Himawari

335 45 26
                                        

Dua kantung besar di hadapan Jiyeon bahkan lebih berat dari pada berat tubuhnya dan pagi ini Jiyeon harus memutar otaknya untuk menemukan cara agar dua kantung sampah ini berpindah ke dekat tempat sampah di depan pagar rumahnya sementara salju berserakan di jalan dan sepupu bodohnya itu menghabiskan waktu paginya untuk menggoda gadis-gadis cantik di perumahan.

Jiyeon meniup poninya dengan wajah masam, dengan terpaksa dia harus menyeret satu persatu kantung sampah itu. Bukan hanya dilanda rasa malas tapi dia juga sedang dikejar waktu, sebelum ibunya kembali tugasnya adalah membuat sampah-sampah ini menghilang dari rumahnya atau dia harus kehilangan sebagian dari uang sakunya.

Sudah sepuluh menit, Jiyeon menyerah ketika kantung pertama sampai di separuh jalan. Musim dingin dan sekarang dia berkeringat. Gadis itu mendengus, kemudian berjalan ke luar pagar rumahnya untuk mencari bantuan. Celingak-celinguk memperhatikan sekitar, siapa tahu ada malaikat baik hati yang tuhan kirimkan padanya pagi ini.

"Permisi."

Jiyeon terkejut dengan kedua mata membulat, dia menoleh ke arah kanan dengan pandangan horror. Seorang laki-laki berdiri di sisi kanannya dengan sebuah ransel besar di punggungnya, rambutnya berwarna hitam dengan helaian rambut jatuh menutupi keningnya, pandangannya sayu sementara senyum tipis tampak di wajahnya.

Ah, matanya berwarna kebiruan.

Laki-laki itu memang mempesona, tapi bukan itu alasan Jiyeon memandang horror ke arahnya. Jiyeon menerka-nerka bagaimana laki-laki itu bisa dengan tiba-tiba berada di sampingnya sementara sejak Jiyeon mengedarkan pandangannya laki-laki itu tidak terlihat olehnya.

"Permisi." Laki-laki itu masih memasang senyum samar diwajahnya, tapi kali ini dia menaikan sebelah alisnya. Bingung karena sejak tadi gadis di hadapannya hanya termangu memandanginya.

"Halo?"

Jiyeon tersadar, kemudian memandang laki-laki itu dengan senyum malu. "A-ah, maafkan aku." Dia sempat menggerutu kecil akibat tingkah bodohnya. "Ada yang bisa kubantu?"

"Apa anda tahu dimana rumah Sersan Daeyeol?" laki-laki itu menunjukan sebuah alamat rumah yang tercatat di kertas putih, suaranya terdengar kaku seolah tidak pernah berinteraksi. "Tata ruang perumahan ini terlalu membingungkan," sambungnya dengan kening mengernyit.

Jiyeon tertawa kecil. Raut wajah laki-lakit itu sebenarnya terlihat biasa saja, tapi kerutan samar di keningnya membuatnya terlihat lucu ditambah suaranya yang kaku.

Kemudian dia menjawab, "Sersan Dayeol? Paman Choi sudah tidak tinggal di sini, dia menjual rumahnya."

"Saya tahu hal itu. Saya pemilik baru rumah itu."

Bahasanya baku sekali, Jiyeon tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigi serinya ketika mendengarnya. Dia pikir pria ini laki-laki kota yang senang menggunakan bahasa gaul dilihat dari cara berpakaiannya, tapi sepertinya laki-laki ini tipe yang berbeda. Maksudnya, mungkin saja dia anak bahasa.

Jiyeon mengangguk kecil, lalu menunjuk sebuah rumah di sisi kiri rumahnya. "Kebetulan sekali, rumahnya berada tepat di samping rumahku. Kita akan menjadi tetangga ternyata," tukasnya diringi tawa.

Sebenarnya Jiyeon harap laki-laki itu menimpali tawanya, tapi kenyataannya laki-laki itu hanya memandanginya dengan pandangan yang sama.

"Ah, terima kasih." Laki-laki itu membungkukan sedikit badannya.

"Tidak masalah," lalu bayangan dua kantung sampah lewat di pikirannya, "tapi bisa tidak kau membantuku?" tanyanya dengan senyum lebar di wajahnya.

Laki-laki itu mengangguk, lalu mengikuti Kei masuk ke arah pekarangan rumahnya. Dia menunjuk dua kantung sampah di halaman rumahnya dengan senyum malu. "Mereka terlalu berat, aku kan kecil. Bisa tidak kau membawanya dan menyimpannya di dekat tempat sampah di depan rumahku? Maaf sekali harus menyuruhmu."

Frost Bound [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang