1) The Golden Book

19 2 2
                                    

Tak!

Satu hentakan keras dari penggaris kayu panjang berhasil mendarat pada meja gadis itu.

Sontak gadis itu keluar dari alam mimpinya dan segera menyadarkan diri untuk mencari pelaku yang dengan beraninya telah membuat ia sadar dari dunia khayalnya.

"Ya! Oh Nana! Hari masih pagi dan kau sudah tertidur? Dimana sopan santunmu? Apa meja ini terlihat seperti kasur bagimu?" bentak Guru Lee, salah satu guru yang populer akan disiplinnya yang super-duper tinggi.

Murid-murid bahkan menjulukinya dengan sebutan 'jenderal besar berpenggaris panjang'.

"Choeseonghamnida" jawab gadis itu menunduk hormat menyesal atas perbuatannya. Atau mungkin lebih tepatnya ia tak mau membuat kontak mata dengan guru itu. (Maaf)

"Pegang kedua telingamu dan angkat sebelah kakimu di luar kelas hingga pelajaran saya selesai. Setelah itu ikut ke ruangan saya. Mengerti?" jelas Guru Lee panjang lebar yang diikuti anggukan pasrah dari sang gadis.

***

Selesai dengan hukuman ditambah satu full album ceramah dari Guru Lee membuat telinga Nana cukup bahkan sangat kenyang. Ya, telinganya kenyang tapi tidak dengan perutnya karena sedari tadi sudah berbunyi seperti kodok bersendawa.

Untunglah waktu menunjukkan jam istirahat sehingga Nana dapat melangkahkan kedua tungkai kakinya ke kantin meski sisa waktu kurang dari 5 menit lagi.

Baru saja ia membuka lemari pendingin hendak mengambil sekotak susu coklat yang tengah berbaris rapi di dalam sana menunggu untuk diambil, bel neraka berbunyi dengan riangnya menunjukkan waktu istirahat telah berakhir.

Dia tidak boleh terlambat di kelas selanjutnya karena pelajaran yang akan ia hadapi diajarkan oleh guru ter-killer seantero sekolah.

Mayoritas guru di sekolah ini memang membuat para murid tidak bisa bernapas dengan tenang. Meski begitu Tuhan masih mengizinkan malaikat-malaikat tanpa tanda jasa bekerja di sekolah ini walau hanya hitungan jari.

'Maaf susu, hari ini juga kau bukan milikku' benaknya sambil membuang napas panjang. Segera ia langkahkan kakinya untuk sampai di kelas.

***

Teng! Teng! Teng!

Begitulah bel itu berbunyi mengakhiri jam sekolah. Tentu saja semua murid dengan semangat meninggalkan sekolah kecuali penunggu-penunggu sekolah seperti orang-orang pintar yang memiliki kelompok belajar, atau segerombolan murid yang sekedar nongkrong untuk mengobrol tentang segala hal yang tak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah.

"Nana-ya! Ayo ikut kami!" rangkul seorang gadis yang dikenal sebagai Nam Mari tak lupa juga antek-anteknya Jung Nara dana Park Mijin.

"Hey jangan cemberut gitu dong! Kita kan sudah akrab" kata Nara memasang wajah sok akrab.

Nana hanya ingin hari ini berakhir dengan cepat. Dia tidak suka berada di sekolah begitu juga di rumah. Ia bahkan tidak memiliki teman seorangpun. Ya, Mari dan dayang-dayangnya itu hanya memerasnya di sekolah, menjadikannya seorang pelayan, disuruh kesana kemari seperti setrikaan.

Nana mungkin orang kaya, tapi bisnis ayahnya sedang buruk akhir-akhir ini. Orang tuanya juga tak jarang bertengkar di rumah. Ini membuat Nana cukup stres bahkan sangat. Meski ia memiliki kembaran, itu tak membantunya sama sekali.

Hidup tenang dan tidak membuat masalah selalu ia usahakan namun kenyataan tidak berjodoh dengan usahanya.

"Hari ini aku juga tidak bawa uang. Jadi tak bisakah kalian berhenti?" keluh Nana tanpa menatap ketiga bebenyit itu karena ia tak ingin masalahnya semakin bertambah buruk.

The Golden BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang