempersilahkan padaku untuk memperkenalkan diri.
Deg deg deg. Jantungku beretak tak karuan. Aku mulai berdiri di tempat dudukku dan mulai berjalan dengan canggung, melirik ke seluruh ruangan dan melihat banyak orang yang memperhatikannya. Ketika langkahku terhenti dan menghadap seluruh siswa kelas, aku menarik nafas perlahan dan menghembusnyanya pun perlahan. Detak jantungku masih belum kembali normal. itu artinya, pipi dan telingaku. Aahh tidak. Aku menunduk berusaha untuk menutupi wajahku walaupun masih terlihat oleh siswa kelas. Ini adalah kewajiban sebagai siswa baru, aku harus melakukannya.
Tiba-tiba seperti ada yang melintas di pikiranku “Ingat apa kata ayah Dera, jangan nunduk terus pandang ke depan. Dera bisa, pasti.” Aku pun berusaha agar tidak menundukan kepalaku dan berusaha tidak melihat siswa lainnya.
“Perkenalkan nama saya Deralina, kalian bisa manggil saya Dera. Saya pindahan dari SMA Yogyakarta. Mohon kerjasamanya. Terimakasih.” Hanya itu yang dapat aku sampaikan, aku sempat tidak memperdulikan keadaan diriku sendiri. Ah sudahlah, aku tidak peduli. Aku langsung berjalan ke arah tempat dudukku dengan tergesa-gesa dan aku kembali duduk.
Aku melihat kertas yang sudah dilipat-lipat menjadi seperti kipas di atas mejaku. Terlihat diantara lipatan-lipatan itu ada tinta berwarna hitam, aku membukanya “DERALINA ROSE GRISOGONO” Aku melirik Lidya dan Lidya menunjuk dengan jarinya pada pria itu. Dengan refleks aku hanya berkata “Ahh” sambil berbalik melihat ke depan.
Pria itu berharap agar aku dapat meliriknya karena kertas kipas buatannya itu ada di mejaku, dia memang cerdas namun tidak dengan sifatnya. Tetap terlihat dingin itulah aku, orang lain akan memakluminya jika mereka sudah mengenaliku dengan baik.
---
Tak terasa pelajaran demi pelajaran berjalan dengan baik. Waktu terlihat menarik jika sudah menunjukan jam 14.30 karena ini adalah waktunya untuk pulang.
Aku sudah berkenalan dengan semua siswa kelas ini, dari absen pertama hingga terakhir. Mereka menyebutkan namanya satu persatu, mereka itu unik dan manis. Hahaha. Bohong sih, mereka ga manis tapi mereka bisa membuat hariku terasa manis. Kini aku tahu siapa nama pria itu.
Sepanjang hari ini, pria itu selalu menggangguku. Entah dia menggajakku untuk berteman baik atau aku yang berlebihan padanya. Aku rasa aku sangat berlebihan padanya. Untuk hari pertama ini, semua terasa lelah tapi aku menikmatinya. Mendapat teman baru dan melihat berbagai arti dalam mata banyak orang, unik.
Terutama dalam mata Arris, pria itu. Memiliki arti yang sangat kuat dan terasa sangat aneh.
ΦΦΦ
Akhirnya nulis lagi
Ceritanya makin ga nyambung yah?
Ya lahh, apa dayaa😔
Jangan pelit vomeentnya
Masih butuh pencerahan jugaSalam hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DERALINA
Teen FictionFor the first time in forever (jangan nyanyi yeh). Baru nyoba mau bikin cerita nih. Mohon doa restunyaa. Deralina itu nama orangnya, kenapa sama kaya judulnya soalnya aku suka namanya😄. Deralina ini sosok yang menggambarkan diriku, pemalu sama oran...